Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancasila dan Masalah Sosial Kerakyatan

31 Agustus 2017   08:54 Diperbarui: 31 Agustus 2017   08:56 3190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini, pancasila merupakan suatu problem serius yang perlu ditegakkan kembali. Semenjak dijadikan alat pemersatu pada era Soeharto, di era reformasi pancasila seakan hilang dan keberadaannya hanya ada diatas kertas. Beberapa tulisan yang ada di media dan koran juga menyinggung pancasila, tepat di HUT ke-72 Republik Indonesia. Pada akhirnya presiden Joko Widodo membuat sebuah organisasi yang diberi nama UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pengamalan Ideologi Pancasila) dengan ketuanya Yudi Latif dan para anggotanya dilantik juni lalu.

Pancasila dibentuk tidak hanya oleh Ir. Soekarno, ada Moh. Yamin dan Prof. Dr. Soepomo. Bahkan, rumusan pancasila Ir. Soekarno terdiri dari Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme ; Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan ; Mufakat atau Demokrasi ; Kesejahteraan Sosial ; Ketuhanan. Jadi, rumusan yang sekarang bukan dari Ir. Soekarno melainkan rumusan Mr. Moh. Yamin. Dari rumusannya lahir pancasila dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa sampai dengan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ketiga rumusan dari Soepomo, Moh. Yamin dan Ir. Soekarno digodok lagi oleh panitia sembilan. Hasilnya, ada kalimat yang dipangkas dari sila ketuhanan (7 Kata) untuk diperbaiki lalu dirumuskan secara pakem dalam piagam Jakarta, jadilah Pancasila sebagai dasar republik Indonesia. Dan hari lahir pancasila disesuaikan untuk menghormati bung Karno yang menamakan dasar negara sebagai pancasila (bukan rumusan) pada tanggal 1 Juni 1945. Nyatanya, walaupun sudah menjadi dasar negara, nampaknya pertikaian terkait ideologi tak pernah selesai. Ada yang menyesali mengapa tujuh kata tersebut dihapus dan pertikaian ini (ada yang menganggap) diperburuk dengan masuknya PKI ke dalam konstitusi RI.

Demokrasi Liberal yang digunakan lantas tak pernah berjalan mulus selama 9 tahun mulai dari tahun 1950-1959, hanya yang dianggap berhasil ialah Ali Sastroamijoyo. Beliau berhasil mengangkat martabat Indonesia dimata dunia karena KAA pada tahun 1955. Namun, kericuhan terjadi sampai akhir tahun 1959 dengan menggunakan hukum keadaan darurat demokrasi liberal diganti dengan demokrasi terpimpin melalui dekrit presiden 5 juli 1959.

Dalam sebuah tulisannya di sebuah media massa (21/8), prof. Tjipta Lesmana menjelaskan kritiknya terhadap Nasakom bung Karno. "Bung Karno menarik kesimpulan yang tak tergoyahkan-sampai akhir hayat hidupnya-bahwa di Indonesia ada tiga kekuatan besar yang sejak awal memberikan kontribusi besar bagi perjuangan kemerdekaan bangsa kita, yaitu kekuatan Nas (Nasionalis), A (Agama), dan Kom (Komunis). Pancasila kemudian seperti "diperas" jadi Manipol-Usdek dan Nasakom. Padahal, orang komunis benci agama, agama dipandang sebagai "sampah masyarakat".

Tentu saja, sah-sah saja pandangan prof. Tjipta Lesmana begitu, jika pandangannya dikaitkan dengan fokus pada kebijakan bung Karno, jelas bung Karno bersalah. Padahal, semboyan bung Karno adalah berdikari (Berdiri diatas Kaki Sendiri) dalam kata lain Marchaenism. Bagaimana cara membuat mereka bekerja sama tanpa melihat ideologi semata, walaupun Indonesia merupakan negara kultural tetap kita harus bersatu untuk maju bersama ke depan. Layaknya, orang bermain lomba balap dengan menggunakan bakiak yang terdiri dari tiga orang atau lebih.

Justru, orang-orang yang didekat bung Karno yang tidak dapat menahan nafsu pribadi untuk berkuasalah yang perlu dikritik. Sekarang, PKI sudah hilang namun nyatanya kita tetap tidak dapat bekerja sama dengan baik terutama dalam hal politik, ribut melulu tentang politik tanpa mengetahui ada permasalahan apa di sela-sela bumi Indonesia. Sekarang, tinggal NASA, Nasioalis dan Agama, perihal masalah ideologi dipermasalahkan kembali. Terutama yang berkaitan dengan masalah pemimpin.

Dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di kepulauan seribu, semua terfokus pada Ahok tanpa ditelusuri mengapa sampai demikian. Mengapa Ahok sampai mengucapkan hal yang dianggap sebagai penistaan (?) dan karena ada transkrip oleh Buni Yani dalam postingannya, kekurangan kata yang dianggap sampai membuat kehebohan besar pada beberapa bulan lalu.

Jika pancasila adalah pemersatu, maka kejadian seperti DI/TII atau pada tahun 1998-2000-an seperti kerusuhan di Maluku, GAM, Sampit hingga kejadian sekarang itu nihil. Apalagi, jika dikaitkan dengan masalah pencarian pemimpin hal itu sangatlah tidak etis. Jika, kita dewasa, maka masalah Indonesia yang mayoritas islam dipimpin oleh non-islam merupakan hal biasa karena ideologi kebangsaan dan bernegara kita adalah Pancasila.

Sudah cukup lama kita bertikai mengenai masalah ideologi ini, tak inginkah kita berhenti untuk saling berjabat tangan, menggenggam erat satu sama lain dan bekerja sama. Menghilangkan ego, saling mencaci untuk mencari pemipin padahal Ir. Soekarno, Soeharto saja atau Gus Dur yang dianggap sebagai pemimpin kehilangan kepercayaan bawahannya tidak pantas dianggap pemimpin mereka lebih pantas dianggap sebagai pelindung. Mencari pemimpin cukuplah di Masjid dan tempat ibadah, tetapi untuk bangsa dan negara kita perlu pelindung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun