Mohon tunggu...
Zudika Manullang
Zudika Manullang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencari tahu, menuangkan, dan membagikannya...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sehari di Simanindo, Samosir

6 September 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MASA bersekolah di SD hingga SMA, aku dan pembaca pasti sudah pernah diperintah oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi Bahasa) untuk mengarang. Yah, pada waktu menuliskan karangan ini aku teringat masa-masa itu. Biasanya seusai liburan sekolah, hari pertama pertemuan kelas Bahasa, sang guru meminta para siswa menuliskan pengalaman menariknya selama liburan. Sekarang aku menyadari, tidak salah memang kita selalu ditugasi untuk mengarang agar kita terbiasa menulis.

***

Lebih dua bulan aku miliki waktu liburan tahun ini. Libur semester genap memang selalu lebih panjang dibanding libur semester ganjil. Nah, dalam karangan ini aku akan bercerita satu hari momen liburanku.

***

MULANYA aku tertarik melihat sebuah potret temanku yang sedang berlibur di Pantai Pasir Putih, Simanindo, Samosir. Panorama alamnya sangat indah. Hatiku ingin sekali pergi kesana, tapi sayang, sepertinya keinginan tak bisa terwujud dalam liburan kali ini.

Pada tanggal belasan bulan Agustus, aku menerima undangan pernikahan dari Namboruku. Anak perempuannya akan menikah di Samosir. Acaranya dilangsungkan pada 24 Agustus. Sebelum menerima undangan ini, aku sudah mencatat hari 24 Agustus untuk berangkat ke Medan. Tetapi, undangan ini menggoda selera hatiku. Mendengar Samosir, aku teringat Pantai Pasir Putih yang didatangi temanku itu. Dan lokasi pestanya di Simanindo pula. Tambah menggoda lagi, untuk menghadiri pesta tidak dipungut biaya alias ongkosnya gratis. Hm, jarang-jarang dapat kesempatan liburan gratis, pikirku. Terakhir, keputusanku adalah menghadiri pesta pernikahan tersebut.

***

Malam hari pada 23 Agustus, aku mempersiapkan keperluanku yang akan dibawa. Sebelumya, pihak pengundang telah mengimbau agar rombongan berkumpul pukul 12 tengah malam di depan loket Bus Makmur. Aku pergi bersama mamaku dan kakak sepupuku.

Belum tepat tengah malam, kami sudah berkumpul bersama rombongan di tempat yang ditentukan. Agak banyak juga orang yang ikut ke pesta itu. Ada lebih dari 50 orang. Aku sedikit cemas kalau-kalau bus tidak mencukupi kapasitasnya.

Pukul 00.19 dua buah bus berukuran sedang tiba. “Huta Na Mora” adalah bus rombongan parboru. Aku dan kakaku berada di bus pertama, sedang mamaku di bus ke dua. Pas dugaanku, ternyata muatan bus tidak cukup. Masih banyak anggota rombongan yang belum mendapat bangku.

Akan tetapi, pihak keluarga pengantin segera memberitahu bahwa ada empat bus yang akan mengangkut rombongan. Jadi, semua anggota rombongan pasti mendapat bangku. Namun, kami harus menunggu kedatangan bus ketiga dan keempat. Ternyata kedua bus itu masih berada di jalanan Tebingtinggi. Berarti kami harus rela menunggu. Menit demi menit pun berlalu. Tak terasa habis 60 menit menunggu. Batang hidung kedua bus belum juga muncul. Karena lamanya menunggu, aku masih sempat pulang ke rumah untuk buang air kecil. Rumahku dan titik kumpul tidak jauh, hanya berseberangan saja dan melewati beberapa rumah.

Dua jam kini sudah terbuang. Bus yang ditunggu-tunggu belum datang juga. Baru kali ini kutahu jarak Tebingtinggi-Sei Rampah memakan waktu lebih dua jam. Padahal biasanya jarak tempuhnya maksimal satu jam saja. Sedang dimanakah bus itu sekarang? Pastilah kegiatan menunggu ini membuat bosan anggota rombongan, termasuk aku. Lama-lama kelopak mataku mulai layu. Tak kusadari ternyata aku pun tertidur.

Tiba-tiba aku tersentak dari tidurku yang tidak nyaman. Kuperhatikan keadaaan didalam bus, ternyata Pak Supir dan semua penumpang sudah siaga. Kakakku yang sedari tadi juga menunggu di luar bus, kini sudah berada disampingku. Bus pun mulai menghidupkan mesinnya dan melaju meninggalkan Sei Rampah. Tak kusangka kami berangkat pukul 03.01. Tiga jam kami menunggu bus ketiga dan keempat yang ternyata sudah tiba dan aku tak tahu kapan datangnya itu. Perjalanan pun dimulai. Walau sedikit menyebalkan, tapi harus tetap dinikmati.

Aku tak bisa lagi menahan mataku untuk tidak tidur. Apalagi ini masih dini hari. Bagiku, paling enak pula tidur ketika bus sedang melaju. Aku ingat sewaktu masih kanak-kanak, mamaku menidurkanku di ayunan. Aku bisa tidur pulas bila tempat yang kutidurkan itu tak diam. Sama seperti bus yang sedang berjalan, aku serasa berada di ayunan. Dan aku pun tertidur setengah pulas.

***

Sepanjang tidur, aku tak bermimpi apapun. Tidur dengan posisi duduk sangat tidak nyaman. Kepala terpaksa meraba sisi kanan dan kiri agar bisa diletakkan dengan pas. Tempat meletakkan kepalaku yang lumayan pas memang di bahu kiri kakakku. Karena ia duduk di sebelah kananku.

Tak terasa bus rombongan telah berada di Parapat. Pukul 05.44 bus singgah di Panatapan. Semua anggota rombongan keluar dari bus. Udara pagi itu dingin. Telapak tanganku yang tidak terlindungi kain merasakan sentuhan dinginnya hawa Parapat. Baru kali ini aku menginjakkan kaki di Panatapan. Orang-orang tua yang mungkin sudah sering mengunjungi Danau Toba mengatakan kepada anggota rombongan untuk manatapi (melihat) pemandangan danau. Aku sendiri kurang menikmati pemandangan danau dari Panatapan. Biasanya bila mengunjungi Danau Toba aku selalu memuji keindahannya. Pagi ini aku tidak puas memujinya. Hm, karena kabut pagi menutupi pemandangan danau itu. Mataku tak puas memandang keelokannya. Sementara itu, anggota rombongan yang lain sibuk keluar masuk toilet.

Tidak sampai seperempat jam kami singgah di Panatapan. Rombongan kembali masuk ke dalam bus. Dan kami meninggalkan Panatapan, meneruskan perjalanan lagi.

Aku baru empat kali bertandang ke Parapat. Tiga kali pada masa SMA dan satu kali saat inisiasi dari kampus. Berarti perjalanan hari ini adalah kali yang kelima. Aku tak pernah merasa bosan datang ke Tao Toba. Semua orang pasti mengakui keindahan panorama danau yang terbesar di Indonesia ini.

Selama di perjalanan dari Sei Rampah hingga Parapat, kami ditemani lagu-lagu batak yang terputar di tape recorder bus. Kupikir setiap perjalanan ke suatu daerah yang khas, orang-orang suka diiringi tembang khas sukunya. Pernah suatu hari aku dan kawan-kawan dari kampus pergi ke Sibolangit dengan menumpangi bus Sutra. Karena Padang Bulan dan daerah sekitarnya adalah kumpulan warga Karo, maka lagu-lagu yang terputar di bus pun lagu-lagu khas Karo. Musik memang teman setia perjalanan kita. Ia mampu menghibur hati kita. Makanya dalam perjalanan kami ke Parapat pun, lagu batak begitu setia mengiringi. Habis lagu-lagu itu, berganti dengan rekaman lawakan batak grup Malvinas. Semua penumpang ikut tertawa mendengar lawakannya yang menghibur di pagi hari.

Suasana dingin adalah khas daerah dataran tinggi, seperti Parapat. Rasa dingin yang paling menusuk kulit memang pada waktu pagi hari. Bagi orang yang tidak terbiasa di daerah yang bersuhu dingin seperti rombongan kami, maka pakaian tebal siap menyelimuti tubuh kami.

Pukul 06.08, kami telah tiba di Pelabuhan Tiga Ras. Lantaran lokasi pesta berada di Simanindo, kami harus menyeberang danau dengan kapal. Tapi, jam segini tentulah belum ada kapal yang berlayar. Jadi kami harus menunggu kedatangan kapal pesanan. Di sekitar pelabuhan, ada beberapa kedai. Sebaik turun dari bus, kaum bapak langsung bergerilya ke kedai itu. Mau apa lagi kalau bukan memesan minuman yang dapat menghangatkan tubuh. Aku pun ikut pula singgah di sebuah kedai dan memesan susu. Kaum ibu adalah yang paling repot di setiap perhentian bus daritadi. Yang mereka cari adalah toilet. Rupa-rupanya udara dingin membuat mereka ingin buang air kecil terus-terusan.

Anggota rombongan yang lainnya sibuk memotret panorama danau yang sudah mulai jelas kelihatan kecantikannya. Mereka berfoto dengan berlatarkan air danau yang hijau. Embun sudah mulai menghilang namun udara tetap saja dingin. Orangtua yang membawa anak-anaknya yang masih kecil juga sibuk memberi makanan. Ada pula lagi anggota yang ingin segera mandi karena kuatir di rumah tempat pesta akan susah mandi karena mengantri.

Kira-kira sudah setengah jam kami menunggu di pelabuhan, ada juga rombongan lain yang turun disitu dengan dua bus. Sepertinya tujuan mereka sama seperti kami, akan menghadiri pesta pernikahan. Keadaaan di pelabuhan Tiga Ras pun semakin ramai karena kedatangan kedua rombongan pesta ini.

Dari kejauhan, pandang mata kami melihat ada sebuah kapal yang sedang berlayar dan akan menuju pelabuhan ini. Meski kapal masih lumayan lama lagi tiba di pelabuhan, tapi anggota rombongan berlarian ke pinggir pelabuhan, tempat kapal akan bertengger. Semuanya akan berebut naik ke kapal supaya mendapat posisi wenak.

Ternyata kedatangan kapal pertama ini sedikit membuat panik kedua rombongan. Rombongan kami meyakinkan bahwa kapal itu adalah untuk kami. Rombongan yang datang barusan itu menuduh bahwa kapal itu adalah untuk mereka. Kapal pun tiba. Awak nakhoda segera membuatkan tali penyambung antara kapal dengan tepi pelabuhan agar penumpang bisa naik ke kapal. Rombongan kami buru-buru menaiki kapal. Tidak peduli apakah kapal itu milik rombongan lain atau bukan. Tapi di sisi lain kulihat kepala rombongan yang lain itu meminta kami untuk memastikan siapa yang memesan kapal itu. Seorang inang mengundang perhatian rombongan kami, “Lihat ini (menunjuk ke sebuah bacaan di dinding kapal) ada nama kapalnya ‘Sidauruk Groups’, berarti ini kapal kami”. Si inang begitu yakin bahwa kapal ini adalah pesanan rombongan kami. Kudengar memang keluarga pengantin pria yang bermarga Sidauruk itu memiliki kapal. Jadi, rombongan kami sangat yakin kapal itu untuk kami. Dan ternyata memang benar kapal itu diamanatkan untuk mengangkut kami ke Simanindo.

Aku dan kakakku selalu bersama, tapi mamaku tidak pernah kulupakan. Harus kupastikan bahwa mamaku sudah berada di kapal, baru hatiku tenang. Kakakku mengajakku untuk duduk di lantai dua. Dan kami pun mendapat tempat yang nyaman. Tepat pukul 07.00 kapal segera berlayar menuju Simanindo, Samosir. Entah mengapa aku terlalu mudah kuatir. Anggota rombongan kami terlalu banyak, menurutku. Apakah kapal ini sanggup menampung kami? Kebanyakan anggota berebut pula untuk duduk di lantai dua. Enak memang di lantai dua, bisa dengan jelas menikmati suasana danau. Tapi dalam hati aku berdoa kiranya Tuhan tetap melindungi kami.

Anak buah nakhoda beberapa kali menyuruh ke toru (meminta agar sebagian penumpang duduk di lantai satu saja). Tapi tak ada yang mau mengalah. Terpaksa aku dan kakakku yang mengalah. Kami pindah ke lantai satu, tapi tak ada lagi tempat duduk yang kosong. Semuanya sudah berisikan penumpang. Lantai kapal pun dialasi tikar karena tidak cukupnya tempat duduk penumpang. Inang-inanglah yang duduk di tikar itu. Seorang inang menyarankan kami duduk didekat pihak keluarga saja. Ya, akhirnya aku dan kakakku mendapat tempat duduk didekat Amangboruku.

Apa rasanya naik kapal tapi tak dapat langsung memandang air danau? Masakan aku cuma duduk di bangku saja dan menanti hingga kapal berlabuh? Maka aku dan kakakku berdiri dan bergerak ke tempat lain. Kami duduk di luar pintu atau pinggir kapal. Kami mau menikmati pagi yang indah di tengah Danau Toba yang menghibur hati ini.

PuloSamosir, saleleng ngolungku sai hupuji ho.

Kapal kayu bermesin terus berlayar. Tidak akan ada macet. Di atas air danau, kapal berlayar lancar dan tak ada hambatan. Semua wajah penumpang tampak berseri-seri. Aku memandang hamparan danau hijau pekat yang luas. Bukit-bukit yang kehijauannya tampak cerah karena disinari matahari. Di sebelah timur, kulihat awan, tak semua berwarna biru putih. Ada segumpal awan gelap. Seperti asap yang berkumpul. Diantaranya berkas mentari mengkilat di permukaan air danau. Angin segar berhembus. Udara pun sejuk. Mentari yang bersinar mulai menghangatkan tubuh kami yang tadinya kedinginan. Tiba-tiba matahari sangat cerah. Mengilaukan mataku dari ufuk timurnya. Ia terpancar dari kedua belah awan yang gelap itu. Sangat terang benderang. Aku pun merasa sangat hangat.

Dari sebelah barat, ada kapal ferry yang melintas. Ferry itu warnanya putih. Di ujung depannya melambai dua buah bendera merah putih. Bangga menjadi orang Indonesia. Semua insan mengagumi lukisan alam Sang Pencipta ini. Sungguh, mempesona.

***

Rupanya radius pelayaran dari pelabuhan Tiga Ras menuju pelabuhan Simanindo cukup 30 menit saja. Kami tiba di pelabuhan Simanindo pukul 07.30. Satu per satu penumpang segera menuruni kapal. Sebuah spanduk yang mengatasnamakan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif seolah-olah menyambut kedatangan kami. Spanduk itu bertuliskan “Tao Toba Lumbung Air di Super Volcano. Ayo dukung Danau Toba bersih”.

Perjalanan kami belum selesai. Kami harus menumpangi bus lagi. Di pelabuhan sudah ada sebuah bus yang menunggu. Bus berukuran sedang berwarna putih yang akan mengantarkan kami ke lokasi pesta. Karena busnya hanya satu, maka anggota rombongan harus mengantri untuk diantar. Aku dan kakakku mendapat trip pertama menumpangi bus ke lokasi pesta. Jalanan meninggalkan pelabuhan Simanindo agak berkelok-kelok. Di sebelah kanan dan kiri banyak terdapat rumah penduduk.

Aku pun kurang tahu dengan jelas kemana kami akan dibawa. Tapi yang pasti, sebentar lagi kami akan sampai di lokasi pesta. Kami lewati gapura Lumban Sitio. Oh, ternyata tidak hanya Tomok saja yang memiliki museum. Disini kami melewati museum Hutabolon Simanindo. Wah, lumayan banyak juga situs wisata yang bisa dikunjungi di Simanindo ini. Dan satu situs yang paling kunantikan adalah Pantai Pasir Putih. Apakah kami akan melewati pantai itu juga?

Sepanjang perjalanan kulihat jenis rumah yang sama. Lebih tepatnya disebut rumah adat Batak Toba. Juga lumayan banyak kuburan yang terlihat. Pernah seorang teman menuliskan di facebook begini: “Kalau ditanya apa yang khas dari Toba Samosir? Jawaban yang paling cocok itu kuburannya mewah-mewah dan unik-unik... kalah rumah yang punya kuburan”. Yah, itulah yang kelihatan disini. Pada semester dua, kelompok berlajarku pernah ditugaskan meliput sistem sosial dan budaya Batak Toba. Perihal makam orang Batak yang tampak lebih bagus dibanding rumahnya sendiri menjadi salah satu pertanyaan teman yang lain. Kami hanya mampu menjawab berdasarkan pengalaman hidup berbudaya saja. Orang Batak menjunjung tinggi penghormatan kepada orangtua dan leluhurnya. Sebagai bukti hormatnya, maka anak-anaknya akan membuat makam orangtuanya sebagus mungkin.

Selain itu, di sebelah kananku juga bisa melihat pemandangan danau. Eh, kami pun baru saja melewati pantai wisata Batu Hoda. Tempat wisata ini sangat memikat hatiku. Bisakah aku singgah kesana nanti?

Akhirnya, pukul 07.43 pengantaran anggota rombongan trip pertama berakhir. Kami sampai di rumah penerima suhut. Kepala keluarga itu bermarga Sinaga. Bisa dikatakan rumah ini menjadi rumah tumpangan bagi pihak pengantin wanita. Karena dalam tradisi batak, sebelum pemberkatan nikah di gereja, acara dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di rumah disertai makan pagi bersama dan berdoa bagi kelangsungan pesta pernikahan. Rumahnya sederhana. Baik lantai, dinding, maupun asbes terbuat dari kayu. Rumah ini juga tidak luas. Karena saat kuperhatikan, kamar tidurnya pun hanya satu saja. Dua buah tempat tidur berada di ruang depan. Didalam rumah, terdapat satu kamar mandi kecil dan dapur yang sempit.

Rumah ini benar-benar sangat sederhana. Tapi, rumah sederhana ternyata tidak menandakan keturunan yang biasa-biasa saja. Di dinding rumah, tergantung beberapa bingkai foto. Tiga diantaranya adalah foto anak si pemilik rumah yang sudah diwisuda. Aku teringat lagu “Anakkohi do Hamoraon di Au”. Perjuangan orangtua demi menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana. Hebat.

Anggota rombongan yang pertama tiba sudah mulai sibuk mandi. Satu kamar mandi di rumah tidak mungkin dipakai secara bergantian dengan mengantri. Semuanya mencari kamar mandi yang dapat ditumpangi. Ada yang menggunakan kamar mandi gereja, di rumah tetangga, atau juga langsung mandi di danau. Ketepatan di depan rumah ini ada sebuah gereja HKBP Huria Malau Ressort Simanindo Distrik VII Samosir. Dan kami pun mendapat izin untuk menggunakannya. Aku dan kakakku memilih untuk istirahat sejenak. Lagian pastilah belum ada kamar mandi yang kosong karena semuanya masih dipakai anggota rombongan yang lain. Sembari menunggu, kami duduk didalam rumah.

Disampingku, ada Inang tua-ku, boru Naibaho. Rupanya ikut seorang anak laki-lakinya. Ah, agak lucu laki-laki ini. Lengket terus sama mamanya. Laki-laki itu bermarga Sinaga. Tetapi tidak berfamili dekat dengan pemilik rumah. Dari wajahnya kulihat dia lebih tua dibandingkan aku. Mungkin usianya ada lebih dari 23 tahun. Mungkin. Mulanya hanya aku dan kakakku yang duduk didekat Inang Tua ini. Tak lama, masuklah anaknya mendapatkan mamanya. Kulihat ia seperti baru selesai mandi. Rambutnya masih terlihat basah. Inang Tua itu memperkenalkan anaknya padaku dan kakakku. Dia sebutkan marganya dan aku pun demikian.

Lalu kudengar dengan jelas dimintanya beberapa alat make up mamanya. Pertama dimintanya sisir. Dan ia pun mulai menyisir rambut hitamnya yang basah. Sisirannya sederhana, tidak bermodel seperti anak lelaki masa kini. Setelah itu, ia minta bedak mamanya. Sang mama pun nampak sayang pada si anak. Dengan cepat diberikannya. Mamanya yang juga tengah berdandan, masih sempat rupanya menggoda anak kesayangannya itu. “Tanyalah boru Manullang itu, ‘udah pas (atau) belum bedakmu itu?”, kata mamanya sama anaknya yang sedang berkaca. Hahahaha. Aku dan kakakku senyum-senyum diikuti ketawa mendengar perkataan Inang Tua itu.

Dengan enteng aku pun mencap Ito Sinaga itu: anak mami. Seorang inang yang lain ikut menimbrung pula, “Jangan lagi mamanya ikut campur urusan cewek, nanti dibilang anak mami”. Hahahaha. Maos pula mamanya mengatakan, “Godalah cewek ini, Nak. Manataunya orang Rampah juganya jodohmu tapi yang jumpa disininya”. Aduh, Inang Tua inilah. Cakapnya begitu mudah mengalir.

Sesudah itu, aku dan kakakku beranjak dari tempat duduk dan pergi mencari kamar mandi. Kami menumpang di tempat tetangga di seberang rumah.

Kayaknya kami lumayan lama juga di kamar mandi. Memang sih tidak ada lagi orang yang minta gantian karena semuanya sudah selesai mandi. Tapi akibatnya kami ketinggalan sedikit acara marsibuha-buhai (sarapan pagi). Ketika kami hendak ke rumah, kulihat halaman rumah sudah ditempati oleh orang-orang yang sedang menyantap sarapan pagi. Aku dan kakakku tidak bisa lagi masuk ke dalam rumah karena pengantin dan keluarga serta orang-orang penting lainnya sudah berada didalam rumah dan sedang sarapan.

Rasa lapar tidak terasa bagiku. Malahan aku merasa perutku kembung karena ‘masuk angin’. Melihat semua orang makan, kami pun harus makan juga. Kami duduk di samping rumah, di sebuah lorong diantara kedua rumah. Dan aku pun menyantap sarapan pagi yang nikmat.

***

Pukul 09.40 pengantin dan semua undangan berangkat ke gereja. Pengantin harus menempuh jarak 100 meter dari rumah ke gereja dengan berjalan kaki. Dan keluarga serta undangan pun mengikuti dari belakang pengantin. Keluarga mempelai pria bergereja di Katolik. Namun tidak sama dengan keluarga mempelai wanita yang bergereja di HKBP. Jadi, mempelai wanita pun harus mengikut keyakinan beragama keluarga pria. Dan ini merupakan kali pertama aku mengikuti dan menyaksikan prosesi pemberkatan nikah di gereja Katolik.

Hampir pukul 10.00 ternyata udara Samosir tidak sedingin subuh pagi lagi. Malahan sudah mulai gerahnya. Hawanya agak serupa dengan Sei Rampah saat ini. Barangkali ini karena efek matahari yang cerah. Sinarnya yang terang dan memanas mampu menghilangkan rasa dingin tadi.

Sesampainya di gereja, sebelum mulai acara pemberkatan (sakramen pernikahan bagi penganut Katolik), pengantin dan keluarga berfoto ria. Sang Pastor tampak dengan setia menunggu sesi berfoto hingga selesai. Petugas acara pun kelihatan sedang mempersiapkan kebutuhan untuk acara pemberkatan. Lewat pukul 10, acara pemberkatan nikah baru dimulai. Sedang selesainya pukul 12 lewat. Dan selanjutnya pada pukul 12.30 barulah acara adat pernikahan Batak Toba di rumah mempelai pria dilanjutkan.

(Maaf, aku sengaja tidak ceritakan secara khusus mengenai prosesi pemberkatan nikah dan acara adat. Nanti juga akan pembaca alami sendiri, hehehehe)

***.

Kalau kupehatikan rumah-rumah penduduk disini modelnya hampir seluruhnya sama. Rumah berbentuk rumah Bolon, rumah adat Batak Toba. Dan pastinya masih terbuat dari kayu. Yang kuheran adalah pintu rumah tersebut sangat kecil. Kira-kira persegi empat berkukuran ½ meter x ½ meter. Termasuk juga rumah mempelai pria ini.

Sepanjang acara adat berlangsung, aku hanya duduk sambil memperhatikan sekelilingku. Aku ikut acara pesta pernikahan seperti ini hanya sekali-kali saja. Ya, aku akan datang jika ada undangan. Di pesta adat batak ini, memang lumayan gaduh ramainya. Undangan pesta yang banyak. Musik gondang-nya yang meriah. Tambah lagi cuaca yang panas. Duduk diam saja pun di atas tikar tidak membuat nyaman diri. Bagian yang kunantikan adalah sesi pemberian kado dari undangan parboru usai acara makan dan penyerahan tintin marangkup.

Hm, aku sedikit curiga dengan seseorang yang duduk di sebelah kanan belakangku. Kulihat ada laki-laki yang mencoba melirik-lirik padaku. O ho, ternyata dia si anak mami itu. Didepan mamanya dia malu-malu. Di tempat keramaian ini, dia curi-curi pandang. Aku pura-pura tidak tahu saja walau sebenarnya sudah kudapati kesempatannya memperhatikanku sedari tadi.

Saat itu, usai makan siang, aku dan pemuda-pemudi lainnya tak bisa pergi kemana-mana. Selain karena belum menyerahkan kado, gerimis turun pula di siang jelang sore hari itu. Syukur saja bukan hujan deras yang datang. Gerimis tentu tidak terlalu mengganggu jalannya acara.

Entah mengapa, aku tahu saja kalau pandangan si laki-laki itu tetap mengikutiku. Kurasa dia mulai terpikat padaku (narsis, hahahaha). Suatu ketika aku hendak ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku menumpang di rumah tetangga pengantin. Pas keluar dari dalam rumah, ternyata Ito Sinaga itu telah berada di teras rumah yang kutumpangi. Dengan pandang mata yang tajam aku melirik ke arahnya. Lalu keluarlah satu pertanyaannya. “Eh, siapanya nama ito?”. “Ika”, jawabku pelan. “Siapaaa?”, diulangnya bertanya, kurasa tak didengarnya suaraku yang lembut itu. Kemudian kujawablah sekali lagi: “IKAAA!!”. Aku pun buru-burumeninggalkan dia. Aku tak peduli dia dengar atau tidak. Yang pasti firasatku tentang curi-curi pandangnya benar-benar kuketahui. Dan tak kuhiraukan lagi soal itu.

***

Tak lama setelah menyerahkan kado kepada pengantin, kami meninggalkan lokasi pesta. Trip pertama yang diantar ke pelabuhan Simanindo adalah orang-orang yang tidak punya urusan lagi di acara itu. Maka aku dan kakakku beserta anggota rombongan yang lain duluan diantar ke pelabuhan. Sedangkan mamaku harus menyusul diantar karena masih harus mangulosi.

Aku tak tahu lagi apa yang mesti kuceritakan setelah itu. Didalam bus, aku tak dapat melihat apapun. Kiri-kananku tampaknya gelap. Pemandangan yang terlihat saat pulang tidak sama dengan yang terlihat saat pergi. Kami pun hanya menikmati duduk santai di bus sampai kami tiba di pelabuhan.

Ketika tiba di pelabuhan, aku pun tak tahu lagi sudah jam berapa. Yang kurasakan adalah perutku lapar dan harus segera diisi makanan. Aku dan kakakku segera bergerilya ke kedai yang ada di sekitar pelabuhan. Dan kami memesan mie goreng sebagai santapan malam.

Dan yang terakhir kali, pukul 20.54 barulah kami meninggalkan Pelabuhan Simanindo dan kembali berlayar ke pelabuhan Tiga Ras. Didalam kapal agak gelap. Udara dingin juga sudah datang kembali. Kelopak mata benar-benar telah layu. Di kapal hanya bisa menggolekkan badan seadanya di bangku yang memanjang. Aku pun hampir terhanyut di buaian angin malam Danau Toba. Tidur sekejap, lalu tersentak tiba-tiba.

Di bus, barulah aku benar-benar mengistirahatkan tubuhku. Meskipun ada sedikit masalah saat akan pulang, tapi aku tak sanggup lagi meresponnya. Yang penting seketika bus melaju, aku harus tidur. Sama seperti saat berangkat. Bus kuanggap sebagai tempat tidur yang lumayan nyaman ditempati. Aku tertidur benar-benar pulas.

Pukul 00.14 baru aku terbangun dan tiba di rumah. Tubuhku langsung menuju kamar tidur. Dan.... sudah tidur sangaaaaaat nyenyak. Tak kupikirkan lagi Pantai Pasir Putih yang tidak kutemukan disana. Suatu saat, aku pasti akan kesana. Semoga saja...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun