Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gado-Gado Dado

12 Mei 2013   17:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:41 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Hei Sipiit! Lihat PR Matematika punyamu dong”

Dado tergopoh-gopoh mengejar Tomi, tapi tubuh tambunnya tampak terlalu berat untuk diajak berlari. Tahu sedang dikejar oleh Dado, Tomi malah mempercepat langkahnya.

“Hahaha…Dasar Dado gendut! Kejar aku dong kalau bisa”, Tomi berlari sambil membalikkan badannya ke arah Dado. Dia tertawa lebar sembari tangan kanannya melambai-lambaikan buku PR Matematika.

“Woi sipit, lihat jalan di depanmu tuh,”

Belum sempat Dado menyelesaikan kalimatnya, bruuuk…Tomi terhuyung-huyung, satu kakinya terjerembab ke dalam lubang galian jalan. Lubang yang tak terlalu dalam, tapi cukup untuk membuat remaja tanggung itu terjatuh.

“Aduuh, bajuku kotor nih. Bagaimana dong? Nanti aku bisa dimarahin guru piket di sekolah”

“Halah dasar kamu sipit sih. Lubang segede itu kok bisa nggak kelihatan. Hahaha. Eits…Buku PRmu aku ambil ya,” dengan tangkasnya Dado menyambar buku Tomi yang tergeletak di tanah.

“Ah terserah kamulah. Ini bajuku bagaimana? Ada ide nggak?”

“Mampir di rumah si Joko Ireng aja. Kan rumahnya deket sama sekolah.”

*****

Beberapa saat kemudian, di rumah seseorang yang dipanggil dengan Joko Ireng.

“Kalian itu kok ndak sopan sekali ya. Sudah mau pinjam seragamku, panggil namaku Joko Ireng pula. Malu tahu sama Bapak Ibuku yang kasih nama.”

Usut punya usut, ternyata Joko Ireng ini nama aslinya adalah Fandi Darmawan.

Dado cengar-cengir kuda,”Maaf sih, Fan. Kan biar akrab aja. Hampir semua anak di kelas kita punya julukan masing-masing lho, keren kan!”

“Keren apanya? Sepertinya cuma kamu yang bangga dipanggil gendut. Aku mah ogah dipanggil sipit.” Tomi menonjok bahu Dado.

Tampaknya kesenangan Dado dengan beragam julukan harus berakhir siang ini.

*****

Usai sekolah, Dado pulang seorang diri karena Fandi dan Tomi lanjut ekstra kurikuler buletin sekolah. Dado sendiri mengambil esktrakurikuler futsal, meski ia sebenarnya lebih suka sepakbola. Tahu kenapa Dado memilih futsal? Karena gendut, jadi menurut Dado ia tak akan kuat berlari di lapangan sepakbola. Faktanya, ia juga tak pernah berlari di lapangan futsal, karena posisinya adalah…KIPER!

Sedang asyik berjalan, pandangan Dado tertuju pada seorang mahasiswa di pinggir halte bus. Ia menelan ludah saat melihat sepatu futsal yang ditenteng oleh si mahasiswa .

Wow! Bagus benar sepatunya. Abang itu beli di mana ya?

“Bang, baang!” Dado setengah berteriak memanggil si mahasiswa, tapi orang yang dimaksud tak menunjukkan respons apapun.

Dado mendekat dan kembali memanggil,”Bang, bang Flores!”

Kali ini, tak perlu dua kali Dado memanggil, si mahasiswa langsung menoleh. Ia tak hanya menoleh, tapi juga berjalan ke arah Dado dengan tatapan marah!

“Hoi! Sini kau! Tadi kau yang panggil aku?”

“Eh iya Bang. Wah untung Abang belum naik bus,” Dado tersenyum girang

“Ada apa kau panggil-panggil aku? Terus kenapa pula kau panggil aku dengan sebutan Flores, hah?”

“Saya suka dengan sepatu futsal Abang. Jadi saya mau tanya Abang belinya di mana. Biarpun gendut begini, saya pemain futsal lho, Bang.” Dado menunjuk dadanya dengan penuh kebanggaan.

“Lalu kenapa kau panggil aku Flores, hah?” Kali ini nada bicara si mahasiswa semakin meninggi.

“Ooh, itu..itu..eh..eh…” Dado mulai ketakutan.

“Kenapa, hah?!”

“Soalnya, wajah Abang mirip seperti orang Flores yang sering saya lihat di televisi. Habis tadi saya panggil-panggil, tapi Abang nggak denger. Jadi saya coba panggil Bang Flores.”

“Kau dengar ya. Sekarang siang sedang terik dan aku juga belum makan. Aku pun buru-buru mau kuliah ini. Kau tambah pula dengan panggil seperti itu, bikin aku marah saja. Aku punya nama. Kalau memang aku tak dengar, kau dekati saja kan bisa. Untung saja wajah kau lucu, kalau tidak, sudah habis mungkin kau.”

Dado terdiam mematung.

“Hei, hei. Kenapa badanmu kaku begini? Kau tak kuapakan-apakan, anak kecil”

“B..b..b..b..bang, n…n…nama Abang siapa?” Dado mengulurkan tangannya yang pucat pasi.

“Ah, kenapa pula kau jadi takut begini? Sudahlah, lupakan saja yang tadi. Namaku Volta, tapi aku sering dipanggil Dado. Nama kau siapa, ha?”

*****

Malam hari, di ruang makan rumah Dado.

“Dado, dari tadi Ibu perhatikan kamu kok diam terus? Kamu dihukum lagi karena belum buat PR ya?”

Dado menggeleng. Pikirannya masih tertambat pada kejadian tadi siang.

“Bu, salah ya kalau Dado suka panggil teman-teman dengan nama panggilan? Kan maksud Dado supaya akrab gitu.”

“Hmm, Dado…Setiap orang punya nama dan itu menjadi identitas mereka,”

Dado segera menyela,”Tapi, Bu. Dado nggak masalah kok kalau dipanggil gendut,”

“Do, dengarkan dulu kalau Ibu sedang bicara ya. Ibu kan sudah beberapa kali bilang hal ini sama kamu. Jangan lagi panggil Tomi dengan sebutan sipit. Itu bisa menyinggung perasaannya. Ibu dengar kamu juga panggil Fandi anak yang baru pindah itu dengan sebutan Joko Ireng.”

“Kan seru bu. Lagipula teman-teman di sekolah Dado kan beragam. Kemarin juga ada anak pindahan dari Ambon, namanya Christine. Lucu bu, rambutnya keriting kecil-kecil gitu. Dado udah berencana nih, besok mau panggil dia dengan julukan anak indomie, hehe.”

Tiba-tiba ibu beranjak ke dapur dan membawa sepiring gado-gado.

“Nih, ibu punya gado-gado untuk kamu. Tapi bukan untuk dimakan ya. “

Dado heran dan mengernyitkan dahi.

“Kamu tahu, gado-gado isinya apa aja?”

“Hmm… Ada kentang, telur, tomat, ada kuah kacangnya, pokoknya enak deh,” Dado tak tahan lagi melihat sepiring gado-gado yang menggiurkan.

“Gado-gado ini seperti Indonesia. Negara kita punya ratusan suku dan budaya. Setiap suku punya karakter yang unik dan khas, terutama karakter fisiknya yang kamu lihat kan. Tapi kita hidup berdampingan dan harus saling menghargai identitas masing-masing. Kuah kacang di gado-gado ini ibarat pemersatu di negara kita, mungkin seperti bahasa Indonesia ya. Meski kita disatukan, setiap suku tidak kehilangan identitas masing-masing. Coba kamu ambil potongan telur itu.”

Dado yang sudah lapar menyendok separuh potongan telur ke dalam mulutnya.”Hmm, nyam..nyam”

“Apa rasanya?”

“Ya rasa telur bu, meskipun ada kuah kacangnya”

“Nah, begitu juga dengan Indonesia. Suku Jawa tetap punya rasa sendiri, suku Minang juga. Suku-suku lainnya juga seperti itu. Begitu pula dengan etnik Arab atau Tionghoa. Jadi, setiap orang sudah punya identitas masing-masing. Kamu harus belajar untuk menghargai identitas orang lain, terutama teman-temanmu yang berbeda suku. Tidak semua orang mau diperlakukan dengan caramu.” Ibu tersenyum melihat Dado.

“Kalau kamu suka dengan nama panggilan, teman-temanmu belum tentu suka dengan gaya itu. Semakin tinggi sekolahmu, teman-temanmu juga makin beragam, Nak. Hiduplah dalam toleransi, tapi kamu juga harus punya prinsip ya. Bukan toleransi yang kebablasan. Kapan-kapan Ibu akan jelaskan lagi soal prinsip dan toleransi. Sekarang makanlah dulu ya.”

Dado hanya tenganga mendengar penjelasan ibunya dan tampak terpukau sekali hingga mematung selama beberapa detik. Ia kemudian berlari menuju kamar.

“Eh Bu, tadi Dado diberikan ini lho sama seorang abang mahasiswa. Dia dari Flores, tapi dia baik sekali ternyata.”

Dado menunjukkan sepasang sepatu futsal pada ibunya!

Salam toleransi!

@yudikurniawan27

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun