Mohon tunggu...
zomi wijaya
zomi wijaya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"The Living Legend", Charlie Munger

23 Juni 2018   19:22 Diperbarui: 23 Juni 2018   19:34 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Howard Buffett, anak dari Warren Buffett pernah mengatakan bahwa "My father is the second smartest person I know." Ketika ditanya lebih lanjut, siapakah yang pertama? Jawabannya adalah "Charlie Munger is the first." Di artikel kali ini saya ingin membahas mengenai Charlie Munger, kita akan mencoba mengenalnya lebih dalam dan mempelajari filosofi-filosofinya dalam kehidupan serta berinvestasi. So, siapa sih Charlie Munger?

Charlie Thomas Munger adalah seorang Investor, Philantropist dan Vice Chairman Berkshire Hathaway. Bisa dikatakan bahwa Charlie adalah orang kedua terpenting dalam kesuksesan Berkshire. Charlie memulai pendidikannya dengan mengambil Master di bidang hukum sekolah Harvard Law Schooldan lulus dengan predikat Magna Cum Laude. 

Selanjutnya ia memulai karirnya dengan menjalankan Firma Hukum, hingga akhirnya Buffett menyuruhnya berhenti menjalankan firma hukumnya. "The best advice I ever got from Warren was to stop practicing law," ucap Charlie. "He thought it was all right as a hobby, but as a business it was pretty stupid."

Pada tahun 1962, Charlie memulai kemitraan investasinya sendiri seperti Buffett Partnership. Kemitraan investasinya menghasilkan return tahunan sebesar 19,8% selama periode 1962-1975, mengalahkan indeks Dow Jones yang hanya memiliki return tahunan sebesar 5%. Saya bisa mengatakan bahwa mengalahkan Indeks Dow Jones dengan average 14,8% setiap tahunnya adalah pencapaian yang luar biasa. Mari kita pelajari filosofi-filosofi Charlie dalam berinvestasi dan kehidupan:

1) A great business at a fair price is superior to a fair business at a great price

Charlie mengatakan bahwa lebih baik membeli perusahaan yang bagus di harga yang wajar, dari pada membeli perusahaan yang biasa-biasa saja di harga yang murah. Maksudnya bagaimana? Mari kita lihat contoh berikut ini:

Andaikan kita berinvestasi di 2 perusahaan BUMN yaitu Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan Garuda Indonesia (GIAA) pada tahun 2013 -- 2018

Di tahun 2013, BBRI diperdagangkan di PBV 2,23x vs GIAA PBV 0,83x. Berdasarkan analisa PBV mungkin kita lebih memilih perusahaan GIAA di tahun 2013. Imbal hasil ketika kita menginvestasikan uang kita dari tahun 2013 -- 2018 (5 tahun) di 2 perusahaan tersebut, BBRI dan GIAA akan memberikan return masing-masing sebesar 132,7% dan -51,2%.

GIAA yang memiliki valuasi lebih murah yaitu PBV 0,83x, nyatanya memiliki imbal hasil yang negatif dimana harga sahamnya terus menurun. Berbeda dengan BBRI, walaupun diperdagangkan di PBV 2,23x (which is secara value lebih mahal) harga sahamnya malah terus naik.

Bagaimana perusahaan yang sama-sama terkenal, memiliki imbal hasil yang sangat jauh berbeda? Jawabannya adalah karena "bisnisnya." Bisnis perbankan di Indonesia sungguh menarik, hal ini terlihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang mengakuisisi perusahaan Bank di Indonesia. 

Apa yang membuat asing begitu bergairah mengakuisisi perbankan Indonesia? Jawabannya adalah karena Net Interest Margin (NIM) Perbankan di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia! apabila negara lain memiliki NIM sekitar 1-3%, Indonesia memiliki NIM 5-7%. Tentunya hal tersebut juga didukung Indonesia sebagai negara berkembang, yang memiliki pertumbuhan penduduk tinggiwhich is fresh market untuk prospek kedepannya.

Berbeda dengan bisnis penerbangan, GIAA memiliki beberapa kekurangan dalam bisnisnya sebagai maskapai kelas menengah ke atas. Saya melihat ada 3 kekurangan dalam bisnisnya:

  1. Tingginya kompetisi dalam dunia penerbangan, terutama persaingan melawan low-cost airlines seperti Air Asia, Lion Air dan sebagainya. Simple logic, teman-teman lebih pilih ke bali naik AirAsia 400ribu atau naik Garuda 1 juta? 
  2. Harga komoditas minyak yang tinggi. Bahkan ketika harga minyak berada di titik terendahnya, GIAA terkadang masih membukukan kerugian. Hal ini banyak membuat investor khawatir, bagaimana kinerja perusahaan ketika minyak berada di harga puncaknya.
  3. Inefficient management. Cukup perhatikan laporan keuangan GIAA yang tidak stabil dan kebijakan-kebijakan seperti Right Issue dan Private Placement yang pernah dilakukan GIAA based on historical.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun