Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bom Bunuh Diri, Banalitas Kekerasan dari Keberlanjutan Ketidaktegasan Sikap

26 September 2011   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:36 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sikap proaktif pemerintah sebagaimana ditunjukkan oleh Presiden dan jajarannya (Menkopolhukam dan Kapolri) pasca bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo perlu mendapatkan apresiasi. Manifestasi dari sikap proaktif adalah kesadaran untuk meningkatkan keamanan di tempat-tempat tertentu dan segera melakukan razia di beberapa tempat. Apabila demikian, apresiasi tidak hanya diberikan kepada pemerintah, masyarakat sipil juga melakukan hal yang sama seperti ditunjukkan oleh GP Ansor dan Banser di Sulawesi Utara yang sigap dan dengan inisiatif tinggi mengamankan gereja.

Bom di GBIS Kepunton Solo, meski termasuk low explosion dan 'hanya' menimbulkan korban jiwa yang sedikit dapat tetap dikategorikan sebagai upaya teror. Tujuan teror tidak sekedar menimbulkan korban jiwa dan harta, tetapi yang terutama adalah menimbulkan ketakutan yang bersifat masif. Jatuhnya korban adalah salah satu cara (lanjutan) untuk menimbulkan ketakutan. Dan pelaku yang melakukan bom bunuh diri hari minggu, 25 September 2011 di Solo berhasil melakukan. Ketakutan hadir dimana-mana pasca bom meledak. Pemerintah dan Polri tergopoh-gopoh hadir di Solo, CSO - civil society organization - turut membantu menjaga keamanan, gereja-gereja dilakukan penjagaan oleh Polri.

Reaksi masyarakat bermacam-macam, termasuk tulisan ini juga menjadi salah satu reaksi atas aksi tunggal bom tersebut. Media massa memuat aneka pendapat dari tokoh-tokoh politik, agama dan intelektual. Dan sebagaimana selalu terjadi pasca sebuah peristiwa mengerikan, mereka -  para reaktor dari berbagai latar belakang - menjadikan penampilannya di media sebagai kesempatan untuk menjual gambar diri. Kata-kata yang dikemas ditampilkan ke media sebagai upaya memuji diri sendiri, membangun citra diri untuk keuntungan politik.

Para politisi menjadikan bom dan peristiwa mengerikan lainnya seperti bencana alam atau kecelakaan sebagai sarana untuk meningkatkan popularitas dan menunjukkan simpati atau rasa kedukaan. Meski simpati disampaikan, itu bagian dari political marketing dan salah satu political investment untuk pemilihan yang akan datang. Mengapa mengajukan pernyataan demikian? Bom atau peristiwa mengerikan sering terjadi di Indonesia, kecuali bencana alam yang tidak dapat diduga meski bisa diprediksi. Seringnya peristiwa, khususnya bom yang terjadi dibutuhkan pendekatan selain security approach.

Polri, khususnya Densus 88 sudah menunjukkan dedikasi yang luarbiasa untuk mencari dan menemukan aktor terorisme yang berkeliaran di Indonesia. Namun, bom bunuh di GBIS Kepunton menunjukkan kepada bangsa ini bahwa pendekatan keamanan dengan kemampuan personil dan teknologi yang dimiliki belum cukup mampu mencegah. Mungkin pemerintah c.q Polri sudah mendeteksi adanya ancaman teror yang akan dilakukan, tetapi untuk mengetahui kepastian terjadinya teror merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Kesadaran ini perlu dimiliki oleh bangsa ini, ada faktor lain yang tetap menumbuh-suburkan keinginan melakukan teror dan kekerasan.

Selain faktor radikalisme yang selalu ada di setiap agama, dan keberhasilan Polri c.q Densus 88 dalam mencari dan menemukan pelaku terorisme terdapat aspek yang memberi ruang keinginan warga bangsa melakukan teror. Aspek ini sering tidak disadari, tetapi cukup memberi 'semangat' bagi (calon) pelaku teror untuk melakukan. Aspek tersebut adalah ketidaktegasan pemerintah dalam menjaga kebebasan beragama. Ketidaktegasan ini berkelindan dengan impunity terhadap pelaku yang menciderai kebebasan beragama. Didalam impunity terdapat pembiaran terhadap kekerasan yang dilakukan.

Mengapa aspek ini penting dan memberi ruang 'semangat' bagi (calon) pelaku teror merealisasikan rencana terornya? Mereka melihat (mengamati) dan mengacu pada pengalaman tindakan negara (pemerintah) dalam menghukum pelaku kekerasan (teror). Melihat bahwa negara (pemerintah) tidak cukup tegas (keras) terhadap pelaku kekerasan seperti perusakan tempat ibadah, atau kekerasan terhadap tempat-tempat yang diinterpretasikan sebagai sarang kejahatan, menyerang ritual peribadahan yang sedang dilakukan oleh keyakinan yang berbeda. Dalam kasus-kasus kekerasan tidak berarti pemerintah tidak melakukan tindakan atau penegakan hukum. Tetapi tindakan tersebut tidak atau belum berhasil menjerakan pelaku kekerasan untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa yang akan datang.

Bahkan dalam beberapa kasus, pemerintah melakukan pembiaran dengan menggunakan alasan menjaga situasi agar tetap kondusif, jumlah aparat kurang untuk mencegah pelaku melakukan kekerasan atau kekerasan. Ketidaktegasan sikap dan pembiaran (impunity) mendorong pihak-pihak tertentu yang memiliki ideology kekerasan sebagai jalan keselamatan untuk melakukan teror. Kedua hal tersebut menstimulus keinginan, atau membulatkan tekad melakukan teror khususnya aktor intelektual dan menyampaikan kepada 'calon-calon pengantin' fakta bahwa negara tidak cukup nyali untuk menghukum kita. Selain itu kalaupun kita dihukum oleh negara, kita sudah berada disurga dengan di sambut oleh banyak bidadari.

Banalitas kekerasan karena ketidaktegasan sikap pemerintah membutuhkan usaha lebih keras, dengan langkah awal bertolak pada komitmen yang tercantum dalam UUD 1945. Ketidaktegasan didahulu dengan ketegasan melaksanakan komitmen berbangsa dan bernegara yaitu 'Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia'. Melindungi menjadi tujuan utama dan pertama dari Negara Indonesia, dan kekerasan yang masih dialami oleh warga bangsa menjadi indikator kegagalan negara memberikan perlindungan. Kegagalan memberikan perlindungan dalam kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'.

Mempertautkan kalimat pertama alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan menarik benang merah antara melindungi dan kemerdekaan. Kemerdekaan tiap-tiap penduduk (segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia) untuk memeluk agama dan beribadah dilindungi oleh Negara Indonesia. Dalam hal ini perlu fokus untuk mengejawantahkan komitmen konstitusional bangsa ini berkaitan dengan kemerdekaan memeluk agama. Ketidaktegasan pemerintah dalam menjamin kemerdekaan ini, akan menimbulkan turunan dari kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah. Karena dengan bersikap tidak tegas, pemerintah sedang melakukan kekerasan terhadap warga negaranya.

Negara c.q pemerintah Indonesia 'membuahi' keyakinan menjadi embrio kekerasan, dan kemudian melahirkan teror(isme). Ketidaktegasan pemerintah dalam menjamin kemerdekaan memeluk agama dan beribadah dilihat (dan diamati) sebagai keadaan yang tidak langsung (indirect circumstances) yang mendorong terjadinya aksi kekerasan, termasuk aksi bom. Kesadaran atas keadaan ini harus mampu mencari strategi yang non-security approach untuk mendampingi security approach yang cukup berhasil dalam mencari dan menemukan pelaku teror(isme). Strategi tersebut bertumpu pada ketegasan pemerintah menjamin kebhinekaan beragama, kemerdekaan beribadah mendirikan tempat ibadah. Jaminan tersebut harus hadir dan nyata, ketika diperhadapkan dengan situasi yang bermaksud mengekang atau mengebiri kemerdekaan yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun