Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gereja Jangan Main Politik Praktis

19 April 2017   03:24 Diperbarui: 19 April 2017   04:45 3249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gereja (kelembagaan) sesungguhnya tidak bisa terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan gereja bukan secara individual (eklesia: dipanggil keluar dari kegelapan). Konteks keterkaitan gereja yang dimaksud adalah secara kelembagaan.

Politik dan gereja memiliki hubungan yang sangat erat. Jika politik disandingkan dengan gereja (status lembaga), maka keduanya memiliki esensi dan tujuan yang sama. Politik dipandang sebagai suatu usaha untuk menggapai kesejahteraan. Sementara gereja bisa dijabarkan sebagai tempat; wadah diajarkannya hal-hal baik, membentuk karakter, serta etika secara individual. Selain dari itu, gereja pun dipandang sebagai instrumen membawa umat pada jalan kebenaran yang mengantarkan pada kerajaan surga (kekekalan).

Berangkat dari asumsi bahwa politik itu kotor, politik tidak akan berhasil tanpa kecurangan, suap, korupsi, dan sebagainya. Apalagi pandangan seperti ini punya dukungan teologis tersendiri. Politik dianggap sebagai sesuatu yang bersifat duniawi, sehingga harus ditinggalkan. Belum lagi tafsiran Yoh. 17:14; 16 yang mengatakan, "Mereka bukan dari dunia." dipelintir sedemikian rupa sehingga orang Kristen harus bersikap apatis dan apolitis terhadap dunia dimana dia tinggal.

Jika melihat sejarahnya, sebenarnya ini muncul dari gerakan pietisme yang merupakan counter terhadap kekakuan rasionalistik gereja-gereja Protestan Reformasi kala itu. Gerakan pietisme melihat gereja-gereja Reformasi begitu hebat dalam menalar Alkitab, tapi dibarengi oleh kekeringan spiritualitas. Gerakan pietisme, yang lebih fokus pada kehidupan spiritualitas, akhirnya memilih untuk menarik diri dari dunia. Dunia dan segala isinya, termasuk politik, dianggap sesuatu yang menjauhkan manusia dari Tuhan.

Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres 9) Juli lalu, saya mendapat kabar dari seorang teman di Jawa Tengah bahwa ada perkumpulan pendeta-pendeta yang menyatakan deklarasi dukungan pada masing-masing pasangan secara langsung, baik pada Prabowo atau pun Jokowi. Hal yang paling mengherankan saya sekenaan dengan berita itu adalah ada juga sekumpulan pendeta-pendeta non PGI (aliran pentakosta dan kharismatik) sudah melakukan kontrak dengan Prabowo bahwa mereka akan mendukung Prabowo dengan catatan, jika Prabowo menjadi Presiden maka IMB membangun gereja dipermudah dan SKB 2 Menteri dicabut.

Sebenarnya ini bukan hal baru dalam sejarah kekristenan Indonesia. Sejak awal berdirinya gereja-gereja di Indonesia yang dipelopori oleh gerakan zending Eropa, gereja-gereja selalu berlindung dibalik para penguasa, ketika itu kolonial Belanda. Hal ini terus berlanjut dimasa Orde Baru pemerintah Suharto dimana kala itu gereja-gereja sibuk mempopulerkan sebuah teologi pembangunan yang selaras dengan ideologi Repelita Soeharto. Lagi-lagi, gereja lebih memilih mendekat pada penguasa.

Sontak saya berfikir sejenak dan bertanya, kenapa gereja bertindak demikian? Sejak dulu, kekristenan di Indonesia selalu minoritas. Keminoritasan ini tampaknya membawa dampak psikologis yang cukup akut, yang dalam ilmu sosiologi disebut minority complex (MC). MC adalah sebuah fenomena dimana sekelompok masyarakat tertentu merasa minder, kekurangan percaya diri, dan retak harga diri. Kondisi ini mengakibatkan kekristenan harus berlari bersembunyi dibalik sebuah kekuatan yang dirasa mampu melindungi, yaitu penguasa. Sejak dulu, ini dilakukan gereja demi satu tujuan agar gereja bisa berdiri dan umat bisa beribadah dengan tenang.

Bagi saya, kondisi seperti ini sungguh memprihatinkan. Dimensi politis kekristenan hanya satu, mereka bisa beribadah dan bangunan gereja berdiri. Hal-hal yang saya amati tersebut diperkuat oleh beberapa kali saya berbincang dengan pendeta, dan orang Kristen. Variabel-variabel yang dilakukan dalam menganalisa capres pilihan selalu berfokus pada siapa capres paling toleran dengan agama minoritas.

Saya kemudian bertanya, benarkah sikap-sikap politis yang demikian? Kemudian bagaimana seharusnya perspektif Kristen dalam melihat politik?

Membicarakan tentang apa itu politik sebenarnya bukanlah perkara mudah. Setiap defenisi politik yang diberikan sebenarnya mengandung intensi/tarikan-tarikannya tersendiri. Oleh karena itu, untuk kepentingan paparan kali ini, ada baiknya kita membicarakan politik dengan menggunakan pendekatan umum saja.

Setidaknya ada tiga titik penting dalam sejarah pemikiran politik yang perlu kita ulas. Pertama, sejarah pemikiran filsafat Yunani, yang dalam hal ini diwakili oleh Aristotels, dalam judul bukunya, "Politics". Kedua, sejarah revolusi Prancis dimana pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Hobbes, dan J. J. Rousseau mulai menggagas ide-ide politik modern. Ketiga, kita akan melihat sekilas pemikiran Michel Foucault, seorang filsuf posmodern, tentang konsep kekuasaan dalam politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun