Mohon tunggu...
Mustaqim Latu
Mustaqim Latu Mohon Tunggu... Freelancer - @mustaqimlatu

Gam zeh Ya'avor ~ Ini juga akan berlalu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perihal Grebek Buku

5 Agustus 2019   17:18 Diperbarui: 5 Agustus 2019   17:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1

Jo, foto ini ku ambil beberapa waktu lalu saat santai di Padang Surya Kencana. Menunggu rombongan belakang yang tiba satu jam kemudian. Foto ini rencana akan kusandingkan dengan catatan singkat tentang diam, atau sunyi, atau mungkin tentang senja. Hal yang belakangan ini terdengar lebih sering. Aku suka foto ini Jo, entah karena komposisi atau kekosongan yang termaktub di dalamnya.

Namun hal itu mesti ku urungkan. Pikiranku buyar, kalau tak ingin dibilang berantakan. Tidak ada lagi sisa-sisa sunyi yang hendak dinarasikan. Diam ku menjelma gemuruh, sedangkan senja meraung tak terkendali. Edelweis yang sedang bermekaran kembali sayup, menelan semilir hingga ke akarnya.

Ini soal kabar penggrebekan toko buku oleh oknum gagah dan tampak kuasa. Meski belakangan mulai terbiasa tapi untuk saat ini nalarku sedang tidak siap berkompromi. Aku tidak akan mengaitkannya dengan kelompok atau kepercayaan tertentu. Bagiku perilaku tersebut murni muncul dari rasa kemanusiaan yang bermasalah. Oleh individu-individu yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Mereka ini lebih membutuhkan perhatian dan kasih sayang tulus, ketimbang dilayani dengan sumpah serapah.

Jo, pelarangan buku yang berujung pada pemusnahan bukanlah hal baru. Kejadiannya telah hadir sejak manusia mengenal media untuk menyimpan pengetahuan. Repitisi hampir selalu ada dalam setiap periode peradaban. Rentang waktu mungkin berbeda, namun dapat ditarik sebuah garis lurus terkait modus operandi. Jika bukan soal pikir yang mati, maka tidak jauh dari ketakutan akan revolusi. Dari sini kau bisa mengajukan sebuah postulat bahwa peradaban yang sedang bermasalah selalu ditandai dengan pelarangan akan buku serta kebebasan cara berfikir.

Seperti yang kau tahu Jo, aku bukan orang yang termasuk dalam kategori banyak baca. Bukan seperti beberapa kawan yang ku kenal, yang kalau membaca buku seperti orang yang sedang mencumbui kekasihnya. Syahdu penuh intim. Peluh lagi berkeringat. Memiliki buku berlebih juga tidak. Aku membeli buku baru belakangan ini setelah memiliki penghasilan. Mengoleksinya sedikit demi sedikit. Itu pun terpaksa harus dihentikan karena urusan perut lebih berteriak untuk diperhatikan.

Buku adalah barang mewah bagiku, sampai kini. Dulu, uang jajanku bahkan tidak pernah cukup untuk sekedar ongkos angkot ke toko buku. Jangankan itu, untuk mengganjal perut pun kadang seminar gratis di kampus lebih sering menjadi mesiah sang penolong. Ihwal hal tersebut hanya sedikit keberanian yang ku punya. Mencuri beberapa buku di perpustakaan kampus. 

Ya benar, kau sedang tidak salah baca. Kadang ku mengakalinya dengan cara pinjam 2 buku namun membawa pulang 4 buku. Duanya lagi ku selundupkan dengan hening. Meski menjelang kelulusan telah ku kembalikan diam-diam. Ku harap kau tidak pernah meniru cara itu. Lagipula sudah tidak memungkinkan Jo, sekarang mereka memiliki alat yang lebih canggih untuk mendeteksi buku yang keluar tanpa melalui proses pemindaian.

Kesialanku tidak berhenti di situ. Untuk memahami sebuah paragraf pun kadang tertatih. Isi kepalaku terbatas. Tidak perlu dijelaskan disini bukan, perihal capaian akademik ku yang bahkan segan untuk dikatakan pas-pasan? Hal ini tentu saja ada dampaknya. Jurang intelektual yang begitu dalam lebih sering aku temui ketika membuka teks. 

Ketidakmengertian adalah sahabatku. Tidak jarang kehilangan fokus saat menatap lembaran putih bertinta hitam yang tampak begitu membosankan.  Pengalamanku membaca kalah jauh dari akumulasi gerakan jari saat menjelajahi dunia maya. Terlebih dengan jumlah detik yang belakangan ku sesali karena terbuang percuma.

Kadang ku iri betul dengan kemampuan english teman-teman ku. Bukan apa, dengan kemampuan tersebut mereka bisa menelusuri lebih banyak referensi. Menjamah teks dari sumber primernya. Sementara aku, hanya bisa mengandalkan bacaan terjemahan. Andai kau tahu Jo, bacaan terjemahan itu paragrafnya lebih sering membuat kepalaku vertigo dibanding sedikit saja pemahaman yang bisa ku dapat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun