Mohon tunggu...
Zainal Arifin
Zainal Arifin Mohon Tunggu... profesional -

Aku adalah kertas pasir, yg menginginkan gaung di detak waktu ini. Suka membaca dan menulis.Pendiri Kalfa (Kaldera Fantasi)- Kalfa (Kaldera Fantasi) ialah komunitas pecinta fiksi fantasi. Hadir juga di www.facebook.com/groups/kalfa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila & Islam, Kacamata Natsir (Volume 3)

1 Juni 2011   10:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Unsur ketiga yaitu Bagaimana Natsir melihat Pancasila. Pendapat Natsir mengenai Pancasila dikemukakan pertama kali dalam kunjungannya ke Pakistan pada tahun 1952, ia mengatakan bahwa Pancasila “dianut sebagai dasar ruhani, akhlak, dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia. Adapun jika ditilik dari kelahirannya Pancasila dapat ditelusuri bahwa Natsir tidak tergabung dalam badan penyelidik yang merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara. Dalam hal ini Natsir menyatakan: “Perumusan Pancasila adalah hasil musyawarah antara para pemimpin-pemimpin pada saat taraf perjuangan kemerdekaan memuncak di tahun 1945. Saya percaya bahwa didalam keadaan yang demikian, para pemimpin yang berkumpul itu, yang sebagian besarnya adalah beragama Islam, pastilah tidak akan membenarkan sesuatu perumusan yang menurut pandangan mereka, nyata bertentangan dengan asas dan ajaran Islam.”

Mohammad Natsir kemudian melanjutkan:
1. Bagaimanakah mungkin Al Qur’an yang memancarkan tauhid, akan terdapat apriori bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa?
2. Bagaimanakah mungkin Al Qur’an yang ajaran-ajarannya penuh dengan kewajiban menegakkan ‘adalah ijtima’iyah bisa apriori bertentangan dengan Keadilan sosial?
3. Bagaimana mungkin Al Qur’an yang justru memberantas sistem feodal dan pemerintahan istibdad sewenang-wenang, serta meletakkan dasar musyawarah dalam susunan pemerintahan, dapat apriori bertentangan dengan apa yang dinamakan kedaulatan rakyat?
4. Bagaimana mungkin Al Qur’an yang menegakkan istilah ishlahu bainannas sebagai dasar-dasar yang pokok yang harus ditegakkan oleh umat Islam, dapat apriori bertentangan dengan apa yang disebut perikemanusiaan?
5. Bagaimana mungkin Al Qur’an yang mengakui adanya bangsa-bangsa dan meletakkan dasar yang sehat bagi kebangsaan, apriori dapat dikatakan bertentangan dengan kebangsaan?

Pendapat tersebut diutarakan Natsir pada bulan Mei 1954 dengan judul pidato Apakah Pancasila bertentangan dengan ajaran Al Qur’an? Menurut hemat saya Natsir memperlihatkan kepercayaannya pada para tokoh yang urun rembug dalam Badan Penyelidik untuk bersusah payah merumuskan dasar Negara Indonesia merdeka. Meski Natsir tidak ikut urun rembug namun sejumlah wakil dari kalangan Islam diyakininya mampu menyuarakan aspirasi kaum muslimin. Adapun mengenai kelima sila dalam Pancasila memang merefleksikan nilai-nilai dari Islam, sehingga secara substansial tidak ditemui kontradiksi.

Menurut Natsir, masalah pokok adalah masalah tafsiran tentang Pancasila. Tidak seorang pun, katanya, termasuk perumus Pancasila sendiri, yang berhak memonopli tafsirannya, dan oleh sebab itu Natsir pun berhak memberikan tafsirannya pula, Ia yakin bahwa tidak seorang perumus pun akan setuju dengan suatu perumusan tentang Pancasila yang berlawanan dengan ajaran Islam. Menurut Natsir, “Dalam Pangkuan Al Qur’an, Pancasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak apriori bertentangan tapi tidak pula identik (sama). Berkaitan dengan penafsiran menunjukkan bagaimana sikap oposisi Natsir terhadap segala bentuk diktatorisme; juga menunjukkan sebagai tokoh Islam modernis dan menunjukkan konsep ideologi. Sikap oposisi dikarenakan adalah menjadi marabahaya bagi demokrasi manakala tiada terjadi tukar menukar pikiran. Yang ada hanya pendapat monoarah dan harus dijadikan panduan. Sikap oposisi juga menunjukkan bagaimana pengaruh budaya Minangkabau mempengaruhi Natsir. Dalam budaya Minangkabau; tantangan hidup dan konflik merupakan sebagai sesuatu yang positif dan membentuk gaya pemikiran yang berbeda. Perbedaan pemikiran ini dalam istilah Natsir sepakat untuk tidak sepakat. Dengan demikian Natsir tidak memandang pertentangan sebagai suatu marabahaya melainkan telah terbiasa dengan konsep konflik. Dalam hal ini nyata bagaimana Natsir melanjutkan fase pertentangannya dengan Soekarno. Suatu hal yang konsisten dilakukannya mengingat untuk kemudian sejarah memperlihatkan Soekarno semakin menunjukkan warna diktatornya di perjalanan kepemimpinannya.

Sedangkan dikaitkan dengan Islam modernis berkaitan dengan rasio yang dipergunakan Natsir dalam membedah Pancasila dan tidak jumud (beku) dalam memandang sesuatu. Pancasila merupakan ijtihad dari para tokoh yang duduk di badan penyelidik dalam merumuskan dasar Negara dan permasalahan kemasyarakatan. Sedangkan dikaitkan dengan konsep ideologi ialah bagaimana ideologi berfungsi mempersatukan gagasan-gagasan, tingkah laku dan karakter individu serta menuntut suatu kekuatan pengikat dari para penganut ideologi tersebut. Ideologisasi semakin memperjelas identifikasi diri (self) dan integrasi kelompok manakala terjadi pertarungan dalam struktur sosial. Dalam hal ini bagaimana Natsir mengunggulkan Islam daripada Pancasila. Menurut beliau “ …agama Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup ini mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan Negara dan masyarakat dan dan dapat menjamin keragaman atas saling menghargai antara pelbagai golongan di dalam Negara.”

Mohammad Natsir disamping melihat persinggungan Pancasila dengan nilai-nilai Islam juga secara tegas menunjukkan perbedaannya. Natsir bertutur, “Tapi ini tidak berarti bahwa Pancasila itu sudah identik atau meliputi semua ajaran-ajaran Islam. Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukanlah berarti Islam.” Natsir juga menegaskan agar isi dan tafsir Pancasila tidak melabrak konsepsi Islam; “Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang terlaksananya kaidah- kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila yang bagi umat muslimin Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang ingin mereka sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan Negara, dengan ajaran-ajaran parlementer dan demokratis.”

Mohammad Natsir melihat Pancasila dengan dikaitkannya dengan kontestansi pemilu memandang: “Yang jelas kalau PKI menang dalam pemilihan umum dan kalau PKI berkuasa, maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa akan dipotongnya, sehingga layulah Pancasila yang diharap-harapkan itu.” Hal ini tidak berlebihan karena ketika Komunis melancarkan kudeta, umat Islam menjadi korban, seperti pembunuhan terhadap ulama, perusakan Al Qur’an; hal inilah yang menyebabkan kaum Islam teramat aktif untuk melakukan pukulan balik terhadap komunis yang diistilahkan oleh Ruth McVey sebagai Islam Hammer. Komunisme sendiri mencerminkan nilai-nilai sebagai berikut:1. Gagasan monoisme (menolak adanya golongan-golongan di dalam masyarakat), 2. Kekerasan dipandang sebagai alat yang sah dan harus dipakai untuk mencapai komunisme, 3. Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme. Sedangkan, menurut Natsir, “Kalau terbentuk Negara Islam, maka Pancasila akan dapat dipelihara dan akan dapat dipupuk bersama sila-sila yang lain.” Hal ini dikarenakan Islam tidak menegasikan keluhuran nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Pancasila merupakan hikmah yang dapat membantu dalam arah perjalanan negeri mengarungi hantaman dan cadas peristiwa.

(Bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun