Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspada, Makelar dan Jomlo Akan Membanjiri Indonesia!

19 November 2019   06:37 Diperbarui: 19 November 2019   06:36 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain zaman pencitraan, sejak 2014 Indonesia juga memasuki zaman sensasi. Kalau hal itu muncul di dunia hiburan, bukan hal baru. Malah sudah basi. Tapi di panggung politik, bisa dibilang adalah mainan baru yang asyik.

Di 2017 ada pemblokiran situs Islam oleh Kominfo, padahal sebelumnya yang diblokir adalah situs judi dan situs porno. Pejabat gebrak-gebrak meja, maki-maki pegawai kecil juga muncul di 2015 ke atas (sebelum tahun itu? Ada, tapi tanpa kamera. Lebih natural karena alasannya justru tidak boleh diketahui publik). Upaya merebut stempel halal dari MUI oleh Kemenag juga dimulai setelah 2015.

Di kabinet baru, ilmu sensasi masih dianggap sakti, bahkan makin dinikmati. Ada kementerian yang sejak orde baru terindikasi paling korup, malah sibuk membahas cadar dan celana cingkrang. Yang gaji pokok bos besarnya 200 juta malah sibuk minta restu memeras rakyat yang bayar 25 ribu sebulan saja sudah mikir keras. Jangan bingung, emang wayahe! 

Ada lagi yang terbaru, wacana sertifikasi perkawinan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy,  yang nantinya akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan. Memangnya perlu?

Aku berada di antara keduanya.

Perlu. Ketika kita lihat banyak pasangan yang menikah asal-asalan. Asal pengin kawin, ya kawin! Ini biasanya dilakukan oleh om-om (merasa) ganteng yang suka menebar bibit di mana-mana. Keturunannya banyak, dari banyak istri, tapi tak satu pun yang ia ingat tanggal lahirnya. Alih-alih kasih ucapan dan memberi hadiah. Tidak wajib sih! Yang wajib itu menafkahi dan mendidik. Tapi bagi mereka, karena anak itu dari perut emaknya, biarlah dia hidup mati bersama induknya saja.

Perlu. Ketika ada bocah alay yang main sandar-sandaran dengan lawan jenis. Sebelum permainan mereka makin ganas, petugas (apakah PMK akan menyediakan ini?) harus segera bertindak memisahkan. Mereka harus paham halal-haram hubungan lawan jenis, ngerti risiko berumah tangga, mau baca buku psikologi lawan jenis, dan hal-hal lain yang paling prinsip dalam rangka menuju pernikahan.

Yang membuat kebijakan sertifikasi perkawinan jadi terasa receh, karena masalah bangsa ini nampaknya jauh lebih besar dari sekadar soal nikah. Bukan, bukan tak setuju total. Kalau saja program ini berjalan sesuai harapan, seharusnya ini bisa jadi solusi minusnya mental bangsa kita. Sejak zaman penjajahan, kita dikenal sebagai orang yang senang cari aman. Feodal, korup, hipokrit, suka takhayul. Aku bilang "kita", artinya aku pun masuk di dalamnya.

Seandainya program ini dikerjakan dengan penuh tanggung jawab, aku yakin akan lahir bibit-bibit unggul dari orang tua yang paham sepenuhnya tujuan berumah tangga. Akan muncul keluarga-keluarga cerdas yang kelak melahirkan generasi terbaik Indonesia (sesuai dengan impian generasi emas  2045). Tapi ... kalau program ini hanya proyek gagah-gagahan. Sekadar upaya menarik kamera publik ke kementerian yang butuh perhatian, dijamin hasilnya seperti yang sudah-sudah.

Sertifikat dijadikan proyek. Akan muncul lembaga-lembaga yang menjanjikan sertifikat untuk dagangan mereka (tak masalah jika program mereka menghasilkan output sesuai standar). Pasti muncul oknum-oknum di birokrasi yang memperdagangkan stempel menuju KUA. Belum lagi orang-orang yang kebelet nikah tapi tak mau ribet, akhirnya nikah siri. Bukannya jadi solusi, niat baik malah berujung masalah baru. 

Su'uzhon? Mungkin. Karena aku tak lakukan penelitian mendalam. Hanya analisis dari tiga puluhan tahun aku jadi orang Indonesia. Memang begitulah yang sehari-hari terjadi. Ada kebijakan baru, akan muncul proyek baru, dan oknum-oknum baru dengan gaya permainan yang itu-itu juga. Jangan sampai gebrakan besar ini bermodal besar pula. Dari meningkatnya jumlah makelar di instansi pemerintah, dan melimpahnya jomlo di Indonesia. Kan kasihan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun