Mohon tunggu...
yolaagne
yolaagne Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Jurnalistik

sorak-sorai isi kepala

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja Tubruk

19 Maret 2020   11:38 Diperbarui: 19 Maret 2020   11:43 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto:Pinterest/sharrikieffer

Sudah dua hari aku berjalan kesana-kemari mencari pekerjaan yang tak kunjung datang. Dua hari juga aku hanya tidur berselimutkan Koran, berbantalkan lantai pertokoan. Saat itu aku sudah sangat putus asa untuk mencari pekerjaan dan berpikir untuk kembali ke kampung. Namun aku bertemu dengan seorang wanita yang membuatku mematahkan niatku. 

Wanita itu aku temui disalah satu warung makan pinggir jalan. Saat itu aku tengah makan sepiring nasi dengan mi goreng dan dia berada tepat didepan seberang mejaku. Cara makan dan minumnya sangat anggun, jari-jari lentiknya seperti berayun-ayun pada sendok dan gelas. Pertama kalinya aku jatuh hati secepat ini.

Semenjak pertemuan itu, tujuanku merantau bukan lagi untuk pekerjaan, melainkan untuk mendapatkan dia menjadi istriku. Di kampung seorang laki-laki akan segera meminang perempuan pujaan hatinya karena di sana diajarkan bahwa perempuan harus dijaga. Sekarang pekerjaanku adalah mengikuti seorang wanita berjari lentik ini, ternyata dia pekerja disalah satu balai seni. 

Tugasnya adalah membuat lukisan untuk dipamerkan, pantas saja jari-jarinya sangat lentik dan cantik. Jari-jari itu digunakan untuk membahagiakan orang, termasuk aku yang telah jatuh hati padanya. bagaimana jika pria lain juga jatuh cinta padanya karena melihat jari-jarinya? tak ingin hal itu terjadi, aku mengikutinya kemanapun saat ia hendak melukis dan makan. Mengawasi mata-mata pria yang hendak mencuri pandang dengannya.

Meskipun aku ingin sekali cepat-cepat menyatakan perasaan padanya, namun aku tak kunjung mendapat waktu yang bagus untuk mengatakannya. Ia terlalu sibuk. Pagi sampai siang dia akan pergi ke toko buku dan membaca berjam-jam. siang dia akan sibuk melihat lukisan di tembok-tembok jalan, dan sorenya dia akan datang keberbagai tempat untuk melukis. pukul 20.00 tepat ia pasti sudah pulang ke indekosnya.

Lambat laun aku mulai menyerah untuk menjadikan ia sebagai istriku. Pekerjaan yang tak kunjung dapat dan cinta yang tak kunjung tersampaikan. Maka aku putuskan untuk mengikutinya untuk terakhir kali sebelum pulang ke kampung dan membantu bapak menggarap sawah. Memang awalnya bapak sudah menawariku untuk membantunya mengurus sawah, tapi aku bersikeras merantau. 

Seperti rencanaku, sore-sore aku mengikutinya untuk melihat lukisan terakhir darinya. Tapi sore ini langkah kakinya tidak pergi ke tempat biasa untuk melukis, ia malah duduk bersantai di sebuah kedai kecil yang menghadap ke arah laut lepas. Seingatku selama aku mengikutinya dia tidak pernah ke kedai ini.

posisi tempat duduk kami sama saat pertama kali aku melihatnya. Meja kami berhadapan, karena tempat duduk berada di luar dan tidak beratap, wajah mungilnya sangat jelas terlihat. Pandangan kami bertemu, jantungku berdetak lebih cepat dari lonceng penjual es krim yang sedang lewat. 

Ah, meskipun kami saling memandang dia tidak mungkin mengenaliku. Setelah aku perhatikan, kedai ini unik. Terletak di pinggir pantai dan semua meja berada diluar kedai, di dinding kedai yang terbuat dari batang pohon kelapa tertulis "buka saat hendak senja, dan tutup setelah senja" pikirku, bagaimana bisa orang menjalankan bisnis dengan waktu buka yang begitu singkat, tapi sangat ramai di sini. apakah menu yang disajikan benar-benar enak?.

 Aku masih menatapnya lamat-lamat. ia sibuk membaca Koran yang tersedia di meja, aku sibuk menghitung waktu yang semakin tipis. Langit semakin menguning senja. Warna kuningnya seolah-olah mewarnai semua benda. Membias pada pasir-pasir dan wajahnya. Menyiram lautan dengan warna oranye. 

Aku bukan penikmat senja, tapi kali ini lanskap matahari terbenam benar-benar indah dan tentram. Dari tempat dudukku senja sudah terlihat kuning bulat seperti kuning telur. Tiba-tiba seorang pelayan menaruh segelas minuman berwarna oranye pekat di mejaku dan mejanya. "aku tidak memesan...." Belum selesai berbicara, pelayan sudah pergi menjauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun