Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Persatuan Agama, bukan Negara Agama

9 Agustus 2017   08:06 Diperbarui: 9 Agustus 2017   08:38 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin ini terdengar klise, bahwa politik dan agama merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Politik sendiri dan agama sendiri, politik berjalan diranah kekuasaan dalam bentuk pemerintahan dan kenegaraan, sedangkan agama berjalan pada ranah spiritualitas dan kerohanian. Apa yang terjadi pada pemilihan gubernur di Jakarta lalu (15/2) merupakan bentuk percampuran politik dan agama. Muncullah konflik.

Point yang mendasari itu adalah kepemimpinan, umat islam yang di Jakarta bersikeras bahwa yang pantas menjadi Gubernur DKI adalah orang islam. Pertarungan antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Anies Baswedan diibaratkan pertarungan agama antara non-muslim (kristen) dengan muslim (islam). Dengan perspektif demikian, maka tidak heran Anies Baswedan menang telak, walaupun umat islam juga terbelah ada yang mendukung Ahok tapi basis massa umat islam dari Anies Baswedan jumlahnya lebih banyak.

Jika dilihat dari pemimpin umat islam yang beragama islam, banyak juga yang ditangkapi oleh KPK maupun Polri. Berikut nama-nama besar mereka, tahun 2014 Fuad Amin seorang ketua DPRD Bangkalan yang ditangkap karena kasus korupsi, Anas Urbaningrum mantan ketua umum Partai Demokrat yang divonis delapan tahun penjara, Akil Mochtar mantan ketua Makhkamah Konstitusi yang divonis seumur hidup. Harian kompas (4/2/2015) memuat berita Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sampai mengatakan "Data terakhir sampai bulan Desember tercatat cukup tinggi. Gubernur, Bupati, Walikota adalah 343 orang yang ada masalah hukum baik di Kejaksaan, Polisi, KPK yang ada masalah hukum soal anggaran,".

Di akhir tahun 2016, kompas (12/12/2016) dalam Kaleidoskop 2016 : 10 Kepala Daerah tersangka Korupsi. Artinya, agama tidak seharusnya bercampuran dengan politik seperti yang disangkakan selama ini oleh masyarakat. Agama seharusnya tidak boleh ditampilkan dalam ranah kotor seperti politik, agama harus dikembalikan ke tempatnya yakni ruang-ruang suci seperti Masjid, Musholla dan tempat diskusi keagamaan.

Di luar politik, masyarakat membentuk sebuah persatuan agama, semisal islam (walau terkadang perbedaan pendapat juga ada). Tapi, begitu keluar dari ranah keagamaan, masuk ke dalam ruang lingkup sosial multikultural (politik) kita harus melepas baju dan memakai baju lain. Hal ini untuk menghindarkan bahwa agama bukanlah semata untuk mencari kekuasaan duniawi. PPP yang merupakan partai berlambang Ka'bah saja, mantan pemimpinnya Suryadharma Ali didakwa merugikan negara Rp 27,28 Miliar dalam kasus korupsi Dana Haji (21/9/15). Ironis, bukan?

Oleh sebab itu untuk memilih Kepala Negara, Pemerintahan dan Daerah sejenisnya, harus dengan standar konsep rencana pembangunan. Alm, Nurholish Madjid dalam suatu acara talk show menjelaskan, bahwa masyarakat mendukung atau tidak mendukung tidak berdasarkan pribadi melainkan konsep, setuju atau tidak. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya, bahwa masyarakat masih memandang SARA sebagai cara untuk memilih, pilkada di Jakarta merupakan contohnya. Kekhawatiran muncul karena diduga akan berlanjut di daerah lain kian tinggi, menjelang 2018, lebih-lebih pada tahun 2019 nanti, serangan tidak hanya pada konsep rencana pembangunan namun juga dari sisi lain, terutama menyangkut SARA (black campaign).

Hasilnya, umat islam akan terpecah, seperti pada tahun 2003 mengenai pemilihan presiden. Seperti, dalam buku Api Islam Nurcholish Madjid, Ahmad Gaus mengutip perkataan Gus Sholah,"Para pengikut Bung Karno sudah pasti memilih Megawati dan para pengikut Masyumi atau Islam non-NU sudah pasti akan memilih Amien Rais," (2010). Sehingga, umat islam lainnya, Nadliyin, ketika Gus Dur disarankan mundur, maka suara mereka akan diberikan pada alm. Nurcholish Madjid. Disini, kita melihat bila didalamnya walaupun ada umat islam, namun tidak ada umat islam yang bersatu untuk memilih secara mufakat satu tokoh, baik itu Megawati, Amien Rais atau Gus Dur.

Hal ini mengisyaratkan bahwa disisi lain umat islam masih belum melihat hal lain selain dari sosok dan unsur islamnya. Kita tidak boleh lagi terjebak dalam bayang-bayang islam dalam demokrasi bernegara, sesuai dengan pandangan Soekarno yang lebih mengutamakan nasionalisme islam, bukan universalisme Islam merupakan indikator bahwa pada dasarnya islam tidak harus terjebak oleh suatu proses pembentukan struktur dalam masyarakat ataupun kurun masa tertentu (Pardoyo, 1996). Hal ini dapat diartikan, boleh saja Presiden, Gubernur, Walikota dicalonkan oleh partai namun masyarakat diharuskan memilih mereka dengan melihat konsep rencana pembangunan, bukan lagi melihat dari segi SARA-nya.

Ketakutan akan islam mengalami kemunduran hanya dapat terjadi jika tidak berpegang teguh pada keyakinan. Walau nanti, kepala perangkat negara berbeda unsur keyakinan tetap saja, sesuai dengan ajaran agama (islam) untuk menjamin kemerdekaan beragama dan memberi persamaan hak terhadap penganut agama lain (ibid, 192).

Nah sekarang, masyarakat harus dicerdaskan oleh pemerintah melalui pendidikan. Yakni, pengertian bahwa Gubernur, Presiden dan Perangkat Kenegaraan apakah dapat didefinisikan sebagai pemimpin atau bukan? Jika memang ya, maka tak perlu lagi penjelasan bahwa di Indonesia pemimpin sama dengan islam. 

Tidak boleh tidak, apabila bukan itu maka perlu dijelaskan bahwa agama (dalam hal ini bentuk ideologi) tidak diperbolehkan masuk ke dalam ranah politik sehingga non-muslim dapat bersaing secara sehat dengan muslim dalam memperebutkan posisi orang nomor satu di daerah, provinsi bahkan dalam negara. Dengan demikian, potret suram pada pilkada DKI lalu tidak akan terjadi lagi, karena level kecerdasan dalam memilih kepala perangkat negara naik satu level.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun