Mohon tunggu...
Langit Halilintar
Langit Halilintar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

...Jujur itu sedikit gelisah di awal, namun menghilangkan banyak kepedihan nantinya...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Kasus Hukum" Anas dan Rusaknya Kerangka Berpikir Pembuktian Hukum

19 Juni 2012   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anas diulas dari berbagai perspektif. Dalam arus utama, berupa: 1). Tinjauan terhadap kasus hukum, diakhiri konklusi politik; 2). Tinjauan terhadap kasus hukum dan diakhiri konklusi hukum; 3). Ulasan politik yang berakhir konklusi politik. Pada dua yang terakhir, hampir tidak menimbulkan persoalan, dapat menambah wawasan dan membantu "audience" memahami hukum dan politik di Republik ini.

Lain halnya dengan yang pertama. Nafsu politik yang tergambar dalam konklusi politik, pada akhirnya merusak kerangka berpikir pembuktian hukum. "Kasus Hukum" Anas telah dijadikan dasar argumentasi--baik secara tersirat maupun tersurat--untuk mengukuhkan tujuan politik berbagai pihak. Dalam bahasa yang gamblang, tujuan politik itu: Anas "berdasarkan keterangan berbagai saksi" telah melakukan korupsi, karena itu tidak layak jadi Presiden dan partainya tidak layak untuk dipilih. Jika didasarkan pada hasil survey lembaga survey, tujuan itu mencapai targetnya. Kepercayaan publik terhadap Anas dan partainya turun.

Upaya menyebarkan dan membuat yakin "audience" terhadap frasa "berdasarkan keterangan berbagai saksi" telah membuat rusak kerangka berpikir pembuktian hukum, yang seharusnya dianut setiap subjek hukum di Republik ini. Jika kerangka berpikir pembuktian hukum telah rusak, maka, benar atau salah seseorang, akan sangat ditentukan oleh penyebaran dan kemampuan membangun opini. Dalam zaman sekarang, para pemilik media--audio, visual dan audio visual--akan sangat diutungkan dalam melindungi diri dan melindungi serta menghancurkan orang lain ketika berurusan dengan kasus hukum. Karena itu, menjadi penting untuk selalu mengkritisi pemberitaan media.

Lalu, seperti apakah kerangka berpikir pembuktian hukum? Di bawah ini akan dideskripsikan kerangka berpikir pembuktian hukum pidana.

Menurut KUHAP, pembuktian hukum pidana, harus berdasarkan: 1). Keterangan saksi; 2). Keterangan ahli; 3). Surat; 4). Petunjuk; 5). Keterangan terdakwa. Kesemuanya hanya sah jika dikemukakan di dalam sidang pengadilan, bukan di luar.

Dalam hal keterangan saksi, KUHAP mengamanahkan kepada hakim untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh: 1). Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; 2). Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; 3). Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; 4). Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dan dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Pada prinsipnya, norma-norma tersebut ditujukan untuk membantu hakim dalam menilai keterangan saksi: 1). Apakah keterangan saksi dapat dipercaya; atau 2). Keterangan saksi hanya berisi fitnah.

Karena itu, frasa "berdasarkan keterangan berbagai saksi" harus diuji berdasarkan kerangka berpikir pembuktian hukum di atas. Tidak boleh serta merta kita percaya pada "keterangan berbagai saksi" dimaksud. Jika kita langsung percaya, itu artinya, kerangka berpikir pembuktian hukum kita sudah rusak.

Bagi masyarakat umum, jika kerangka berpikir pembuktian hukumnya telah rusak, akan cenderung berpikir subjektif dalam menilai posisi hukum seseorang yang diberitakan media, "berdasarkan keterangan berbagai saksi" melakukan tindak pidana. Masyarakat umum dengan sendirinya mengatakan bahwa apa yang diberitakan adalah benar. Sedangkan bagi penegak hukum, pemberitaan media akan menjadi dasar pengambilan keputusan atas suatu perkara.

Terkait tindak pidana korupsi, KPK dan segelintir ahli dan praktisi hukum patut kita banggakan. Sampai hari ini mereka masih konsisten dengan kerangka berpikir pembuktian hukum. Mereka tidak terpengaruh desakan berbagai pihak yang mengusung dan menyebarkan frasa "berdasarkan keterangan berbagai saksi." Bagi mereka yang utama adalah kerangka berpikir pembuktian hukum. Bagaimana dengan hakim? Saya tidak ingin memberi penilaian.

Karena itu, kita harus segera sadar. Tidak lagi menggunakan kerangka berpikir "berdasarkan keterangan berbagai saksi" dalam menilai posisi hukum seseorang. Jika tidak, tidak menutup kemungkinan "berdasarkan keterangan berbagai saksi" kita sendiri dinyatakan pelaku tindak korupsi. Dan, semua menyatakan percaya, baik itu penegakan hukum, maupun masyarakat luas. Itu semua, akibat penyebaran secara masif frasa "menurut keterangan berbagai saksi."Silakan jika anda semua mau jadi korban. Tapi, saya tidak.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun