Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kada Jadi Baras

30 Maret 2017   10:11 Diperbarui: 30 Maret 2017   10:22 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : https://pendoasion.wordpress.com

Sepekan ini saya berkesempatan memberikan prasaran dalam dua kegiatan budaya. Pertama, saat Lokakarya “Urang Banjar dan Budaya”, 23/11/2016, di rumah Anno, Siring Tendean. Kedua, saat pengajian Syafaat Batang Banyu, Jamaah Maiyah Banjarmasin, 25/11/2016 di Tenda Putih, juga di Siring Tendean. Sekali pun acara yang  pertama bicara tentang “Etos Kerja Urang Banjar” dan yang kedua “Belajar Menjadi Urang Banjar, Dulu, Kini, dan Nanti”, tetapi keduanya punya kerangka yang sama tentang Urang Banjar.

Topik semacam ini sudah sering diperbincangkan dalam berkali kali pertemuan serupa dan ditulis dalam beberapa buku oleh para budayawan dan peneliti Banua. Namun, tetap menjadi isu menarik untuk di diskusikan. Bagaimana sebenarnya sosok “urang Banjar” yang selama ini menjadi bagian hidup keseharian masyarakat Banjar di Banua dan di Perantauan. Seorang kawan malah berseloroh bahwa banyak urang Banjar sendiri tidak tahu bagaimana sebenar wujud urang Banjar yang disandangnya itu.

Saya teringat pendapat Prof. Alfani Daud, M.A., Guru Besar Antropologi Budaya Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin. Dalam bukunya “Islam dan Masyarakat Banjar’ (2007),  beliau menyebutkan perilaku orang Banjar itu sangat dipengaruhi oleh suatu konsep yang disebut dengan istilah ‘watak dagang’, sikap untuk selalu memperhitungkan untung rugi dalam berusaha. Alfani mengaitkan ini dengan perilaku urang Banjar dalam bekerja.

Perilaku orang berdagang memang tak akan mau rugi.  Mereka harus betul betul memperhitungkan kemungkinan agar bisa untung. Jika tidak, maka niat untuk berdagang (sesuatu) akan diurungkan. Konsep berdagang ini bisa dipersepsikan lebih luas sebagai usaha untuk melakukan sesuatu. Apakah ‘watak dagang’ ini bisa juga menjadi semacam ideologi hidup urang Banjar umumnya. Bahwa perilaku keseharian urang Banjar baik secara psikologi, sosial, apalagi ekonomi berdasar pada untung-rugi?

Saya menengarai lahirnya kota Banjarmasin adalah contoh aktualisasi ‘watak dagang’ urang Banjar. Pangeran Samudera dari Kerajaan Banjar yang terdesak oleh penyerbuan Kerajaan Daha yang dipimpin sang paman Pangeran Tumenggung, akhirnya meminta bantuan Kerajaan Demak dari Jawa. Bantuan diberikan  dengan syarat raja dan rakyat Banjar harus masuk Islam. Samudera bersedia, tentu karena ada ‘keuntungan’ yaitu bisa mengalahkan Daha dan itu terbukti. Apakah jika  tidak dibantu berperang oleh Demak, Pangeran Samudera dan rakyatnya tidak bersedia masuk Islam? Wallahu alam!

Urang Banjar bukanlah bangsa yang eksklusif. Mereka sangat membuka diri akan perubahan dan pengaruh dari mana pun, asal itu membawa kebaikan dan kenyamanan hidup. Urang Banjar bisa berterima hidup bersama dengan beragam suku, dari Jawa, Madura, Bugis, sampai Cina di tanahnya. Bisa jadi karena urang Banjar masih merasa nyaman hidup bersama atau karena dasarnya urang Banjar takhirau dan kada (suka) panggaduhan terhadap siapa pun. Yang jelas, sampai saat ini belum ada konflik berarti antarsuku dan agama terjadi. Mungkin Kalsel termasuk sedikit daerah yang minim konflik.

Bisakah ranai-nya urang Banjar ini mengindikasikan kuatnya ‘watak dagang’ itu. Ada ungkapan basa Banjar yang sangat menggelitik terkait itu, yaitu ‘kada jadi baras’. Artinya, ada pertimbangkan jika tak menghasilkan beras (baca: keuntungan), maka tidak usah dikerjakan. Maka, konflik, baik karena kasus kesukuan, agama, maupun politik seperti hasil pilkada, misalnya, akan dihindari karena ‘kada jadi baras’. Lebih baik mereka konsentrasi mencari nafkah. Tentu hal ini berbeda jika berkonflik karena mempertahankan hak karena kasus semacam ini berlaku umum bagi suku mana pun.

Apakah prinsip ‘kada jadi baras’ ini membuat urang Banjar cenderung menjadi individualistik, skeptis, dan sinis dalam menghadapi suatu masalah di banua? Lihatlah bagaimana makin dikurasnya tambang batubara dan kayu oleh pengusaha dan  rusaknya lingkungan yang diakibatkannya, byar pet listrik PLN, masuknya pedagang besar dan modern yang mendesak pasar lokal, dan beberapa kasus lagi, tampaknya hanya abut setumat, setelah itu biasa saja. Apakah karena urang Banjar masih asyik dengan diri sendiri karena merasa masih dimanjakan alam? Saya tak yakin itu. Dan diskusi ini pun tak menjadi penting bagi urang Banjar jika dianggap ‘kada jadi baras’ juga. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun