Mohon tunggu...
Yosal Iriantara
Yosal Iriantara Mohon Tunggu... profesional -

Tinggal di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak SD Bermotor Ria

23 Juli 2012   05:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak kelas 1 atau 2 SD, pria dan wanita berseliweran di jalan-jalan kompleks perumahan. Mereka berboncengan, terkadang membonceng teman sebayanya sampai 3 orang. Mereka tertawa-tawa, riang gembira. Matanya tidak hanya menatap lurus ke depan melainbkan selalu lihat kiri dan kanan, siapa tahu ada kawannya. Kalau tahu sudah bisa naoik motor pasti akan dapat pujian dari kawannya.

Di kompleks perumahan tempat saya tinggal sudah beberapa kali terjadi tabrakan motor yang ditumpangi anak-anak SD itu. Pernah ada 3 anak yang jadi korban luka akibat bertabrakan dengan motor lain yang ditunggangi anak-anak juga.

Pada awal bulan puasa ini, saat sekolah libur, setiap sore jalan-jalan di perumahan penuh dengan anak-anak yang bermotor ria. Saya jumpai di berbagai lokasi di beberapa kota yang sempat saya kunjungi pada libur menjelang puasa dan pada awal bulan puasa. Ramai anak yang naik motor.

Bila diperhatikan, ada kecenderungan anak yang baru bisa naik motor itu ingin mengemudikan secepat mungkin. Bahkan jika pun ada "polisi tidur" seperti yang biasa ada di jalan-jalan kompleks perumahan, anak-anak itu justru menikmati motornya meloncat karena "polisi tidur" itu. Oleng motor karena dipacu supaya bisa meloncat motor saat melewati "polisi tidur" jadi mereka nikmati betul.

Tentu saja anak seusia itu memang belum pantas mengendarai motor. Memang secara teknis mereka bisa menaiki motor. Apalagi motor matik yang mudah dikendarai. Anak usia 7-8 tahunan dengan mudah bisa mengendarai motor seperti mereka mengendarai kendaraan mainan.

Motor rupanya menjadi barang mainan baru bagi anak-anak itu. Mereka memainkannya di jalan-jalan perumahan atau jalan raya dekat perumahan. Mereka menganggap motor memang barang mainan saja. Bila jatuh darti motor dan motornya agak lecet-lecet dianggap biasa saja seperti halnya mereka jatuh dari sepeda.

Padahal, pada umumnya anak-anak itu baru bisa mengendalikan motor secara teknis. Emosi mereka sebetulnya belum siap mengendarai motor. Kecenderung "dikendalikan motor dan bukan mengendalikan motor" sangat mudah terlihat dari perilaku mereka berkendara.

Bagi mereka yang mengemudikan mobil, masa liburan sekolah mendorong kita untuk lebih berhati-hati. Anak-anak kecil bermotor itu bisa seenaknya keluar dariu mulut gang atau jalan lebih kecil masuk jalan utama tanpa tengokj kiri kanan lagi. Mereka bisa menyalip mobil seenanknya tanpa perhitungan.

Karena memang mereka secara emosional atau psikologis sesungguhnya belum siap untuk mengendarai motor. Tidak pula ada yang mendidik dan menmgingatkan anak-anak itu untuk bersikap hati-hati dan menghormati pemakai jalan lainnya.

Saya tak membayangkan bila hal seperti ini dibiarkan. Anak-anak itu tidak ada yang mengingatkan soal kesantuan berlalu-lintas atau tertib berlalu lintas. Karena pada 10 tahun kemudian, mereka akan ada jalan raya di berbagai kota dan tempat di tanah air. Ketidaksantuanan karena sikap kanak-kanak yang sekarang ini mereka perlihatkan jangan-jangan bakal muncul di jalan-jalan raya kita.

Bila sekarang ini saja sudah sedemikian semrawutnya, apalagi nanti 10 tahun ke depan setelah anak-anak yang seenaknya mengemudikan motor di kompleks perumahan itu masuk ke jalan-jalan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun