Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hilangnya "Bom Sosial" dan Munculnya "Petasan"

11 Agustus 2017   07:54 Diperbarui: 11 Agustus 2017   09:10 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada yang menarik mengenai gerakan bela Islam bulan lalu, 28 Juli 2017, menurut beberapa media jumlahnya sedikit, hanya ribuan orang saja. Di Jawapos.com (28/7) menulis massa hanya berkisar ribuan orang saja, beda dengan aksi sebelumnya yang bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang. Tentu saja, ini diakibatkan sang proklamator Habib Rizieq Shihab tidak hadir ditempat untuk memimpin jalannya aksi. Bersamaan dengan itu, tokoh-tokoh seperti Fadli Zon, Ahmad Dhani, Ustadz Arifin Ilham, Amien Rais tak terlihat bahkan turun tangan pun tidak untuk menggerakkan aksi, ini seperti peribahasa "ayam bergerak tanpa kepala".

Pemandangan seperti ini melalui kacamata sejarah pernah dialami oleh tokoh-tokoh besar. Mereka adalah "bom" untuk meledakkan semangat masyarakat dan memberikan radiasi sosial dalam artian inspirasi yang masuk (infiltrasi) ke dalam kulit-kulit dan darah mereka. Tokoh itu adalah Hitler, Joseph Stalin, Ir. Soekarno, mereka menggerakkan massa untuk dapat melawan kediktatoran, penguasa yang semena-mena dan penjajah.

Adolf Hitler yang awalnya seorang kopral, namun dengan visi-misi yang besar mampu menggerakkan massa (Nazi) melawan Yahudi (yang dianggapnya sebagai alasan kejatuhan Jerman). Dia mampu mengubah Jerman yang terpuruk akibat kalah dalam Perang Dunia (PD) I dan akibat perjanjian Versailles yang dianggap mempermalukan Jerman menjadi negara yang maju serta diperhitungkan dalam kancah perpolitikan eropa tahun 1930-an hingga menjelang PD II.

Usaha untuk mendirikan lebensraum (konsep ruang hidup) dengan mencaplok negara-negara tetangga mengalami hambatan. Walaupun dia berhasil mencaplok, Polandia, Austria, Belgia, bahkan Perancis namun tetap tidak mampu membendung serangan gabungan dari Amerika Serikat, Uni Soviet dan Inggris. Pada akhirnya, Adolf Hitler memutuskan hidupnya sendiri dengan racun di Bunkernya (1945). Berakhirlah era Jerman dengan Nazinya.

Begitu juga dengan Josep Stalin dengan warisan Sosialisme dan Komunisme-nya Lenin, menjadikan Uni Soviet (USSR) sebagai saingan AS dalam Perang Dingin era 1947-1990-an. Kelompok Timur itulah sebutannya, dengan ketegasannya (bahkan cenderung kejam) memperoleh dukungan masyarakat, memaksa negara Estonia, Latvia, Lithuania dan Finlandia  untuk masuk ke dalam wilayahnya dan menjadi negara satelit. Hasilnya, sampai dengan kematiannya pada tahun 1953 Uni Soviet masih berjaya, hanya setelah kematiannya pengaruhnya perlahan-lahan dihilangkan sampai dengan Michael Gorbachev dengan Glasnot dan Perestoika mengubah wajah Uni-Soviet dari yang tertutup menjadi terbuka.

Sekarang, siapa yang tak mengenal Ir. Soekarno, alumni Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB), membentuk PNI (1927) yang waktu itu umurnya masih 26 tahun. Sebuah Partai yang menolak bekerja sama dengan Belanda, anak asuh H.O.S Tjokroaminoto, teman dari Tan Malaka, Muso dan S.M Kartosuwiryo (pendiri, DI/TII). Suaranya yang lantang membela penduduk pribumi, Jepang waktu itu melihatnya sebagai tokoh yang mampu mengondisikan rakyat Indonesia sehingga Jepang memberinya jabatan sebagai penasihat bangsa (Ir. Soekarno sebagai Somubu yakni, Departemen Urusan Umum).

Semenjak itu, Ir. Soekarno dipercaya sebagai ketua, contohnya sebagai ketua dari empat serangkai yang nantinya akan mendirikan Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Dengan pidatonya pula mampu membuat rakyat dalam peristiwa "Lapangan Ikada", menyuruh untuk pulang setelah berbicara singkat untuk mempercayakan kemerdekaan padanya.

Kekuatan-kekuatan dalam bentuk ketegasan memunculkan kesan untuk segan apabila tidak mematuhinya. Interaksi sosial langsung yang secara terus-menerus diasah (bahkan bakat) akan memunculkan suatu kharisma tersendiri, memunculkan khas yang mendapat posisi di hati rakyat. Penulis bukan bermaksud untuk mensejajarkan posisi pimpinan 411 dan 212 dengan tokoh dunia tersebut, walaupun nyatanya banyak yang harus dilihat dalam kegiatan itu. Yenny Z Wahid dalam tulisannya di Tempo "memahami 411" (11/11/16), "Belakangan, sikap Ahok yang dianggap keras kepala ternyata menyisakan luka. Ahok dianggap tak mau mendengarkan orang lain, juga miskin dialog dalam kebijakan relokasi masyarakat. Penggunaan aparat keamanan-yang awalnya dinilai sebagai bentuk ketegasan-berubah menjadi simbol kesewenang-wenangan".

Dengan momentum Al-Maidah : 52, maka mereka yang satu visi tersulut juga dengan percikan "bom" Habib Rizieq Shihab. Gerakan 411 dan 212 kemarin yang melibatkan ratusan ribu orang sampai jutaan orang pun muncul, memenuhi jalanan Jakata. Bahkan gerakan serupa juga terjadi diberbagai daerah.

Nyatanya, nasibnya kini hampir dengan Ir. Soekarno dalam masa Orde Baru. Pemerintahan Soeharto memindahkan presiden Ir. Soekarno ke suatu tempat (bahkan makamnya di Blitar) dengan tujuan de-Soekarnoisasi. Pengaruh Soekarno dihilangkan, sehingga dengan hilangnya pengaruh tersebut maka pengaruh Soeharto dengan pancasilanya menjadi dominan. Begitu juga dengan Habib Rizieq yang hilang akibat kasus chat mesum, gerakan-gerakan besar tak terjadi lagi, hanya gerakan-gerakan kecil tanpa pengaruh apapun.

Sepertinya, cara-cara untuk menghilangkan radiasi sosial ialah membilasnya dengan paham baru dalam artian menyingkirkan aktor utama dan memberi masukan baru. Hanya saja, beda dulu dan beda sekarang, radiasi yang sudah masuk ke dalam peredaran darah tidak begitu mudah dihilangkan walau "Bom"-nya sudah diamankan. Butuh waktu untuk merubah perilaku-perilaku yang dianggap kasar dan berseberangan dengan pemerintah, penulis menyatakan sekarang yang mengganggu bukanlah "bom" melainkan "petasan-petasan" kecil. Tapi kalau banyak, ya membahayakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun