Mohon tunggu...
Yusticia Arif
Yusticia Arif Mohon Tunggu... Administrasi - Lembaga Ombudsman DIY

I Q R O '

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pasang Tenda Hajatan di Jalan, Salah Siapa?

10 April 2012   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:49 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu indikator yang menjadi kekhawatiran mengenai masa depan kehidupan urban adalah ketiadaan pengaturan yang jelas mengenai penggunaan ruang terbuka yang berada di bawah kontrol atau pengelolaan instansi pemerintah, seperti jalan, trotoar dan taman. Di kota-kota di Indonesia sering ditemui berbagai fenomena yang terkait dengan persepsi berbagai kelompok masyarakat mengenai ruang publik. Secara keseluruhan, fenomena seperti itu menggambarkan ketiadaan konsensus bersama diantara sesama penghuni, dan antara penghuni dengan pemerintah, mengenai apa yang dinamakan ”ruang publik”. Ketiadaan kesepakatan mengenai apa yang boleh dan tidak, menjadikan setiap pihak berusaha menarik keuntungan semaksimal mungkin dari aset-aset milik publik, yang seharusnya dikelola oleh pemerintah untuk kepentingan bersama orang banyak (Santoso 2006).

Salah satu fenomena yang sering kita temui di kota-kota di Indonesia adalah pemakaian sebagian badan jalan dan trotoar untuk kepentingan privat. Penggunaan sebagian badan jalan dan trotoar tersebut, baik di kampung maupun perkotaan, adalah menjadi ajang perhelatan pernikahan, sunatan, upacara kematian (layatan) dan sebagainya dengan dalih keterbatasan lahan halaman. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, yaitu dengan pemblokiran seluruh badan jalan untuk kepentingan pribadi, tanpa memberi alternatif bagi pengguna jalan. Akibatnya jelas, kepadatan dan bahkan kemacetan lalu lintas disekitarnya. Jika untuk layatan, mungkin sebagian orang masih akan maklum dengan situasi yang darurat tersebut. Tapi untuk acara pesta pernikahan atau sunatan? Bukankah kedua acara tersebut adalah sesuatu yang sifatnya sengaja dan direncanakan?

Padahal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2009 Pasal 128 tentang tata cara penggunaan jalan selain untuk kegiatan lalu lintas, bahwa penggunaan jalan untuk kepentingan lain selain sebagai tempat berlalu lintas diperbolehkan, jika ada alternatif jalan yang masih dapat dilewati. Artinya penyelenggara hajatan harus menyiapkan jalur alternatif yang dapat dilewati baik motor maupun mobil.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang cara hidupnya komunal. Dalam masyarakat yang komunal dikenal sistem kekerabatan dengan kohesivitas yang tinggi. Sebenarnya fakta ini menunjukkan jika masyarakat kita juga memiliki modal sosial yang sangat besar, namun nampaknya pemanfaatan dan pengorganisasian modal sosial ini masih belum pada tempatnya, artinya belum bisa diberdayakan secara sungguh-sungguh sehingga sistem masyarakat yang efisien dan produktif (sustainable societies), akan sulit dicapai.

Dalam masyarakat komunal berlaku nilai-nilai kultural yang merupakan kesepakatan bersama baik secara formal maupun tidak. Apabila ada salah satu anggota masyarakat yang tidak mengindahkan nilai-nilai kultural tersebut, maka ia harus sanggup menerima konsekuensi menjadi bahan gunjingan atau bahkan dimarjinalkan dari kelompok masyarakat tersebut. Hajatan telah menjadi salah satu produk beban kultur, seseorang yang secara moril dan materiil mampu maupun tidak telah memandang hajatan menjadi suatu ”kewajiban”. Tentunya hal ini akan sangat memberatkan bagi anggota masyarakat yang secara finansial tidak mampu. Bisa dibayangkan betapa besarnya energi, waktu dan biaya untuk menyelenggarakan sebuah hajatan, yang jika dibuat asumsi setiap bulan saja, akumulasi dari keseluruhan energi, waktu dan biaya tersebut mungkin bisa menjadi energi yang luar biasa untuk menciptakan masyarakat kota yang sustain.

Nampaknya mulai saat ini perlu dirintis pemikiran yang kelak bisa menggeser paradigma kultural tersebut, sehingga kota dan masyarakatnya akan mendapatkan manfaat kehidupan perkotaan yang sesungguhnya.

Akhir kata, bukannya saya tidak memiliki tenggang rasa atau toleransi, tapi tolong lihat keadaan dan kondisi…. kemacetan panjang atau kebingungan pengguna jalan raya akibat hajatan hanya akan membuat Anda disumpahi dan dicaci maki oleh pengguna jalan lain karena keeogisan anda.

Solo, 10 April 2012

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun