Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kafe 1526

11 Desember 2016   01:01 Diperbarui: 11 Desember 2016   01:06 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menara Pandang Siring Tendean (Foto : Annuri / Disparsenibud Kota Banjarmasin)

Lima tahun terakhir, sepanjang Jalan Cemara Raya Perumnas, belok kanan ke Sultan Adam, dan terus ke Pangeran Hidayatullah, Banjarmasin, tumbuh dan menjamur tempat-tempat berkumpulnya orang untuk bersantai. Belum lagi di kawasan di luar jalan itu. Tempat yang  populer disebut Kafe ini menyediakan ragam minuman dan makanan serta hiburan musik. Kebanyakan pengunjungnya anak muda. Biasanya mereka mulai mengisi kursi-kursi di sana sejak buka sore dan makin penuh di malam hari.

Secara iseng, saya pernah menghitung jumlah Kafe sepanjang jalan tersebut. Sekitar 25 buah. Ada yang berada dalam ruko, tenda biasa, dan memakai halaman bangunan. Memang tak semuanya terlihat laris. Ada beberapa yang padat pengunjung hingga seperti tak ada sela lagi untuk duduk, terutama pada akhir pekan. Bisa jadi karena Kafe itu menyediakan wifi gratis, bisa pula karena menunya enak, suasananya nyaman, atau harganya terjangkau kantong anak muda.

Budaya santai di Kafe bagi urang Banjar bukanlah hal baru. Kebiasaan ini merupakan metamorfosa dari budaya mawarung selama ini. Duduk berlama-lama di warung, saling berbincang, menikmati minuman dan kue, dan menghabiskan waktu. Hiburannya cukup dari radio transistor. Kondisinya jelas berbeda dengan Kafe sekarang. Ruangan lebih sejuk dan warna warni, sajian menu kekinian, dan orang-orangnya lebih wangi.

Seperti kesukaan mengunjungi toko-toko buku, saya juga berusaha sempatkan waktu untuk nongkrong di sebuah Kafe, yang diremomendasi tentunya, jika berkunjung ke sebuah kota. Sambil menyeruput kopi dan ngobrol, saya amati apa yang khas dari tempat tersebut. Kafe yang saya lihat kebanyakan punya ciri tertentu, seperti sajian minum makannya, musiknya, atau suasana yang ditawarkan. Yang terakhir ini yang dominan, Kafe dengan nuansa tema tertentu, seperti retro atau western. Apalagi tempat yang biasa digunakan adalah bangunan lama bernilai pusaka.

Hal ini yang belum saya temukan pada puluhan Kafe di Banjarmasin. Pada umumnya, pemilik Kafe berusaha untuk memoles Kafenya dengan nuansa tertentu, tetapi tak serius dan serba tanggung. Masih tema gado gado. Mungkin prinsipnya: begini saja, laku! Hampir tak ada Kafe yang menempati bangunan kuno. Sila bandingkan dengan Kafe di Jogja, Bandung, dan Surabaya, Bahkan, di Semarang, bangunan tua di kawasan kota lama yang  berupa gudang, hampir semuanya disulap menjadi Kafe.

Tampaknya pengusaha Kafe di kota ini tak pernah tugul mengelola Kafenya. Okelah, hampir tak ada lagi bangunan kuno yang bisa disulap menjadi Kafe. Namun, paling tidak punya karakter. Kita merindukan Kafe yang punya pengunjung satu selera. Bookcafe, misalnya untuk yang hobi baca. Jazzcafe, sportcafe, womanscafe, writercafe. atau apalah apalah. Saya dulu suka dengan Kafe Capung di S. Parman yang menempati rumah tua Aidan Sinaga, mantan Walikota. Namun, sekarang sudah tidak lagi sejak berubah menjadi restoran biasa apa adanya.

Tampaknya kondisi Kafe di kota ini sebelas dua belas dengan kondisi kota Banjarmasin yang dihuninya. Jika dianalogikan Banjarmasin ini seperti sebuah Kafe, maka inilah salah satu Kafe tertua di Indonesia untuk kawasan kota. Selain ratusan sungainya yang memang sudah disediakan Tuhan untuk warganya – dan ini menjadi merk ‘dagang’nya, kota ini belum punya karakter yang tetap. Hampir tak terlihat tema seutuhnya dari Banjarmasin jika memasuki kota ini.

Sejak mendarat di bandara sampai masuk ke hotel, hampir takada bunyi-bunyian musik panting Apalagi gambar dinding di kamar-kamar hotel, malah tempat wisata kota lain.  Interior dan eskterior bangunan dan aksesorinya tak ada rasa Banjarnya. Belum lagi tulisan-tulisan untuk papan pengumuman dan petunjuk, tak ada bahasa Banjar sapalit-palit sebagai pendamping bahasa Indonesia. Padahal umur Perda yang mengatur hal ini sudah bertahun-tahun. Yang terasa Banjarnya barangkali kalau sudah bertemu makanan dan kainnya. Selebihnya, ya dialek bicara warganya.

Beginilah kondisi Kafe Bandjarmasin yang berdiri sejak tahun 1526. Sudah 490 tahun usianya tanggal 24 September 2016 kemarin. Dengan walikota baru yang belum setahun mengelola Kafe tua ini tentu banyak harapan oleh para penikmatnya. Ada keinginan besar agar Kafe ini bisa membuat warganya betah dan bangga serta mampu menarik pengunjung sebanyak-banyaknya. Tersebab apa? Karena mereka menemukan sesuatu yang khas yang belum didapatkan di kota-kota lainnya. Selamat ulang tahun Banjarmasinku. Teruslah berinovasi tanpa kehilangan jatidiri. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun