Mohon tunggu...
Yustus Maturbongs
Yustus Maturbongs Mohon Tunggu... lainnya -

AC Milan fans since 1990 , jazzer, black coffee maniac \r\nFollow me @Joong_Oijoon

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama featured

Quo Vadis Musik Indonesia? (Refleksi Hari Musik Nasional)

9 Maret 2011   05:22 Diperbarui: 10 Maret 2018   12:58 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theodysseyonline.com --edited

Tepat pada hari ini, mungkin sebagian dari kita tidak tahu bahwa tanggal 9 Maret diperingati sebagai Hari Musik Nasional(HMN). HMNdicanangkan sejak tahun 2003 pada era kepemimpinan presiden Megawati dan pada saat yang sama diluncurkan situs resmi Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI).

Entah kenapa tanggal 9 Maret ditetapkan sebagai Hari Musik Nasional, tetapi bisa saja ada kaitannya dengan tanggal kelahiran Wage Rudolf Supratman –sang pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya– yang lahir pada hari Selasa Wage, 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo.

Tujuan peringatan HMN sebenarnya mengandung nilai-nilai mulia yaitu perlindungan karya cipta dari pembajakan, penghargaan kepada musisi, menempatkan musik nasional sebagai bagian budaya dan pendidikan karakter bangsa serta musik sebagai alat pemersatu bangsa. Tetapi melihat realita dan kenyataan yang terjadi, sepertinya peringatan HMN sekedar peringatan tanpa ada aksi (action) baik dari pelaku musik, masyarakat dan pemerintah. Peringatan HMN yang ditetapkan pemerintah sepertinya simbol saja.

Musik untuk si(apa)?

Musik adalah universal dan sampai sekarang kita tidak pernah tahu, kapan manusia pertama kali menemukan dan mengembangkan musik. Kitab Perjanjian Lama telah menuliskan dalam bagian Mazmur Daud tentang nyanyian-nyanyian Daud. Manusia peradaban Afrika dalam kultus dan ritusnya tidak bisa terlepas dari musik. Musik adalah bahasa dan ekspresi kebebasan menentang perbudakan oleh orang-orang Afrika di Amerika (Afro-American)sehingga terus berkembang mempengaruhi gaya musik gereja reformis kaum negroid di AS.

Musik juga bentuk nasionalisme dan pemersatu manusia, sehingga tak ada satupun negara di jagat raya ini yang tidak mempunyai Lagu Nasional. Misalnya The Star-Spangled Banner(AS), God Save the Queen(Britania Raya), Inno di Mameli (Italia), Kimigayo (Jepang) dan Indonesia Raya (Indonesia).

Musik didengarkan tanpa pandang usia, pangkat, jabatan, penjahat ataukah orang baik di muka bumi ini. Adolf Hitler yang terkenal kejam itu adalah penikmat mahakarya Richard Wagner. Kaisar Romawi paling keji dan sadis, Kaisar Nero ternyata seorang musisi yang seringkali “memaksakan” rakyatnya menikmati musik gubahannya. Begitu juga bos mafia Italia, Al Capone adalah pecinta opera “Pagliacci” mahakarya Ruggerio Leoncavallo.

Kembali ke dalam negeri, maka perjalanan musik nasional tidak bisa terlepas dari sejarah panjang bangsa ini. Para pejuang dalam upaya mengusir penjajah dari tanah air, jiwanya tak mungkin dibakar tanpa musik (lagu) perjuangan. Lahirlah pada masa-masa perjuangan itu lagu-lagu nasional seperti Bangun Pemudi Pemuda (Alfred Simanjuntak), Dari Sabang Sampai Merauke (R Soerardjo),Maju Tak Gentar (Cornel Simanjuntak), Bagimu Negri (R. Kusbini) dan Hari Merdeka (Husein Mutahar).

penulis bersama Oele Pattisellano, salah seorang jazz guitaris legend Indonesia di Jakarta Internasional Java Jazz Festival 2011 (dokumen pribadi)
penulis bersama Oele Pattisellano, salah seorang jazz guitaris legend Indonesia di Jakarta Internasional Java Jazz Festival 2011 (dokumen pribadi)
Selain musik yang terkait lagu-lagu perjuangan, lagu-lagu pop telah lama ada dan berkembang dengan sendirinya di negeri ini. Meskipun kita tahu bahwa presiden Sukarno sempat melarang musik barat masuk ke Indonesia pada tahun 60-an. Masa itu Sukarno memakai istilah “ngak ngik ngok” bagi musik-musik barat yang pada waktu itu “virus” lagu-lagu group band asal Inggris, “The Beatles” sedang menguasai dunia.

Masa lalu sejarah musik Indonesia (dekade 60 sampai 90-an) melahirkan banyak musisi berbakat yang dikenal sampai di luar negeri. Sebut saja Jack Lesmana (ayah Indra Lesmana) dan pianis Bubby Chen bersama saxophonist Embong Rahardjo membentuk group Indonesian Star yang cukup disegani musisi jazz dunia pada waktu itu. Penyanyi seperti Bob Tutupoli, Titiek Puspa dan Chrisye seolah tak pernah habis dimakan jaman. Macan-macan panggung dalam berbagai festival di tingkat asia dan dunia seperti Harvey Malaiholo, Broery Pesulima ataukah Ruth Sahanaya membuktikan Indonesia menyimpan suara-suara emas. Jangan lupakan juga tangan “emas” almarhum Elfas Seciora yang malang melintang di panggung-panggung festival musik internasional.

Sayangnya, prestasi demi prestasi yang dicapai oleh para penggiat musik kurang mendapat apresiasi dari pemerintah. Seperti halnya para atlet yang mengharumkan nama bangsa di kancah Olimpiade ataukah SEA Games, seharusnya para musisi juga mendapat penghargaan dari pemerintah. Musisi, entah penyanyi, pencipta lagu dan peñata rekaman adalah profesi yang perlu diproteksi mengingat kita tidak bisa menghitung lagi dalam jumlah berapa angka pembajakan yang terus naik di negara ini.

Pembajakan karya cipta seperti merampas “separuh jiwa” para pelaku musik itu sendiri. Apalah artinya berkarya jika ujung-ujungnya karya itu dibajak justru oleh sesama anak bangsa? Ironis memang! Hal inilah yang menjadi alasan, kenapa akhir-akhir ini para artis jarang meluncurkan sebuah album, tetapi hanya berupa single (1 lagu saja).

Industri musik pun telah bergeser seiring arus globalisasi dan perkembangan dunia. Tiada lagi piringan hitam dan pita kaset. CD lagu (album) lambat laun mulai merosot terkikis internet karena begitu mudahnya manusia di muka bumi ini dengan mengunduh (download) lagu apa saja, penyanyi apa dan dari negara mana. Tentu saja gratis!

Untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, maka musik tidak hanya musik yang berdiri sendiri dan mandiri (penyanyi, pencipta lagu dan produser) dalam mempromosikan karya mereka tetapi menggandeng industri lain seperti media televisi, iklan, dan telekomunikasi. Industri media televisi yang mengedepankan hiburan (entertainment) membuat program acara yang melahirkan artis-artis secara “instant” lewat ajang-ajang pencarian bakat, idol dan sebagainya. Tentu saja tidak bisa dipungkiri ada persaingan media teveisi untuk menaikan rating pemirsa. Iklan-iklan memanfaatkan lagu-lagu dan penyanyi yang sedang hits untuk jingle pemasaran produk mereka. Dan yang paling menggiurkan tentu saja keuntungan dari bisnis telekomunikasi operator selular yang memakai sistem Ring Back Tone (RBT).

Bagai buah simalakama, di satu sisi pengaruh RBT menguntungkan pihak yang diuntungkan tetapi di lain pihak mematikan arus ekonomi distributor album rekaman dan toko-toko kaset. Media televisi yang terlalu “memanjakan” artis-artisnya menghancurkan “idealisme” musik dalam hal kualitas. Sehingga tidak mengherankan (tentu saja bagi saya tetap heran sekaligus prihatin) ketika ada pelawak, pemain sinetron, pemain film ataukah model yang tiba-tiba mengeluarkan “single” lagu terbaru. Tidak perlu suara dengan vocal bagus yang penting punya banyak “duit” untuk produser rekaman, bikin video klip mentereng dan wajah yang menjual. Istilah kerennya, “aji mumpung!” Padahal, di sisi yang lain banyak perjuangan band dan penyanyi yang demo lagunya ditolak dan dikembalikan produser rekaman. Entah karena alasan kurang bermutu ( standard mutu yang mana?), wajah personil band/penyanyinya kurang “menjual” atau bisa saja kurang modal untuk membayar rekaman.

Penampilan Indara Lesmana dan Barry Likumahua (Group LLW) di JJF 2011 / dokumen pribadi
Penampilan Indara Lesmana dan Barry Likumahua (Group LLW) di JJF 2011 / dokumen pribadi
Untunglah masih ada segelintir orang yang tetap mengedepankan “idealisme” bermusiknya lewat jalur independent (indie) tanpa mayor label apapun. Urusan laku apa tidak urusan belakangan yang penting kepuasan pecinta musik di jalur mereka sendiri. Dan beruntunglah juga masih ada beberapa event yang tetap mengedepankan “kualitas” musik di tanah air ini seperti Jakarta International Java Jazz Festival yang sudah memasuki tahun ke 7 (tujuh) penyelenggaraannya. Untunglah juga musik dangdut sebagai musik yang benar-benar merakyat tak pernah “mati” dimakan jaman tetap hadir menghibur rakyat yang makin terbeban dengan kemiskinan, kenaikan harga bahan pokok dan karut marut persoalan bangsa ini.

Hal penting lainnya adalah hilangnya makna musik sebagai media pedidikan karakter bangsa akhir-akhir ini. Lihat saja, anak-anak kecil kita (usia SD) mana ada yang mengonsumsi lagu- lagu yang sesuai umur mereka? Dan lebih parahnya lagi, hiburan televisi di tanah air yang meng”instankan” penyanyi-penyanyi cilik lewat ajang pencarian bakat memilih lagu-lagu dewasa dengan tema patah hati, selingkuh dan perceraian untuk mereka nyanyikan. Barangkali musik untuk anak-anak perlu mendapatkan tempat tersendiri dalam memaknai HMN. Lagu-lagu perjuanganpun dan musik daerah mulai tergeser perannya dan bahkan dianggap kolot, kuno dan “katro ndeso” (istilah Tukul Arwana) oleh anak-anak sekolah kita. Di sinilah peran pemerintah dengan menggandeng pelaku-pelaku musik di tanah air. Tetapi jika pemerintah pun tetap “bernyanyi” omong kosong mengumbar janji-janji untuk rakyat, maka musik kita ini entah mau dibawa kemana (quo vadis) karena akhirnya ikut terseret juga oleh arus karut marut persoalan bangsa yang tiada pernah berkesudahan.

Semoga musik tetap mempersatukan kita walau kita beda agama, suku dan budaya. Salam Damai untuk Indonesia Maju.


Yustus “Oijoon” Maturbongs

Pelaku dan pecinta musik!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun