Beberapa waktu belakangan, kita mengevaluasi pola konsumsi yang menjurus pada terjadinya konsumerisme dimasyarakat.
Disisi lain, secara bersamaan, kondisi mikro ekonomi dinyatakan mengalami perlambatan karena konsumsi domestik yang tertahan.
Bila demikian, konsumsi dan konsumerisme harusnya dapat menjadi penggerak ekonomi, dengan koreksi secara terarah dan terkelola.
Konsumerisme diartikan sebagai sebuah penyimpangan dari sikap konsumsi berlebihan, bahkan disebut sebagai anomali dari sifat konsumsi manusia, masuk kedalam kategori consumption disorder.
Sesungguhnya konsumsi bila dilekatkan dalam ranah yang normal, adalah hal yang wajar saja, tetapi sikap tamak menghadirkan dimensi keberlebihan yang menjurus pada aspek pemborosan.
Sebagian kalangan menilai konsumerisme adalah ancaman, terutama bila dikaitkan dengan pasar bebas. Posisi kita tidak ubahnya bagaikan target market, dengan kapasitas pasar yang besar.
Hal ini nampaknya benar, meski sejatinya terdapat kegagalam dalam proses transformasi masyarakat. Selama ini, kita memang dididik sebagai konsumen dan bukan produsen.
Padahal celah peluang terbuka lebar, era digital memudahkan pertukaran informasi dan transaksi. Hal ini yang harusnya dikembangkan serta diberi insentif tumbuh oleh pemerintah.
Sikap konsumerisme bisa berdampak positif bila diarahkan pada produksi nasional, tidak hanya menawarkan brand tetapi sekaligus mendorong produk lokal sebagai pilihan utama.
Tentu role model diingkat elit perlu memerikan contoh serta teladan, termasuk penjabaran teknisnya seperti kebijakan komponen lokal bagi kebutuhan yang bisa dikelola oleh produksi domestik.
Bila kemudian saat ini perlambatan ekonomi disebut tengah terjadi, maka hal tersebut terjadi lebih disebabkan massifnya pesimisme ekonomi di masyarakat.