Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Transisi dari Mac OS ke Linux? Lumayan Juga...

29 Maret 2017   01:14 Diperbarui: 29 Maret 2017   17:00 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Foto: etsystatic.com)

Awal Desember 2016 lalu merupakan salah satu momen paling menyedihkan bagi saya. MacBook Air yang sudah menemani saya sejak pertengahan 2012 lalu, akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya.

Padahal, hari itu, cuaca di Tarakan, Kalimantan Utara, cukup terik, tanpa ada tanda-tanda akan terjadinya hujan atau badai. Pun sang MacBook Air tengah saya ajak menyusun pengalaman ketika berkunjung ke desa-desa perbatasan di Nunukan dan Malinau. Tempatnya, pun cukup nyaman: sebuah warung kopi legendaris di sudut Kota Tarakan.

Tanpa ada tanda-tanda kerusakan, tiba-tiba saja MacBook Air saya mati. Saya pikir baterainya sudah habis. Tanpa pikir panjang, saya pun segera menuju bandara untuk check-in sekalian mengisi ulang baterai MacBook Air saya di ruang tunggu.

Namun, ketika saya coba isi ulang, MacBook Air saya tidak kunjung terisi. Ketika saya coba tekan tombol power, mesin terdengar hidup, tetapi tidak ada tanda apa pun di layar. Pada titik ini, saya pun mulai sadar bahwa ada tanda-tanda kerusakan yang cukup vital.

Setibanya di Bandung, saya pun memeriksakan MacBook Air ke tempat reparasi produk Apple langganan saya. Dan benar saja, MacBook Air saya rusak berat. Logic Board-nya rusak. Fungsi perangkat ini sama seperti Mother Board di komputer dan laptop pada umumnya. Itu berarti, biaya penggantiannya akan sangat mahal.

Logic Board sendiri merupakan papan tempat beberapa komponen vital MacBook Air disematkan, seperti: prosesor dan VGA. Komponen-komponen tersebut terpasang secara permanen di Logic Board. Rusaknya Logic Board berarti seluruh komponen secara otomatis tidak bisa dipergunakan kembali.

Untuk menggantinya, tempat reparasi sendiri menawarkan dua pilihan yang kedua-duanya mensyaratkan biaya yang cukup mahal. Pilihan pertama, tempat reparasi mencari Logic Board bekas yang masih bagus untuk menggantikan Logic board MacBook Air saya. Harganya cukup membuat saya meriang dan pusing tujuh keliling: 4,5 juta Rupiah.

Pilihan kedua, tempat reparasi akan membeli Logic Board baru. Harganya, ini juga lumayan dahsyat dan bikin saya setengah mati, yaitu: 7,5 juta Rupiah. Nilai ini sama dengan harga MacBook Air bekas yang banyak beredar di pasaran Indonesia.

Memiliki MacBook Air sendiri merupakan sesuatu yang masih terbilang "mimpi" bagi saya, bahkan hingga hari ini. Bagaimana pun, perangkat tersebut harganya cukup mahal dan menguras kantong, terutama untuk ukuran orang Indonesia. Bila tidak terlalu pandai "mencetak" uang, rasanya barang tersebut akan selalu jadi cita-cita bagi mereka yang menginginkannya.

Saya sendiri mendapatkan MacBook Air yang kini rusak tersebut secara cuma-cuma. Kala itu, pada pertengahan tahun 2012, saya mengikuti sebuah perlombaan menulis tingkat nasional. Beruntung, saya menjadi salah satu pemenangnya, dan berhak untuk membawa pulang MacBook Air 13' yang menjadi idaman para peserta lomba.

Kembali ke MacBook Air saya yang rusak. Karena kedua pilihan biaya tersebut terlalu mahal, akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan MacBook Air saya tetap mati dan teronggok di antara buku-buku di rumah. Selanjutnya, saya berusaha untuk "move-on" dari MacBook Air dan MacOS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun