Mohon tunggu...
Yoshi Hervandar
Yoshi Hervandar Mohon Tunggu... Buruh - Suka Perdamaian

Habib Rizieq adalah titisan Soekarno, orasinya membangkitkan semangat, mendengarnya membangkitkan nasionalisme

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukti Bukan Janji, Tapi Jakarta Butuh Gubernur Baru (Lagi)

20 Maret 2017   12:52 Diperbarui: 20 Maret 2017   22:00 2060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.aktual.com/ahok-pecat-sekwan-alasan-marah-tak-diberi-lhp-bpk/

Ada anomali yang begitu menarik ketika kita ikut memerhatikan Pilkada DKI Jakarta 2017 ini, sejak putaran pertama, beberapa bulan yang lalu. Disebut anomali karena berbeda dengan kebanyakan. Tidak sesuai dengan teori “Jika-Maka” yang biasanya digunakan sebagai analisa dan prediksi. Ada keanehan dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta kali ini. Apa itu? Tentu saja tentang keinginan warga Jakarta untuk mempunyai gubernur baru.

Bukannya tingkat apresiasi terhadap kinerja Ahok-Djarot tinggi? Kalau tinggi, seharusnya tidak perlu ada gubernur lagi. Tapi rupanya, ada keinginan warga Jakarta untuk mempunyai gubernur baru! Aneh, tapi itulah kenyataannya, bahwa tak semua warga Jakarta terhipnotis dengan isu tentang bukti-bukti kerja yang sudah dilakukan.

Artinya, tingkat kepuasan terhadap kerja Ahok-Djarot, berbanding terbalik dengan keinginan warga Jakarta untuk mempertahankannya sebagai gubernur Jakarta di periode selanjutnya. Ketidak-berhasilan Ahok-Djarot membuat Pilkada DKI Jakarta menjadi satu putaran, sebagaimana yang sering digembar-gemborkan, adalah bukti lainnya yang valid, bahwa keinginan untuk mempunyai gubernur Jakarta yang baru itu demikian kuat.

Jadi, pada konteks tertentu, tak perlu “dibanggakan” ketika pada setiap kampanye, Ahok-Djarot selalu mengatakan, bahwa mereka telah memberikan bukti, bukan hanya janji. Memberi bukti itu biasa saja, karena memang begitulah keunggulan alamiah yang dimiliki petahana. Banyak petahana dalam setiap pemilihan umum mempergunakan idiom itu, termasuk Foke, yang ternyata dikalahkan oleh Jokowi-Ahok, yang saat itu masih bertabur mimpi dan janji, dan dalam beberapa hal tertentu, banyak yang belum ditepati hingga saat ini.

Bahkan, tidak bisa dinafikan, bahwa sebagian banyaknya justru malah menjadi pertentangan dan menjadi penyebab kesengsaraan. Pelanggaran hukum, bahkan dilakukan oleh Ahok dalam membuat kebijakan, sehingga tidak aneh ketika dalam banyak kasus, Pemprov kalah dalam gugatan di PTUN. Kekalahan ini terjadi, tentu karena memang tidak bisa dipungkiri adanya kesalahan dalam membuat kebijakan, termasuk ketidak-terlibatan masyarakat di dalamnya. Jangankan masyarakat, DPRD saja tidak dilibatkan.

Apakah ada yang salah dengan fenomena ini? Tentu saja tidak. Ini bukan soal salah atau benar, tapi soal penilaian yang berbeda antara pihak “yang mengaku” dengan “yang mengakui”. Mereka yang mengaku tidak paham, bahwa tingkat keterpilihan itu bukan soal kinerja, prestasi, dan bukti saja, tapi ada faktor lain yang lebih prinsip, terutama tentang karakter dan kesadaran untuk tidak menimbulkan potensi dibenci dan memecah belah. “Berbicara suka menyinggung, dan bertindak suka sepihak”. Mereka yang mengakui, kadang terlalu ge-er akan dipilih lagi.

Ternyata, bukti dan kerja saja tidak cukup untuk merayu warga Jakarta. Silahkan saja Ahok-Djarot sesumbar tentang bukti-bukti keindahan Jakarta dalam framesebuah foto yang cantik dan estetis, tapi yang pasti, warga Jakarta menginginkan gubernur baru lagi. Sesederhana itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun