Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Harga Koalisi 5 Partai di Pilgub Jabar

23 Agustus 2017   06:52 Diperbarui: 25 Agustus 2017   19:23 6445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengurus 5 partai saat mendeklarasikan Koalisi Biru Hijau bergaris Oranye. Foto: tribunnews.com

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat semakin menarik. Lima partai politik sepakat melakukan koalisi. Munculnya koalisi "biru hijau bergaris oranye" menjadi penanda kian mengerucutnya peta politik pada tiga kutub: Istana, Cikeas dan Hambalang. Menariknya, Partai Nasdem dan Ridwan Kamil yang "panas duluan" kini melempen karena kehilangan panggung dan momentum.

Bangunan koalisi 5 partai yakni Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional dan Partai Hanura menarik dicermati karena kemunculannya tidak terduga. Dengan kekuatan 35 kursi dari 20 kursi yang dibutuhkan, Koalisi Biru Hijau akan menjadi kendaraan politik yang sangat seksi. Kekuatan koalisi ini semakin menarik karena tidak dibentuk oleh bakal calon kepala daerah tetapi atas dasar kepentingan bersama. Setidaknya demikian yang terekam dalam pernyataan para pengurus 5 partai tersebut.

Mengapa akhirnya terbentuk Koalisi Biru HIjau? Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya koalisi lintas "kutub" ini. Pertama, manuver Partai Nasdem yang dinilai kurang elok ketika "memaksa" Wali Kota Ridwan Kamil menyepakati dukungan dengan "mahar" dukungan pada Presiden Joko Widodo. Ridwan Kamil bahkan sempat mengutarakan bagaimana dirinya terpaksa menerima pinangan Nasdem yang hanya memiliki 5 kursi di DPRD Jabar, karena takut dengan media yang dimiliki Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Jaksa Agung HM. Prasetyo yang merupakan kader Nasdem. 

Setelah diikat Nasdem, partai-partai lain yang awalnya melirik Ridwan Kamil akhirnya berpaling dan mencoba mencari calon alternatif. Namun mereka kurang pede membuka pendaftaran calon karena tidak memiliki kursi yang cukup untuk mengusung pasangan calon. Sementara bagi bakal calon, model penjaringan yang digelar perwakilan partai di tingkat daerah, tidak lagi menarik karena pada akhirnya keputusan ada di Jakarta, tepatnya di tangan ketua umum. 

Sepinya pendaftar pada penjaringan bakalan calon yang gubernur dan wakil gubernur Jabar yang digelar PDIP, sebagai satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon sendiri, membuktikan argumen tersebut. Kasus penjaringan bakal calon yang digelar DPD PDIP Jakarta di mana akhirnya tidak ada satu pun dari 30-an pendaftar yang dipilih tanpa disertai alasan yang jelas, padahal para calon sudah diwajibkan membayar biaya pendaftaran, merusak sistem penjaringan bakal calon yang sebelumnya cukup efektif.

Dari pada mencari calon secara sendiri-sendiri dengan posisi tawar lemah karena kurangnya jumlah kursi yang dimiliki, 5 partai itu memilih untuk membentuk satu kekuatan baru. Dengan demikian para bakal calon yang akan kembali mendatangi mereka, bukan sebaliknya. Imbal baliknya, posisi tawar mereka menjadi tinggi di depan bakal calon.

Kedua, polarisasi kubu Istana dan Hambalang yang terlalu tajam. Partai-partai pendukung pemerintah, terutama PKB dan PPP, agak "risih" jika ikut mendukung Deddy Mizwar yang diusung Koalisi Gerindra-PKS. Sementara untuk mengusung jagoan Golkar, Dedi Mulyadi, posisi mereka tidak lebih hanya sebagai pelengkap. Kehadiran PDIP yang terpaksa menurunkan target dengan hanya menyodorkan calon wakil gubernur kepada Golkar, membuat partai-partai medioker kehilangan posisi tawar. Bukankah tanpa PKB, PAN, PPP atau pun Hanura, Golkar dengan dukungan PDIP sudah bisa mencalonkan jagoannya?

Ketiga, semakin mendekati tahun 2019 di mana akan digelar pesta demokrasi nasional Pemilu sekaligus Pilpres, partai-partai politik menjadikan Pilkada Serentak 2018 sebagai tolok ukur- sekaligus penjajagan koalisi Pilpres. Sebagaimana diketahui, ketentuan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil Pemilu 2014, memaksa sejumlah partai melakukan koalisi agar dapat mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Jika PDIP sudah nyaman dengan Golkar, sementara Gerindra membangun koalisi permanen dengan PKS, maka Demokrat sebagai salah satu partai besar, belum memiliki bangunan koalisi yang utuh agar bisa mengusung calon presiden. Gelaran PIlkada 2018, terutama di daerah Jawa yang padat mata pilih, akan dimaksimalkan sebagai penjajagan menuju 2019.

Benarkah Koalisi Biru Hijau untuk kendaraan politik Ridwan Kamil menuju Jabar 1? Terlalu dini menyimpulkan hal demikian. Masih banyak tokoh-tokoh Jabar yang memiliki niat dan bersedia maju dalam kontestasi bertajuk Pilgub Jabar 2018 seandainya ada kendaraan politiknya. Namun bukan berarti Ridwan Kamil tidak memiliki peluang. Persoalannya, berapa harga ( an sich) kendaraan racikan Demokrat-PAN ini? Sanggupkah Ridwan Kamil menggelontorkan dana yang diminta untuk menggerakkan mesin beroda lima partai tersebut?

Sulit mengukurnya. Namun karena terlanjur berucap dan sudah menjadi omongan masyarakat, Ridwan Kamil diyakini akan melakukan apa pun demikian bisa maju dalam kontestasi Pilgub Jabar.

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun