Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Deteksi Dini Masalah Kejiwaan

18 Oktober 2016   13:31 Diperbarui: 18 Oktober 2016   23:36 1718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi masalah kejiwaan (redbubble.com)

Atas inisiatif World Federation of Mental Health, tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia (HKMS). World Health Organization (WHO) selaku organisasi kesehatan dunia juga turut serta meningkatkan kesadaran warga dunia terhadap kesehatan mental lewat tema-tema yang diusung setiap tahunnya. Tema yang diangkat pada 2016 ini adalah Dignitiy in Mental Health: Psychological First Aid for All (PFA). PFA dipilih karena kasus gangguan kejiwaan di seluruh dunia terus meningkat dan membutuhkan perhatian tidak hanya dari profesional di bidang kesehatan mental, namun juga dari masyarakat awam.

Mari kita perhatikan masalah kejiwaan di tanah air. Tahukah Anda bahwabahwa sekitar 6 dari 100 penduduk Indonesia berusia lebih dari 15 tahun diindikasikan mengalami masalah mental emosional? Dan tahukah Anda bahwa sekitar 2 dari 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat? Data tersebut berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2013. Untuk masalah kejiwaan, Riskesdas membagi kategori menjadi gangguan jiwa berat dan gangguan mental emosional. Gangguan jiwa berat ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas dan kesadaran diri yang buruk dari Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sementara gangguan mental emosional adalah ketidaksatabilan kondisi mental yang dapat dialami semua orang, dapat pulih seperti keadaan semula, namun berisiko menjadi masalah mental yang lebih serius bila tidak segera ditangani. Individu yang mengalami masalah mental emosional disebut Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).

Berdasarkan penjelasan Riskesdas, instrumen pengukuran masalah mental emosional memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status emosional individu sesaat (sekitar 30 hari) dan tidak dirancang untuk mendiagnosis masalah kejiwaan secara spesifik. Namun data tersebut tetap layak dicermati karena masalah kejiwaan adalah sesuatu yang abstrak dan kerap tidak terdeteksi. Umumnya masyarakat menyadari masalah kejiwaan setelah muncul gejala konkret, seperti mengurung diri, berbicara tidak jelas, muncul pikiran aneh, ada keinginan bunuh diri, atau muncul halusinasi. 

Tingginya kasus masalah kejiwaan memberikan beban bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Individu dengan gangguan mental emosional dan atau gangguan jiwa berat tidak mampu bekerja produktif, sehingga menimbulkan beban biaya yang besar bagi keluarga yang menanggungnya. Stigma negatif terhadap ODGK dan ODMK ikut menambah beban psikologis keluarga. Masalah kejiwaan juga menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar.

Pada tahun 2014, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang (UU) nomor 18 tentang Kesehatan Jiwa. Semangat yang ingin diembuskan lewat UU tersebut adalah menciptakan sinergi antara Pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan dan penanganan masalah kejiwaan di Indonesia. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat awam untuk mendeteksi dan mencegah bertambahnya ODMK dan ODGJ?

Deteksi Dini melalui PFA

Konsep deteksi dini yang diusung WHO lewat PFA memungkinkan orang awam terlibat dalam pencegahan masalah kejiwaan.  Apa itu PFA? Sederhananya, PFA adalah pertolongan psikologis dasar yang dapat diberikan oleh non-profesional di bidang kesehatan mental terhadap mereka yang mengalami masalah psikologis. Masalah psikologis bisa terjadi pada siapa saja, tidak peduli rentang usia, jenis kelamin, dan status sosial. Sama halnya seperti kotak P3K yang tersedia hampir di setiap rumah ataupun kendaraan, pengetahuan tentang PFA idealnya dimiliki oleh setiap orang.

PFA bertujuan untuk memberikan bantuan dan dukungan psikologis kepada mereka yang baru saja mengalami situasi tidak menyenangkan. Misalnya: PFA kepada survivor (penyintas) bencana alam, penyintas peperangan, penyintas KDRT/kejahatan seksual, atau mereka yang baru kehilangan salah satu anggota keluarganya. PFA bukan upaya konseling atau tindakan intervensi kesehatan mental secara profesional, melainkan upaya untuk mengamati adanya kebutuhan penyintas terhadap dukungan psikologis dan sosial.  Lewat PFA, masyarakat awam juga dapat melakukan deteksi dan pencegahan masalah kejiwaan.

Ada tiga prinsip aksi dalam PFA, yaitu look-listen-link. Look adalah prinsip aksi mencermati situasi dan kondisi sekitar, apakah cukup aman atau tidak bagi penyintas. Anda dapat memastikan bahwa penyintas berada di tempat aman dan jauh dari pihak/kondisi yang mungkin membahayakan keselamatannya. Listenadalah prinsip aksi mendengarkan dengan perhatian penuh. Anda dapat bertanya apa yang dibutuhkan oleh penyintas dan dengarkan kebutuhannya dengan perhatian penuh. Link adalah prinsip aksi menghubungkan penyintas dengan kebutuhan utamanya, hubungkan dengan orang yang mereka kasihi, dan berikan informasi bagaimana mengakses bantuan tersebut.

Contoh kasus: Sahabat Anda baru saja terkena musibah banjir dan kehilangan salah satu anggota keluarganya. Untuk langkah awal, pastikan bahwa dia terlindungi dari situasi bencana. Anda dapat bertanya apa kebutuhannya dan dengarkan mereka saat bercerita. Jika Anda tidak memiliki hal yang dibutuhkan oleh penyintas, hubungkan mereka dengan keluarga yang masih dapat melindunginya atau layanan perlindungan penyintas bencana alam. Tidak terlalu sulit, bukan? Percayalah bahwa bantuan sederhana yang Anda berikan mampu mengurangi beban psikologis penyintas.

Kunci penting saat melakukan deteksi dini masalah kejiwaan adalah peka terhadap situasi sekitar. Misalnya kita melihat seorang teman yang dulunya periang, namun perlahan mulai sering menyendiri dan mengurangi interaksi sosial. Perubahan sikap yang terjadi pada orang di sekeliling kita merupakan indikasi adanya perasaan tidak nyaman. Jika dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin seseorang yang awalnya sehat mental menjadi ODMK.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun