Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Literatur Kebhinekaan dari Alor-NTT

22 Mei 2017   15:41 Diperbarui: 22 Mei 2017   16:07 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemuda Gereja Alor Gotong-royong bangun kubah masjid Babul Jihad Wetabua-Alor, NTT (Foto : Munir)

Riuh Pilkada DKI menyisahkan efek di mana-mana. Beragam slogan dikotomik nyampah di mana-mana. Dari radikalisme, anti kebhinekaan hingga muncul suara-suara sumbang minta merdeka. Ahok dan Habib Rizieq efek, meluber ke mana-mana. Mungkin ini sebatas gejala, kita yang tengah kaget membaca Indonesia dalam pergulatan demokrasi langsung.

Tapi jangan sampai terlampau kaget hingga Indonesia pecah berkeping-keping? Rasa-rasanya kita larut beradu, saling tanduk dan memetakonflikkan negara, agama, minoritas dan mayoritas dalam suatu peta konflik yang riweh. Jangan sampai sulit dilerai. Dengan penuh hati-hati, mari kita luruskan, atau mengupas politik sektarian yang membungkus isi demokrasi, hingga kita menemukan bagian inti Indonesia sebagaimana cita-cita awalnya.  

Beberapa waktu lalu, ketika gubernur Kalbar melarang ulama injak kaki di Kalbar, lalu dibalas, Cornelis terusir dari Aceh dan Fahri ditolak warga Minahasa, di Larantuka-NTT yang bermayoritas Katolik, warga bersepakat tak bakar lilin untuk aksi simpatik mendukung Ahok. Mungkin karena, tensi politiknya lebih tinggi?

Di daratan Lamaholot lima pantai, seperti Kabupaten Alor, Flores Timur dan Lembata, mereka memiliki suatu legacy adat yang kuat dan  dipegang turun-temurun; “Kuli Mate-Mate, Haki Tiwang Lewo.” Apapun pekerjaan, dimana pun kamu tinggal jangan lupa membangun kampung halaman. Terminologi membangun dalam tutur “Haki Tiwang Lewo,” bisa juga diartikan membangun, menyatukan dan membesarkan nama baik kampung halaman. Inilah local wisdom yang menyatukan orang Lamaholot yang terbagi dalam ratusan suku dan belasan bahasa.  

Lantas hal serupa terjadi di Kabupaten Alor, ketika politik agama nyaris membuncah pasca Pilkada DKI, umat Nasrani dan Islam, ramai-ramai gotong-royong mengangkut kubah masjid Babul Jihad Wetabua-Kalabahi. Dengan ritus-ritus adat, simbol rumah Tuhan diangkat dengan tangan para pembaca Al qur’an dan Injil. Faksi-faksi politik yang dibangun dengan sentimen agama yang tengah riuh, seperti tak berdaya dan tenggelam dalam local genius yang kuat nan apik di Alor-NTT.

Hukum adat Bella,adalah legacy yang turun temurun dipegak masyarakat Alor. Mengikat orang Pantai (Islam) dan Pedalaman/Gunung (Kristen). Dalam legacy Bella, ada juga sub sistem nilai yang mengatur masyarakat Alor dalam relasi bisnis, pertanian dan kekerabatan. Kalau di Baranusa Kecamatan Pantar Kabupaten Alor, kami menyebutnya “Lutta.” Istilah Lulla ini sebagai suatu ligament yang mengeratkan tali persaudaraan dalam beragam bentuk interaksi sosial. Legacy adat ini menjadi kekuatan nilai yang meratakan perbedaan keyakinan (teologis) sejak turun-temurun.   

Bukan tidak mungkin, bila Daratan Lamaholot-NTT dan khususnya Kabupaten Alor dengan berbagai local genius warisan leluhur, menjadi literatur kebhinekaan yang perlu dibaca, dan diterapkan sebagai kurikulum kita dalam berbangsa, bernegara, terutama dalam berpolitik praktis ****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun