Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kecurangan dalam PPDB dan Upaya Memperbaiki Pendidikan Nasional

23 Juni 2019   22:44 Diperbarui: 23 Juni 2019   22:47 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbud, Muhadjir Effendy | Sumber: https://www.inews.id/ 

Sistem zonasi dalam merekrut calon siswa baru di berbagai tingkat pendidikan dasar dan menengah kembali mengundang polemik. Di beberapa tempat muncul protes dari pihak orang tua siswa karena dinilai tidak adil. Banyak warganet, pejabat di lingkungan Diknas, dan akademisi juga mengeritik sistem itu karena berbagai argumen.

Untuk meredam konflik berkepanjangan, Presiden Jokowi pun turun tangan. Beliau memerintahkan Mendikbud, Muhadjir Effendy untuk mengevaluasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi tahun 2019.

Hasilnya? Mendikbud langsung mengeluarkan Surat Edaran No 3 Tahun 2019 kepada seluruh pimpinan daerah (Gubernur dan Bupati/Wali Kota) di seluruh Indonesia yang pada intinya menginformasikan perubahan persentase yang diterima pada dua jalur PPDB. Surat ini didasari Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB.

Dari ketentuan itu diketahui bahwa jalur zonasi diubah dari paling sedikit 90% dari daya tampung sekolah menjadi 80%, jalur prestasi diubah dari paling banyak 5% menjadi 15%, sementara jalur perpindahan tugas orang tua/wali, tetap 5%.

Pertanyaannya, apakah revisi itu dilaksanakan? Tidak sepenuhnya. Masih banyak yang bingung karena Juklak dan Juknis disusun terburu-buru.

Apakah dengan melaksanakan perubahan persentase itu dapat dianggap sebagai solusi terbaik dalam proses PPDB sehingga terwujud apa yang dinamakan keadilan individu dan keadilan sosial dalam memilih sekolah?

Pertanyaan itu sangat sulit dijawab. Sebab konsep maupun pemahaman tentang adil dan keadilan tak ada. Setidaknya tak pernah final. Terus menerus berproses tanpa henti.

Yang ada hanyalah suatu kondisi yang dianggap adil. Ini pun dibatasi sekedar keadilan prosedural, keadilan formal. Ketika suatu aturan diterbitkan, dilaksanakan, dan diterima, walaupun masih ada yang grundel, keadilan itu dianggap terpenuhi. Di sisi lain permasalahan yang nyata belum terpecahkan.

Bagaimana cara memerkecil "jarak" antar sekolah negeri sejenis sehingga semua dianggap baik dan layak dimasuki oleh semua calon siswa baru belum ditemukan. Peningkatan kualitas guru dan metode pembelajaran yang nyaris tak pernah berhenti seolah selalu terhenti di ruang pelatihan.

Kecurangan TST

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun