Mohon tunggu...
Eko Prabowo
Eko Prabowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://wustuk.com\r\n\r\nhttps://soundcloud.com/rakjat-ketjil-music

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memberontak dan Membumikan Grunge

28 Januari 2016   08:54 Diperbarui: 28 Januari 2016   09:30 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Para Pemberontak (foto oleh Adi Tamtomo)"][/caption]

Saat bedah buku "Rock Memberontak" berlangsung di Studio Sang Akar, Tebet, 23 Januari 2016 petang, tentu saja semua orang bertanya kepada saya, apanya yang memberontak? Itu rasanya bakal jadi pertanyaan sepanjang jaman. Abadi.

FYI, bedah buku tersebut adalah bagian dari rangkaian pameran musik "Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan" yang akan terus digelar di lokasi yang sama hingga 5 Februari 2016 mendatang. Pada hari penutupan itu, Che Cupumanik dan Raditya Adi Nugraha akan menyuguhkan sesi bedah lagu "Jiwa Yang Berani". Lagu tersebut ditulis khusus oleh Che Cupumanik dan Robi Navicula untuk buku "Rock Memberontak". Penggarapan lagu dibantu oleh Ian Zat Kimia di studionya di Bali.

Baiklah. Saya akan mengulang jawaban yang saya berikan kepada sekitar 30-an audiens petang itu sekarang, di ruang opini publik Kompasiana ini. Tolong dipahami bahwa ini bukanlah pembelaan diri. Saya menulis buku untuk diri saya sendiri, jadi saya tidak butuh validasi. Kalian juga tidak perlu menerima penjelasan ini. Kita bebas untuk tetap hidup damai dalam ketidaksepakatan.

Pemberontakan yang kita pahami, setidaknya secara umum, adalah bentuk-bentuk radikal berbau kekerasan semacam demo di jalanan, membakar gedung, atau menghancurkan sistem pemerintahan dengan meminjam kekuatan militer. Pemberontakan yang saya suguhkan melalui narasi Che Cupumanik dan Robi Navicula dalam buku "Rock Memberontak" sama sekali bukan yang seperti itu. Pemberontakan dalam buku ini, katakanlah demikian, adalah pemberontakan narasi.

Di Indonesia, seperti sudah digariskan secara jelas dan tak terbantahkan (setidaknya oleh para pemilik modal dan penguasa industri), narasi hidup musisi adalah memeras bakatnya menjadi lagu-lagu manis yang kemudian diisi penuh dengan pesan-pesan tentang asmara dan selangkangan. Bagi yang lebih berani, barangkali dengan perselingkuhan. Kalau musisi berani menjalani narasi alternatif, atau bahkan menentang, hidupnya dipastikan tidak makmur. Musisi itu sudah bisa diduga akan berakhir kere.

Tepat seperti itulah yang terjadi pada Che dan Robi. Setelah Aquarius dan Sony BMG mencabut dukungan modal dan sumber daya mereka dari Cupumanik dan Navicula, narasi hidup kedua tokoh utama buku "Rock Memberontak" itu sudah ditulis dengan amat jelas: kere!

Pada titik itu, sah-sah saja jika keduanya banting setir, meninggalkan musik dan mencari penghidupan dari bidang lain semisal jadi pegawai negeri sipil. Tapi, tepat itulah api pemberontakan yang saya tangkap, mereka menolak berpaling dari musik. Keduanya tetap menggelinding dengan semangat bermusik yang malah semakin menyala. Tanpa dukungan label musik besar, Che malah sukses menelurkan album kedua Cupumanik dan satu album bersama Konspirasi, sementara Robi berjaya dengan 5 album Navicula dan beberapa proyek solo.

Mereka terus saja menuliskan lagu-lagu indah dan mengisinya dengan tema-tema yang tidak direstui para pemilik modal. Tema-tema itu antara lain adalah soal kematian, persahabatan, kerusakan lingkungan, gugatan terhadap pemerintah, dan hal-hal penting lainnya yang sekian lama seolah ditabukan dalam musik pada umumnya karena, barangkali, tidak terdengar indah.

Jelas, bagi musisi (dan semua profesi kreatif lainnya), narasi alternatif sesungguhnya memang ada. Memberontaklah dalam karya. Berhentilah mengemis hidup pada orang-orang yang tidak peduli sama sekali pada keindahan karya-karya kalian.

Pemberontakan itu, entah bagaimana, ternyata menjawab pertanyaan besar kedua yang diajukan Jimmy Ph. Paat (dosen budaya/bahasa Perancis di Universitas Negeri Jakarta) dalam sesi bedah buku petang itu: kenapa grunge (dan jenis musik lainnya) tidak punya versi Indonesia? Kenapa grunge tetap seperti barang asing yang tidak membumi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun