Mohon tunggu...
Yusrizal Helmi
Yusrizal Helmi Mohon Tunggu... Desainer - Things

Just coffee and stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Een Sort Van Straatliedje; Waska!

23 Februari 2020   17:29 Diperbarui: 23 Februari 2020   17:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"... dan sebaik-baiknya kenangan hanya untuk dikenang, bukan diulang."

Hanya itu satu-satunya penutup yang masih kuingat dari serangkai surat kiriman darimu kala kita dipisahkan oleh bengis kepentingan politik sebuah rezim. Dadaku selalu bergemuruh hebat ketika mencoba menggugat dan mempertanyakan kembali perihal kesewenangan sebuah rezim. Derai air mata tak habis meluruh, menganak sungai, menyelaksa hingga tak ada lagi celah untuk digenangi.

Kala itu siapa kita, Waska? Hanya pribumi yang enggan mati kelaparan, mengais sebungkus nasi dengan menari dan menyanyi, yang tanpa peduli siapa pemilik hajatnya, bukan? Aku menari sebaik-baiknya sebagai pembuka, dan kau dengan Kang Mu'in melanjutkan 'ngidung' sebagai pembuka, lantas melakonkan Besut segagah-gagahnya. 

Sungguh, tidak ada kebanggan berlipat-berlipat selain saat melihatmu menjadi sosok Besut. Seolah aku lupa bahwa masih saja perempuan desa miskin dengan harapan sederhana; ada sesuatu yang bisa kita makan beberapa hari ke depan. Sekonyong-konyong 'ngambyang' membayangkan diriku sebagai sosok Shinta yang memiliki kebanggaan paling sempurna sebagai pendamping Rama. Ah, tapi ternyata sekedar bisa berandai-andai pun kita salah.

Seperti biasanya. Beberapa hari setelah 'ngamen', kita bahagia. Bukan kebahagiaan seperti para tuan. Bukan pula seperti kebahagiaan para rentenir yang dibayar dengan anak gadis korbannya. Atau bahkan seperti kebahagiaan pengantin baru? Tidak! Kita bahagia karena untuk beberapa hari ke depan tidak merasa khawatir kelaparan. Itu saja. Mungkin karena kita cukup tahu siapa kita. Asal tidak kehilangan satu-satunya harta yang kita punya--harapan, sudah lebih dari cukup.

Aku cukup heran dengan apa yang mereka tuduhkan padamu. Sebagai satu-satunya orang yang selalu bersamamu dan sangat mengerti luar dalam tentangmu Waska, tentunya sampai ujung waktu akan aku pastikan bahwa kau tak pernah menyalahi satu apapun. Jika saja ada kesalahan pada dirimu dan diriku itu hanya satu saja; kita adalah bagian dari rakyat kecil.

Malam itu, aku mengira kau sedang akan ke kali untuk buang air besar. Suara pintu rumah yang terbuka itu aku pikir akan kembali menderit lantas membangunkanku dalam waktu beberapa menit lagi. Tapi sayang, Waska. Tak kudengar lagi derit pintu untuk ke dua kalinya hingga esok pagi. Hanya kutemui wajah-wajah para perempuan yang tak tahu harus berbuat apa selain menangis bahkan meronta, dan saling berbagi peluk di balik pintu pagiku. Semua perempuan kehilangan sosok panutannya pada malam itu. Dan baru menyadari saat membalik punggung untuk sekedar menikmati kehangatan yang baik dalam rengkuh kekasih masing-masing.

Beberapa hari aku mencari kabar, sejauh dan semampu tapak menjejak.

Hasilnya hanya keluh kesah dari mereka yang bernasib sama denganku. Dari keluh kesah tersebut kesimpulan sementara adalah Waska dan para 'een sort van straatliedje' lainnya dianggap sebagai bagian dari organisasi terlarang.

Ya. Aku tahu dan aku sering dengar dari suamiku. Kebisaan 'mbesut' memang didapatkan secara turun temurun dari para sesepuh yang tergabung dalam SAGRI (Sandiwara Gerilyawan Republik Indonesia). Memasuki tahun 1955, sebagian memilih bergabung sebagai underbow partai (PKI dan PNI), sebagian lainnya tetap berpijak di kaki sendiri 'los partai'. Kami, pada waktu itu berada pada bagian yang tidak berafiliasi dengan partai atau 'los partai'. Yang kami tahu, di mana undangan datang, di sana kami bermain. Namun entah mengapa pada akhirnya harus seperti ini jika benar dugaan kesimpulan pertamaku tadi.

Berbulan-bulan kemudian seseorang dengan tampak tergesa dan sembunyi-sembunyi mengirimkan surat yang katanya dari Waska suamiku. Sungguh pedih rasanya ketika dugaan yang selama ini selalu aku elakkan ternyata benar begitu adanya. Ya ... Waska dipaksa untuk mengakui hal yang sesungguhnya ia sendiri tidak pernah mengerti. Siksaan demi siksaan ia terima setiap hari. Begitu juga Kang Mu'in. Keduanya berada pada ruang yang sama. Dan keduanya sama-sama beruntung masih hidup sampai Waska punya kesempatan berkirim surat.

Waska selalu berkirim kisah melalui suratnya yang hanya beberapa kalimat itu. Ia tidak bilang mengapa hanya menulis sedikit sekali setiap mengirim surat. Bisa jadi memang ia menuliskannya sembari sembunyi-bunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun