Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menguak Belang Fahri Hamzah

23 Juli 2017   18:39 Diperbarui: 24 Juli 2017   11:56 44334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memimpin rapat paripurna pengesahan Pansus Angket KPK. Foto: TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

Nama Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menjadi momok bagi pendukung Presiden Joko Widodo. Cibiran hingga hujatan kepada politisi PKS yang sudah dpecat partainya tersebut, tidak pernah surut. Tetapi dua momen politik terakhir, menjadi pembeda karena Fahri justru tampil sebagai penyelamat keinginan Jokowi dan partai-partai pendukung pemerintah.

Momen pertama ketika Fahri Hamzah memimpin paripurna pengesahan Pansus Hak Angket untuk menyelidiki proses pemeriksaan terhadap para terduga koruptor dan saki di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pansus yang kemudian dikenal dengan nama Pansus Angket KPK tersebut diinisiasi oleh partai-partai pemerintah, terutama PDIP dan Golkar. Fahri tampil "otoriter" dengan langsung mengetuk palu pengesahan Pansus Angket KPK dan mengabaikan interupsi keberatan dan aksi walk out (WO) sejumlah anggota DPR.

Meski dikenal vokal terhadap KPK, namun seperti halnya politisi PKS lainnya, biasanya Fahri pandai menyerap isu-isu di tengah masyarakat yang menguntungkan posisinya. Tapi kali ini Fahri lebih suka dimusuhi sebagian besar masyarakat yang tidak setuju dengan upaya pelemahan KPK, termasuk berseberangan dengan polisi Partai Gerindra Fadli Zon yang selama ini menjadi tandemnya. Ada anggapan, sikap Fahri, yang berbeda dengan partai-partai non pemerintah terutama Gerindra dan PKS,   merupakan cerminan ketidaksukaannya terhadap lembaga anti rasuah tersebut sejak Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu menjabat sebagai Presiden PKS dijadikan tersangka kasus impor daging pada, tahun 2013 lalu.

Tetapi aksi kedua Fahri Hamzah dalam paripurna pengesahan RUU Pemilu 20 Juli lalu, menimbulkan tanda tanya besar. Meski mengaku menolak ketentuan presidential threshold (PT) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional, namun Fahri tetap berada di kursi pimpinan rapat bersama Ketua DPR Setya Novanto. Sementara tiga wakil ketua lainnya, termasuk Fadli Zon yang sebelumnya memimpin rapat, memilih WO. Tercatat empat anggota fraksi yang melakukan WO yakni Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN- sebagai satu-satunya partai pendukung pemerintah.

Fahri memiliki alasan mengapa dirinya tidak ikut WO. Menurutnya, meskipun sudah kuorum karena dihadiri 5 pimpinan, namun jika 4 pimpinan lainnya WO, dianggap kurang etis. Alasan Fahri memiliki dasar. Sebab sesuai Pasal 285 Ayat 3 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, anggota atau pimpinan yang meninggalkan sidang dianggap telah hadir. Artinya jikapun saat itu sidang hanya dipimpin  Setya Novanto, hasilnya tetap sah karena sudah memenuhi Tatib DPR.

Dengan demikian, alasan "etis" yang dilontarkan Fahri menjadi menarik karena tidak lazim. Sejak kapan anggota DPR memilikirkan dan peduli dengan etika? Ada dua kemungkinan mengapa Fahri tidak WO. Pertama, karena suara dan kehadiran atau ketidakhadirannya tidak lagi berarti. Ibarat ungkapan, datang tidak menggenapi, pergi tidak ada yang kehilangan. Kedua, alasan itu hanya sekedar untuk menutupi hal lain yang lebih strategis yakni menunjukkan keberpihakkannya pada pemerintah. Sebab dua kali "membela" kubu pemerintah di DPR, bukanlah kebetulan. Ada grand design yang tengah dimainkan. Salah satu kemungkinannya adalah meminta bantuan Jokowi untuk menumbangkan kepengurusan PKS saat ini yang telah menyingkirkan dirinya.

Meski dikenal memiliki anggota dan pengurus yang solid dan militan, namun kepengurusan PKS di bawah Sohibul Iman bukan tanpa friksi. Pertikaian antar faksi berlangsung keras dan tajam. Faksi Luthfi, Anis Matta dan Fahri Hamzah masih cukup kuat. Jika ada lampu hijau dari pemerintah, bukan hal mustahil Fahri akan menginisiasi Musyawarah Majelis Syuro (selevel munas) luar biasa untuk menggusur Sohibul Iman cs.

Fahri Hamzah bukan politisi kemarin sore yang diam saja ketika dirinya diusik. Setelah berhasil mementahkan SK pemecatannya melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan kini dalam tahap banding yang diajukan DPP PKS, Fahri nyatanya tetap kokoh bercokol sebagai wakil ketua DPR. Upaya PKS untuk mereshuffle Fahri dari ketua wakil dan keanggotaan DPR yang sebenarnya hak penuh partai, kandas. Keligatan dan kemampuan diplomasi Fahri membuat pusing elit PKS sehingga akhirnya membiarkan hingga saat ini.

Benarkah Fahri sudah menjadi "agen" Jokowi di DPR? Pertanyaan itu yang akhirnya menyeruak dan mulai menemukan kebenarannya dari dua gelaran politik di atas. 

salam @yb

Tulisan senada sudah pernah dipublikasikan di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun