Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Bagaimana Mengelola Uang Jajan Anak?

30 Januari 2012   10:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:17 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_167219" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Bagi sebagian orang tua tak mudah mengelola uang jajan anak. Apalagi jika anak memiliki ‘bakat’ boros dan suka menghambur-hamburkan uang. Semua yang dilihat ingin dibeli. Tak peduli orang tuanya lagi bokek atau tidak.

Saya punya tetangga, setelah dicerai sang suami ia harus berjuang sendirian mencari nafkah. Anaknya yang masih kelas 1 SD luar biasa borosnya. Berangkat ke sekolah, sudah harus membawa uang 5 ribu rupiah. Bagi yang punya, uang 5 ribu tak ada artinya. Tapi bagi ibu-ibu desa yang seharian bekerja hanya memperoleh 15-20 ribu, uang 5 ribu besar nilainya.

Ibu ini nyaris tak berdaya di hadapan anaknya. Belum siang dan sore hari ia juga harus menyediakan uang jajan untuk anaknya. Besarnya tidak menentu, tergantung jajanan anaknya, banyak atau tidak. Sikap anak yang selalu menuntut, mungkin karena pengaruh perceraian, menjadikan ibu ini mati-matian bekerja.

Karena akrab dengan keluarga saya, dalam suatu kesempatan istri saya berbincang sama ibu ini. istri saya memberikan masukan bagaimana mengelola uang jajan anak agar terkontrol. Satu hal yang ditekankan, ibu harus tegas. Ketika anak selalu menuntut, tidak semestinya seorang orang tua selalu mengiyakan.

Tak cukup berbicara dengan ibu ini, saya dan istri berbicara dengan anaknya. Menggunakan bahasa anak, kami mencoba memberikan pemahaman tentang uang jajan. Setelah itu, kami bikin kesepakatan, mulai besok uang jajannya harus dikurangi.

Satu hari, dua hari belum berhasil. Tapi kami tidak putus asa. Kami berbicara lagi dengan sang ibu agar tegas, dan berbicara dengan anaknya agar tak boros. Setiap ketemu, masalah ini selalu kami tanyakan. Benar. Tak lama kemudian, anak ini berubah. Ke sekolah uang jajannya cukup 2 ribu.

Pengalaman Kami

Soal uang jajan, saya dan istri punya pengalaman yang mungkin bermanfaat. Sejak kecil, anak saya yang sekarang kelas 2 MI, tak dibiasakan menghambur-hamburkan uang jajan. Uang jajannya kami dibatasi.

Nah agar terkontrol uang jajannya, saya sepakat sama istri, menerapkan kebijakan uang jajan satu pintu. Maksudnya, urusan uang jajan saya serahkan sama istri. jika anak minta uang jajan, sejak kecil dibiasakan minta sama istri.

Baru kalau istri kebetulan tidak ada di rumah, anak minta pada saya. Tetapi sepulang istri, anak harus melapor bahwa ia sudah menerima uang jajan dari saya.

Cara ini ternyata cukup efektif untuk mengerem kebohongan anak soal uang jajan. Biasa, anak seringkali memanfaatkan kelengahan orang tuanya. Sudah dapat dari ibunya, minta lagi sama ayahnya.

Kebiasaan lain yang kami tanamkan sejak kecil, sebelum berangkat sekolah ia harus makan. Dahsyat, anak tiba di sekolah, males untuk jajan. Gimana mau jajan, perutnya saja sudah kenyang dari rumah?

Dua cara kami yang sangat sederhana ini memberikan dampak susulan yang positif. Anak meski, misalnya, punya uang yang relative banyak, tak semuanya dihabiskan untuk jajan. Ia sudah berfikir untuk menabungnya. Di celengannya di rumah, di sekolah, bahkan di bank. Jika tabungannya lumayan besar, uang itu digunakan untuk beli buku-buku cerita, kegemarannya.

Asal tahu saja, uang jajan anak saya sehari hanya 3.500 rupiah. Kecuali hari-hari tertentu yang kadang menuntutnya untuk jajan lebih banyak.

Soal uang jajan sepertinya persoalan sepele. Tapi yakinlah, jika anak yang remeh saja tidak bisa mengelolanya dengan baik, apalagi yang besar. Bahkan hanya karena tidak dibiasakan mengelola uang jajan dengan bijak, masalah ini bisa menjadi “petaka” ketika ia besar. Nah, bagaimana dengan pengalaman Anda?

Matorsakalangkong

Sumenep, 30 januari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun