Mohon tunggu...
Alberth Yomo
Alberth Yomo Mohon Tunggu... -

Ingin mendisiplinkan diri, tapi sulit mewujudkannya

Selanjutnya

Tutup

Nature

Partisipasi Masyarakat dan Kebijakan Tegas, Hutan Indonesia Lestari

31 Maret 2013   23:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:55 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar di salah satu kampung di pinggiran danau Sentani,Kabupaten Jayapura Provinsi Papua, pernah diajak oleh ayah dan ibuku ke lokasi yang akan dijadikan kebun tradisional. Kapak dan Parang, merupakan alat yang dibawa oleh Ayahku. Ketika sampai di lokasi itu, ternyata kami tidak sendirian, tampak sejumlah orang kampung lainnya yang juga memegang alat berupa kapak dan parang.

Beberapa saat kemudian, satu per satu pria dewasa termasuk ayahku mulai berpencar. Kata Ibuku, mereka akan membuka lahan baru bagi perkebunan tradisional. Cara yang mereka lakukan adalah dengan menebang seluruh pohon dalam areal yang akan dijadikan kebun tradisional itu.

Sementara itu sejumlah perempuan termasuk ibuku memilih untuk mencari sayur dan kayu bakar untuk kebutuhan di rumah. Akupun turut mendampingi ibu mencari sayur dan kayu bakar. Dari kejauhan aku hanya mendengar bunyi-bunyian pohon yang dihantam dengan kapak secara balas-balasan. Beberapa lama kemudian, terdengar bunyi reruntuhan pohon yang tumbang.

Biasanya areal yang dibuka untuk kebun tradisional oleh warga di kampung kami ukurannya antara 2-3 luas lapangan sepak bola, dan itu membutuhkan waktu paling cepat satu bulan jika dikerjakan setiap hari secara berkelompok. Tidak sampai di situ, setelah pohon yang ditebang itu kering, mereka kemudian membakar. Batang pohon yang berdiameter besar, sering dijadikan sebagai pembatas lahan antar warga. Setelah lahan tersebut dibakar, proses selanjutnya adalah penanaman bibit tanaman yang sudah disiapkan.

Itulah kebiasaan warga kami di kampung ketika hendak membuka suatu areal hutan menjadi lahan perkebunan tradisional yang ditanami pisang, ubi-ubian dan sayur mayur. Selain untuk memenuhi kebutuhan makan setiap hari, disamping ikan dan sagu, keberadaan kebun tradisional ini menjadi penting untuk menyiapkan bekal bagi prosesi pembayaran mas kawin.

Di areal ini, selanjutnya hanya bisa di datangi untuk panen hasil, tidak lagi dilakukan penanaman kembali. Untuk membuka kebun baru, warga di kampung melalui tetua adat selanjutnya akan mencari lokasi baru yang masih utuh hutannya. Kalaupun mereka kembali, biasanya areal terdahulu sudah berubah menjadi hutan, dalam hal ini, siklusnya kurang lebih 20 tahun ke atas.

Namun, beberapa tahun belakangan ini, fungsi kapak telah digantikan oleh chain saw, sehingga perluasan areal untuk perkebunan tradisional bisa dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, dan aktifitas penebangan pohon untuk kebutuhan lain kian meningkat. Meskipun sepele, tetapi hal sepele inipun perlu diatur oleh sebuah kebijakan yang baik, demi keberlangsungan dan eksistensi hutan bagi masyarakat di sekitar hutan.

Terlepas dari cerita itu, saya ingin katakan, bahwa keberadaan hutan sangat penting dan vital bagi kami di kampung. Bukan hanya bagi kebutuhan makan kami di kampung ( sebagaimana cerita saya di awal ). Hal lainnya, perahu kole-kole yang menjadi alat dan sarana transportasi kami di danau sentani, juga diambil dari hutan, rumah panggung yang kami tempati, pun bahannya dari hutan. Jadi, keberadaan hutan bagi kami sangat vital, tanpa hutan kami pasti mati.

Mungkin, bukan hanya kami di sekitar danau sentani atau di Papua yang memiliki pola yang sama terhadap hutan, tetapi saya yakin, rakyat Indonesia yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi bahkan seluruh jengkal tanah di Indonesia memiliki ketergantungan yang sama terhadap hutan.

Dengan demikian, menjawab pertanyaan; Bagaimana Indonesia tanpa hutan? Jawabnya Kematian. Ya, rakyat Indonesia akan mati kelaparan, rakyat Indonesia tidak akan memiliki tempat tinggal, bahkan tidak mungkin ada negara Indonesia seperti yang ada saat ini. Singkatnya jika Indonesia tidak ada hutan, maka di Indonesiapun tidak ada kehidupan.

Bayangkan saja, negara kita ini memiliki hutan tropis terbesar di dunia, yang luasnya menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Negara Kongo, serta 50 Juta penduduknya menggantungkan hidupnya pada hutan yang di dalamnya banyak terkandung kekayaan hayati yang beragam dan unik serta memiliki potensi sumber daya hutan yang sangat besar. Sehingga tidak mengherankan semasa 32 tahun pemerintahan orde baru, sektor kehutanan menjadi andalan perolehan devisa negara nomor 2 setelah sektor migas.

Disamping sebagai penghasil devisa, sektor kehutanan juga menyerap banyak tenaga kerja dan mampu mendorong terbentuknya sentra-sentra ekonomi dan membuka keterisolasian di beberapa daerah terpencil. Namun, bersamaan itu pula sebagai dampak negatif atas pengelolaan hutan yang eksploitatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada akhirnya menyisahkan banyak persoalan, diantaranya tingkat kerusakan hutan yang sangat mengkhawatirkan.

Laporan World Bank menyebutkan bahwa selama 35 tahun terakhir terjadi deforestasi seluas 1,6-1,7 juta, bahkan mencapai 2,0 juta per tahun ( Iskandar,2000:3). Justru kondisi tersebut pada era otonomi daerah semakin meningkat, yakni mencapai lebih dari 3,0 juta hektar per tahun(1998-2001). Penyebab deforestasi (kehilangan hutan) ini kebanyakan terjadi karena praktek industri perkayuan yang berlebihan, pembalakan liar, ekspansi lahan perkebunan dan pertanian, di samping karena masalah kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan dan kegagalan penegakan hukum bidang kehutanan.

Khusus permasalahan kebijakan yang kurang mendukung kelestarian hutan, contohnya antara lain pembukaan lahan secara besar-besaran untuk perkebunan tanpa dibarengi pengawasan yang ketat. Akibatnya, banyak lahan terlantar setelah hutannya dibabat habis. Kemudian, adanya ancaman perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi, dimana hutan lindung atas nama kapital akan dijadikan areal tambang. Sementara itu, penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku, karena disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dan aparat penegak hukum.

Pendapat lain menyatakan, bahwa masalah utama yang dihadapi sektor kehutanan adalah perilaku seluruh pikiran(stakeholders)yang saling tidak mendukung, tanpa sinergitas dan cenderung tidak sungguh-sungguh dalam kata maupun perbuatan(ambivalen)untuk melestarikan hutan. Ditambah lagi adanya perubahan kepolitikan pada era otonomi daerah yang terlampau dipaksakan, sehingga mengakibatkan sumber daya hutan mengalami deplesi yang semakin hebat.

Bertolak dari sinilah diperlukan sinergi semua pihak (stakeholders) untuk berperan aktif dalam mengelolah hutan secara lebih optimal dan lestari. Untuk itu pula peran serta rakyat tidak dapat diabaikan, karena prinsip sasaran pemanfaatan hutan dan segala sumber daya yang terkadung di dalamnya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945). Oleh sebab itu, pemanfaatan hutan harus bersamaan dengan upaya demokratisasi, menegakkan hak asasi manusia, dan perubahan tata ekonomi global yang lebih adil.

Pemerataan adalah kata yang paling penting daripada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa adanya pemerataan berarti kesenjangan, yang hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berdampak pada ternodanya persatuan rakyat Indonesia. Sesuai dengan esensi tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat, maka dalam pengelolaan hutan harus mengedepankan peran serta masyarakat.

Contoh kongkrit dari kebijakan yang bertujuan memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan mengedepankan peran serta masyarakat adalah sebagaimana yang dilakukan oleh mantan Gubernur Provinsi Papua(2006-2011), Barnabas Suebu,SH dengan kebijakannya yang menghentikan ekspor kayu log dari Papua.

Karena menurutnya, Hutan di Papua adalah milik rakyat (masyarakat adat). Oleh karena itu seharusnyalah rakyat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengelolaan hutan tersebut. Selama ini, masyarakat adat tidak atau hanya memperoleh manfaat yang sangat sedikit dari pengeloaan hutan di Papua. Apalagi dengan berlangsungnya illegal logging. Untuk itu, illegal logging hanya bisa efektif dihentikan apabila tidak ada lagi ekspor log.

Menurut Bas Suebu, yang harus dikembangkan di kampung-kampung adalah industri kayu olahan rumah tangga yang dilakukan langsung oleh rakyat Papua di tingkat rumah tangga untuk tujuan ekspor. Dengan cara ini penghasilan rakyat meningkat tajam dalam jumlah yang sangat signifikan, sekaligus illegal logging dapat dihentikan.

Karena kebijakan itu, majalah Time yang terbit di Amerika Serikat menjadikan Bas Suebu sebagai nomine penerima 'Heroes Environment 2007', terkait dengan kebijakannya dalam pengelolaan hutan Papua yang dinilai memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian dan kelangsungan lingkungan hidup.

Kebijakan tersebut oleh Majalah Time dianggap sebagai suatu terobosan besar dalam menjaga eksistensi kelestarian planet bumi yang dihuni oleh miliaran manusia dan makhluk hidup lain.

Kebijakan berani yang dilakukan oleh Bas Suebu layak ditiru oleh para pemimpin daerah lainnya di Indonesia untuk tidak berkompromi dengan para kapitalis pemilik modal.

Karena bukan hanya Hutan di Papua yang harus diselamatkan, sebagaimana yang dilansir www.hutanindonesia.com, tetapi penyelamatan hutan haruslah merupakan bagian dari upaya untuk membantu masyarakat Papua dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan untuk meningkatkan kesejahteraan di masa datang dan kemudian masyarakat Indonesia ikut terlibat dalam menyelamatkan kiris iklim global. Semoga! (alberth yomo)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun