Mohon tunggu...
Zudika Manullang
Zudika Manullang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencari tahu, menuangkan, dan membagikannya...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku Takut Tidur

6 September 2012   06:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana sekeliling tampak gelap. Hanya lampu-lampu rumah yang menerangi kehidupan. Baru saja aku dan seorang temanku turun dari sebuah bus. Aku tak menandai bus apakah yang kami tumpangi itu. Kami akan menuju sebuah rumah di seberang jalan. Kaki kami melangkah menyeberangi jalan raya. Tibalah kami di depan sebuah rumah yang berteras. Pintu-pintu rumah semuanya tertutup. Bahkan orang-orang pun tak ada yang berkeliaran lagi. Semuanya pasti berada didalam rumah. Semuanya pasti menikmati istirahat malamnya.

Sepi sekali. Kami harus segera masuk ke dalam rumah. Perlahan-lahan, aku mengetuk daun pintu. Tok tok tok. Pintu masih juga tertutup rapat. Aku meminta temanku agar bersabar menunggu. Tiba-tiba saja dari arah kiri kami muncul seorang lelaki. Ia melihat kami. Ia mencoba mendekat. Ia berdiri di halaman rumah. Tanpa mengenal siapa lelaki itu, aku mulai merasa ketakutan. Aku tak melihat sikap kuatir dalam diri temanku. Wajah lelaki itu menatap kami sambil tersenyum ceria.

Aku masih mengetuk pintu. Tok tok tok. Tak ada suara apapun dari dalam rumah. Tak muncul seorang pun membukakan pintu. Lelaki itu mulai menunjukkan keanehan. Ia membuka bajunya di depan kami. Dicampakkannya saja bajunya ke atas tanah. Lalu ia mengarahkan tangannya ke celananya. Dilepaskannya juga celananya sambil tetap tersenyum. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku tak berani melihat lelaki itu. Aku buang mukaku dari keanehan tingkahnya di hadapan kami. Aku tersadar bahwa dia pasti orang jahat. Barangkali ia akan melakukan pelecehan terhadap kami.

Kutarik tangan temanku dan segera berlari meninggalkan lelaki aneh itu. Aku ketakutan. Aku berharap ia tak mengejar kami. Aku membawa temanku berlari ke samping rumah itu. Kami berhenti di depan jendela kamar pertama. Aku mulai memanggil-manggil penghuni rumah. “Tulang, Lang, bukakan pintu, Lang. Tulang... bukakanpintu!!!”. Tapi jendela tak terbuka jua. Suara dari dalam kamar juga kosong. Aku teruskan melangkah mendapati jendela kamar kedua. Kugeserkan kaca jendela ke arah kanan tanganku. Dan menyingkirkan gorden jendela. “Mama, ma... mama bukakan pintu, Ma. Mama, bukakan pintu. Mama, buka pintu, Ma!!!”. Di tempat tidur kulihat mama sedang terbaring. Mama tidur sangat nyenyak. Aku makin ketakutan. Tolong mama segera bukakan pintu bagi kami!

Respon dari penghuni dalam rumah belum juga muncul. Aku berjalan lagi ke depan jendela kamar pertama. Aku sangat was-was terhadap lelaki aneh itu. Aku tak tahu dia dimana. Ia memang tak kulihat mengejar kami. Tapi jarak halaman rumah dengan jalan di samping rumah sangat pendek, tak mungkin ia tak melihat kami. Detakan jantungku semakin kuat dan kencang. Aku tak mau kejadian buruk menimpa diriku. Aku ingin tumbuh dan dewasa sebagai wanita mulia yang tak bercacat bagi calon teman hidup di masa depan.

“Tulang, Lang, bukakan pintu, Lang. Tulang!!!” Kusahuti terus Tulangku di kamarnya. Hingga jendela kayu itu pun terbuka dan kulihat selimut menutupi badan Tulangku. Ia juga kelihatan tidur sangat lelap. “Tulaaaaang!!! Bukakan pintu!!!”. Tulangku tak menjawab. Kurasakan pada mukaku air mata dan keringat bercampur menjadi satu. Aku sangat cemas dan kuatir. Tubuhku sudah sangat ketakutan. Takkan adakah orang yang menolong kami?

“Mamaaa... Aku disini, Ma. Bukakan pintu, Ma. Bukakan pintu, Ma!!!”. Hampir habis suaraku berteriak dan memanggil mamaku sayang. Aku masih berharap ia bangun dari tidurnya yang lelap dan menolong putri sulungnya ini.

“’Ngapain kau disitu?” Suara mama sedikit menghilangkan kecemasanku.

“Mama... buka pintu, Ma. Ada orang jahat di depan rumah. Cepat buka, Ma”.

Tetap kutarik tangan temanku dan kami berlari lagi ke depan rumah. Kami langkahkah kaki ke teras rumah. Lelaki aneh itu tak sedikitpun mau kuperhatikan. Ketakutan masih menyelimuti nyawaku. Tapi senyum lelaki aneh itu masih saja terbayang-bayang di pikiranku yang gamang ini.

“Ikaaa...”. Suara mama terasa semakin dekat kudengar. Kulihat mama sudah berdiri di depan pintu. Daun pintu sudah tidak tertutup lagi. Aku mengadu pada wanita yang telah mengeluarkanku dari rahimnya ini. Aku memeluk wanita yang telah berjuang membesarkanku dengan pekerjaan tangannya sendiri. Satu wanita ini takkan mungkin kulupakan sepanjang hayatku. Ia menempuh berbagai cobaan pahit-manis untuk bisa sampai membuatku duduk di perguruan tinggi. Sekalipun ia belum menyukai bangku kuliah yang kutempuh ini, harapan terbesarnya adalah aku dapat membuat bebannya berkurang. Puncak kebahagiaannya adalah kalau aku kelak berhasil dan menjadi pandu bagi tiga orang anak-anaknya yang lain. “Aku lebih senang kalau kau jadi guru....”. Itu dulu permintaannya yang terpaksa kutolak.

Masih kupeluk tubuhnya erat. Tangisanku mewakili perasaanku yang ketakutan. Kukatakan padanya lelaki aneh yang hendak bertindak pelecehan terhadap kami. Dengan penuh kasih sayang, ia menenteramkan kekuatiranku yang tadinya menggunung.

“Pergi kau dari sini!!”. Lelaki aneh itu mendapat usiran menjijikkan dari mamaku. Namun keringat dingin banyak mengalir di tubuhku yang terasa lemah ini. Detakan jantungku masih sangat cepat. Lelaki aneh itu menyerahkan notebook-ku di depan kami. Tanpa tahu mengapa notebook itu bisa berada padanya dan tidak didalam tas sandangku lagi. Aku berteriak melapor pada mamaku bahwa tasku juga belum diserahkannya. Aku teringat empat lembar uang senilai lima puluh ribu didalam dompetku. Mamaku lagi memerintahkannya mengembalikan tas milikku.

Tiba-tiba mataku terbuka. Ketika kubuka kedua kelopak mataku ini, masih kurasakan jantungku yang berdetak cepat. Aku berusaha menenangkan diri dari mimpi buruk ketiga yang akhir-akhir ini menghantuiku. Kupandang langit-langit kamar. Yang tampak hanya asbes putih. Sekeliling kupandangi dua orang teman sekamarku tertidur dengan nyenyak. Jendela kamar juga kutatap masih tertutup rapat. Kulihat pula jam dinding. Masih pukul 01.54 Wib. Mimpi buruk ini sangat menggelisahkanku. Jiwaku belum juga tenang.

Aku segera teringat. Semalam aku lupa berdoa sebelum tidur. Aku juga belum menyisihkan waktuku bersekutu bersama DIA hari itu. Buru-buru kubangkitkan tubuhku. Aku duduk dan memejamkan mata sambil melipat tangan. Kuceritakan pada DIA apa yang barusan kualami dan juga bertanya mengapa DIA berikan mimpi itu dalam tidurku malam ini. Aku hanya bisa mengadu dan menggugat tanpa menerima jawaban dan respon dengan cepat.

Semenjak dua mimpi buruk sebelumnya yang kualami, aku sempat berpikir dan merenung sendiri. Satu hal yang kutakutkan pada diriku adalah tidur. Aku takut akan tidur. Aku takut kalau-kalau aku bermimpi buruk lagi, aku tak bisa bangun dari ketakutan itu. Bisakah aku tidak tidur, ya, Tuhan? Seperti DIA yang kutahu tak pernah tidur. Karena tugasnya adalah senantiasa menjaga kita. Tapi mengapa aku merasa seperti tidak terjaga? Mengapa aku dibiarkan tidur dan bermimpi begitu buruk?

Ada mimpi yang mungkin aneh dan tidak jelas, ada juga mimpi yang seolah-olah nyata. Mungkinkah ada orang yang tidak dapat keluar dan bangun dari mimpi yang seolah-olah nyata itu? [Sebab DIA bukan memberikan roh ketakutan].

Kamis pagi yang berhujan, 06 September 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun