Mohon tunggu...
Yohanes Bara
Yohanes Bara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Founder TOBEMORE Learning Center Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pengen Dadi Presiden

26 Februari 2019   15:08 Diperbarui: 26 Februari 2019   15:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat sedang di rumah, di Hunian Tetap Dongkelsari, hunian serupa perumahan bagi para korban erupsi Gunung Merapi tahun 2010, saya bertanya pada anak-anak yang sedang bermain di teras rumah. "Dik, sesuk yen wis gedhe, pengen dadhi opo (Dik, besok saat besar, mau jadi apa?" Ada yang menjawab ingin jadi polisi, ada yang ingin jadi guru seperti orang tuanya, juga ada yang kebingungan menentukan pilihan, tapi ada seorang yang pilihannya jauh dari kesehariannya sebagai anak petani yang tinggal di desa. "Aku pengen dadi presiden (Aku ingin jadi presiden)," ucapnya.

Begini kira-kira alasan anak usia TK ini, presiden menurutnya adalah sosok yang memiliki banyak teman. "Temannya banyak, kemana-mana disambut anak-anak sampai simbah-simbah," begitu kurang lebih tuturnya. Ia juga bercerita dengan gagah dan seolah mengenal dekat sosok yang ia ceritakan. "Kae lho, pas cerito-cerito karo simbah-simbah nang TV (Itu lho, saat cerita-cerita dengan nenek-nenek di TV," tambahnya sambil berdiri berlagak menceramahi teman-temannya. Kawannya pun tak kalah lagak dengan menimpali sekenanya, "Oh iya, iya, yang waktu itu ya?".

"Calon" presiden tadi juga menutup gim balapan di gawainya kemudian memutar Youtube dengan free wifi dari rumah tetangga. Ia memutar Raffi Ahmad Fauzi, bocah berkebutuhan khusus yang memanggil-manggil Jokowi seusai salat Jumat di Pondok Pesantren Al-Ittihad, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (8/2/2019) lalu. Saya pun terheran-heran, bagaimana si bocah TK "calon" presiden ini begitu cekatan memainkan gawainya. Mereka semua berkerumun sampai berbenturan kepala untuk berebut padang ke arah layar gawai.

Persona memang tak dapat menipu, gerak-gerik tubuh yang dapat membuka tabir watak, rasa, dan pikiran seseorang. Video yang ditunjukan "calon" presiden ini memang sudah kulihat sebelumnya yang memang merupakan adegan yang menyentuh hati. Seorang presiden merentangkan tangannya menyambut seorang bocah yang tak ia kenal, bahkan Raffi Ahmad Fauzi memeluk erat Jokowi dengan senyuman tipis di bibirnya. Tak lebih dari 20 detik berada di gendongan RI 1, namun Raffi Ahmad Fauzi  telah menjadi salah satu bocah paling beruntung di negeri ini karena berada di tempat yang selama ini hanya menjadi kuasa Jan Ethes Srinarendra.

Jokowi memang belakangan ini kerap tampil di Youtube bersama para Youtuber besar, tentu ini adalah upaya menarik suara milenial yang juga boleh dilakukan Prabowo. Para Youtuber itu "kompak" mengulik sisi pribadi Jokowi beserta keluarganya, sebab tentu menjadi pertanyaan besar mengapa Jokowi dan keluarga tak seperti penguasa negeri, ia dan keluarga tetap sederhana dan apa adanya. "Ah, itu pencitraan!" Ucap sebagian kelompok. Tapi, siapa yang dapat dengan begitu natural menjadi pribadi rekaan yang bukan dirinya? Bagimana bisa Kaesang Pangarep dan Gibran Rakabuming bertarung sengit di Twitter memperdebatkan yang lebih lezat diantara Markobar dan Sang Pisang? Sedangkan anak pejabat lain bergaya perlente.

Satu pertanyaan yang hampir selalu dilontarkan para Youtuber, "Bapak enggak capek?" Dan selalu dijawab sama, "Enggak, enggak, kalau untuk rakyat Indonesia enggak ada kata capek," begitu kira-kira jawaban Jokowi. Namun tepat pada jawaban ini persona Jokowi justru menipu, bahasa tubuh dan sorot matanya berkata sebaliknya. Karena Jokowi memulai tradisi baru dengan blusukan, turun langsung menilik perkara-perkara kecil di tengah masyarakat, ia mendengar satu per satu masyarakat Indonesia yang naik ke panggung dalam setiap kunjungannya, canda tawa sering lepas dalam perjumpaan "bapak" dengan "anak" ini, seperti seorang anak yang salah menyebutkan nama ikan dengan alat kelamin pria atau seorang anak yang menjawab bercita-cita sebagai Youtuber.  

Jokowi jelas berbohong jika ia tak capek, karena tak hanya kerja fisik, ia juga harus kerja pikir menentukan yang terbaik di antara yang baik, terlebih ia terkuras dengan kerja batin karena harus menerima cacian dan makian yang sering kali sudah melewati nalar dan perasaan sebagai seorang manusia yang harusnya masih punya sedikit rasa cinta dan terima kasih. 

Saat Jokowi sudah berupaya 100% dirinya, dan ternyata masih kurang, saat itulah ia berkolaborasi dengan Sang Mahakuasa. Salah satunya kala jelang perhelatan Asian Games 2018, semua orang ragu akan kemampuan Indonesia, dan Jokowi berkata pada Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga, "Sudah Pak, hanya Allah yang bisa menolong kita. Salat Hajat, Pak". Jokowi juga disebut oleh Ustaz Yusuf Mansur sebagai ahli puasa karena telah rutin menunaikan puasa sejak ia masih di Solo. 

Namun, yang paling gila dari Jokowi adalah hatinya yang ikhlas. Ia tak pernah membalas cacian dan makian, bahkan fitnahan dari kelompok lawan. Ia dituduh keturunan Cina, anti Islam, pro PKI, anti ulama, bahkan makian yang mengarah pada body shaming yang dilakukan oleh ulama dalam pengajiannya. Ia sudah tuntas dengan dirinya, tak ada yang ia kejar dan ingin kuasai, tak pernah mengada-ada dalam membuat kebijakan yang sekiranya sekedar menyenangkan perut rakyat sementara. Ia membuat kebijakan yang mengandung resiko penolakan, bahkan kekalahan. Karena bagi Jokowi, kemenangan kedua adalah mandat rakyat, vox populi vox dei.

Dulu, presiden adalah jabatan prestisius, hanya untuk jenderal atau orang berkuasa di negeri ini. Sekarang, kita punya presiden yang seorang anak tukang kayu, pernah tinggal di bantaran kali, berpenampilan sederhana seperti sebagian besar rakyat Indonesia dan tetap sederhana meski jadi orang nomor 1 di Indonesia, kita punya presiden yang memeluk anak-anak, menggandeng orang tua, tertawa dengan lansia, dan percaya pada orang muda.

Kita punya presiden yang sama seperti kita, rakyat biasa. Oleh sebab itu, pastilah ia punya hati dan perasaan yang sama dengan kita, rakyat biasa. Jadi, pada siapa kita menaruh harap? Pastilah pada orang yang sama dengan kita, rakyat biasa.

Pringgokusuman, 26 Februari 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun