Mohon tunggu...
Yusuf Cahyono
Yusuf Cahyono Mohon Tunggu... Freelancer - Suka menulis danembaca

.Hidup Harus Berkontribusi...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Majalah Horison Riwayatmu Kini...

8 Agustus 2016   10:57 Diperbarui: 8 Agustus 2016   13:11 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Majalah Horison. (Kompas)

Senjakala media cetak benar-benar memakan korban lagi. Kini giliran majalah sastra Horison harus menemui ajalnya pada saat ulang tahun emasnya. Pada bulan Juli kemarin, edisi terakhir majalah Horison untuk bisa bertemu dengan penikmat sastra untuk yang terakhir kalinya. Demikian diskusi yang mengemuka dalam diskusi sastra yang diadakan oleh Sastra Pawon di gedung Balai Soedjatmoko semalam. Menghadirkan Redaktur Majalah Horison Joni Ariadinata dan Esais Kondang dari Solo Bandung Mawardi.

Joni yang didapuk untuk berbicara pada awal diskusi, dengan gaya bertuturnya yang lugas berkisah tentang majalah Horison yang memilih untuk mengakhiri edisi cetaknya dan beralih ke edisi online. Majalah sastra ada di 17 negara, dan hampir semuanya mendapatkan subsidi dari negara hingga keberadaanya terus eksis. Hanya di Indonesia majalah sastra itu tidak mendapatkan subsidi. Dengan jumlah penduduk dan penikmat sastra yang cukup banyak, kebaradaan majalah Horison sedikit terbantu. Namun, genre sastra diakui bukanlah sesuatu yang memiliki nilai jual tinggi, maka untuk mengelola majalah sastra dibutuhkan kerja keras yang tinggi agar bisa terus terbit.

Menurut Joni, pada awal bergabungnya ke majalah Horison pada tahun 2000, kondisi majalah Horison sudah memprihatinkan. Dengan keuangan yang tidak stabil dan harus membayar gaji banyak orang yang terlibat dalam perusahaan dengan standar UMR. Untuk itu dibutuhkan terobosan untuk mendapatkan dana yang cukup. Dibuatlah kerja sama dengan beberapa instansi, bahkan pernah dengan kedutaan luar negeri. Horison menawarkan edisi khusus untuk meliputi negara tersebut, dan timbal baliknya mereka mendapatkan dana yang cukup untuk mendanai biaya cetak majalah Horison ke depan. 

Bahkan, Joni mengaku sebagai redaktur, ia dan rekan-rekannya rela digaji minim asal perusahaan masih bisa berjalan dengan baik. Padahal, ongkos bolak-balik dari Yogyakarta ke Jakarta dan biaya hidup selama tinggal untuk menyelesaikan majalah Horison naik cetak sungguh tidak sebanding. Namun, kecintaan terhadap sastra itu yang membuatnya bisa bertahan di sana. Meski di sisi lain sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya, kepulangan dari Jakarta yang menyandang status bekerja, sering membuatnya berkerut dahi.

Pada era pemerintahan lalu, masih ada perhatian dari presiden terhadap majalah Horison. Melalui dinas pendidikan, majalah Horison mampu masuk ke dalam lingkungan sekolah-sekolah. Sudah ratusan ribu siswa yang dikunjungi majalah Horison untuk mengenalkan dunia sastra. Namun setelah era pemerintahan berganti, Joni dan teman-temannya merasa tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Akhirnya, pada ulang tahun emas yang semestinya menjadi penanda kejayaan, majalah Horison memilih untuk mengakhiri edisi terakhirnya pada bulan Juli ini. Penikmat sastra sudah tidak bisa menemukan lagi edisi cetaknya. Keputusan sudah final, jika majalah Horison hanya bisa ditemui di versi online.

Joni Ariadinata mengaku sudah cukup lelah dan tua untuk mengurusi majalah tersebut. Baginya, ia masih memiliki dunia lain yang juga sama pentingnya untuk ia perhatikan. Mimpinya adalah keinginan untuk membuat kafe baca di petak tanah yang dimilikinya. Harapannya di sana kelak, ia memiliki ruang yang bisa dinikmati oleh pencinta sastra untuk berkumpul dan berdiskusi. Ia bersedia memberikan ilmunya bagi mereka yang mau singgah untuk beberapa hari di kafe tersebut untuk belajar membuat novel. Joni akan bersedia berbagi ilmu yang dimilikinya bagi mereka yang bersedia membayar ongkos tinggal dan makan selama mengina di kafenya tersebut. Itulah mimpi Joni Ariadinata yang ingi terwujud ketika melihat usianya yang sudah tidak muda lagi.

Dia juga mempersilakan generasi muda yang bersedia menghidupkan napas Horison. “Silakan teman-teman Sastra Pawon untuk melanjutkannya.” Horizon telah berbuat dalam sastra, menebar banyak bibit muda yang mencintai dunia tersebut. Ia berharap bibit-bibit itu tetap tubuh dengan baik. Negara harus tetap memiliki masyarakat yang mencintai sastra sekaligus yang pelaku sastra agar bangsa tersebut memiliki peradaban yang tinggi. Karena dalam sastra, banyak sisi kemanusiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun