Mohon tunggu...
D Wuala Tanggopu
D Wuala Tanggopu Mohon Tunggu... Administrasi - Murid

Murid kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Kebenaran

27 Agustus 2012   04:33 Diperbarui: 16 Juni 2016   08:16 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Judul tulisan ini diambil dari paragraf terakhir sebuah tulisan berjudul “Masalah Utama Bahasa Indonesia”, karya seorang dosen Fakultas Sastra - Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang bertutur tentang pentingnya bahasa Indonesia menjadi pengikat serakan identitas kebangsaan untuk mewujudkan sebuah identitas tunggal bernama Indonesia. Dalam bahasannya, artikel yang dimuat di harian Kompas, 3 Mei 2008 tersebut menyebutkan bahwa masalah utama bahasa Indonesia adalah sifatnya yang sangat terbuka, yang menyebabkan mudahnya orang Indonesia menggunakan bahasa campuran, yang disebutnya sebagai ketaksetiaan bangsa ini terhadap bahasa nasionalnya.

Yang menarik, lepas dari bahasan utama tersebut, P Ary Subagyo, sang penulis, menambahkan sebuah masalah lain. Masalah tersebut diletakkan di dua paragraf akhir artikel dengan anggun, menunggangi pembahasan soal bahasa tersebut. Masalah tersebut adalah korupsi! Sepertinya, P Ary Subagyo ingin menyatakan bahwa masalah terbesar Indonesia bukan pada bahasanya tapi pada moralitas pejabat-pejabat negeri yang meskipun menguasai tata bahasa baik dan benar, mampu berargumentasi dan logis tetapi memiliki ketegaan tingkat dewa untuk mencuri uang bangsanya sendiri. Bagaimana bahasan soal bahasa bisa juga membincangkan korupsi? Silakan baca artikel lengkapnya disini.

Bahasa persatuan

Indonesia adalah sebuah identitas yang dibayangkan. Sulit dipahami, terutama pada awal-awal gerakan kebangsaan dimulai. Hampir semua pahlawan nasional yang berjuang secara fisik sampai sebelum kemerdekaan adalah mereka yang berjuang untuk bangsanya (baca: kerajaan/sukunya) sendiri. Diponegoro untuk Mataram/ Jawa, Sultan Hasanuddin untuk Gowa-Tallo, Cut Nyak Dhien untuk Aceh, Pangeran Antasari untuk Banjar/ Kalimantan Selatan, Pattimura untuk Maluku dan lain-lain. Bisa jadi jika mereka hidup kembali dimasa kini akan menganggap Indonesia adalah penjajah baru, karena pada masa mereka kata itu belum tercipta. Tapi mereka tidak akan kebingungan begitu lama setelah berbincang dengan anak cucu mereka yang justru akan kebingungan dengan orientasi identitas mereka. Saat ini identitas Indonesia adalah nyata.

Rumusan terkenal sumpah pemuda 28 Oktober 1928 selain mengungkapkan satu tanah air dan satu bangsa yang merupakan konsep abstrak, juga mengungkapkan adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia yang menjadi mudah dipahami ketika menyebutkan bahasa dasarnya adalah bahasa melayu. Kesulitan dengan bahasa Indonesia pada masa-masa setelah 1928 adalah sosialisasi dan penggunaanya. Tak heran orang Belanda menghina ketidakmampuan banyak tokoh nasionalis ketika itu berbahasa “baru” tersebut. Upaya Sukiman menggunakan bahasa tersebut dalam Kongres ke-14 Partai Sarekat Islam membuatnya tidak dimengerti audiensi dan berakhir dengan menggunakan bahasa Jawa karena tidak diizinkan menggunakan bahasa Belanda.

Paska kemerdekaan, konsep abstrak bangsa Indonesia dapat dengan mudah diterima terutama karena kemerdekaan yang melahirkan negara yang turut serta membawa rasa percaya diri dan euforia persatuan, kesadaran generasi-generasi baru yang terdidik dan penggunaan Bahasa Indonesia yang masif dengan indoktrinasi ketat terutama pada masa orde baru. Generasi-generasi yang lahir paska kemerdekaan tidak mengalami lagi kesulitan memahaminya, karena adanya negara, pendidikan negeri, arus manusia dan kondisi global yang hanya membagi dua dunia, menekan semua kegamangan identitas menjadi semata dua hal: komunis atau demokrasi. Peran bahasa persatuan untuk mengekalkan ini paling penting dan utama. Mendorong terjadinya fusi dan kesalingpahaman, sekaligus melunakkan dan mendorong sekat-sekat dan meluaskan identitas ke-Indonesiaan memenuhi setiap bagiannya dengan pas.

Bahasa menunjukkan bangsa

Namun ada satu hal yang terlupakan, bahasa bukan melulu soal alat komunikasi dan kumpulan simbol-simbol yang digabungkan untuk mewakili makna tertentu. Bahasa adalah juga soal kelakuan. Atau kelakuan adalah juga bahasa. Bahkan mungkin unsur tertua dari bahasa adalah gerak isyarat, sikap dan tingkah laku. Kamus besar bahasa Indonesia menuliskan definisi bahasa yang salah satunya berbunyi: percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun; tingkah laku yang baik. Dilengkapi dengan sebuah contoh peribahasa: bahasa menunjukkan bangsa, yang berarti budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang.

Lalu bagaimana bahasa (perangai) kita menunjukkan bangsa Indonesia? Laporan terakhir dari Transparancy International menyebutkan persepsi korupsi Indonesia berada pada angka 3.0 (tahun 2011) dengan skala 0.0 sebagai bersih dan 10.0 paling korup. Angka tersebut menunjukkan bagaimana kemampuan berbahasa kita dalam mendemonstrasikan kejujuran dan kebenaran, yang menunjukkan seperti apa sebenarnya kita sebagai bangsa!

Nampaknya masih ada memang satu bahasa lagi yang perlu ditanamkan dengan gigih kedalam benak generasi-generasi baru secara terus menerus serupa cara-cara indoktrinasi P-4 ala Orde Baru, yaitu bahasa kejujuran dan kebenaran. Karena bahasa menunjukkan bangsa, budi dan perangai sebuah bangsa tercermin dalam cara-cara mereka bermasyarakat dan bagaimana mereka berlaku. Maka dapat disimpulkan bahwa perangai dan tabiat asli orang Indonesia adalah menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk mencuri uang rakyat dan berbohong. Jika hampir semua orang sulit memercayai kebersihan seorangpun pegawai-pegawai penyelenggaraan negara, maka secara garis besar ini adalah juga budaya yang mengakar di masyarakat Indonesia. Karena sebagaimanapemimpin-pemimpin mencerminkan rakyat yang dipimpinnya, demikian pula dengan laku dan pekertinya.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan bahwa kebocoran anggaran negara bisa mencapai 30% dari nilai APBN pada tahun 2013 mendatang. Jika APBN 2012 saja sebesar 1.435,4 trilyun rupiah maka potensi kebocorannya sebesar 431 trilyun rupiah dalam satu tahun saja. Bayangkan jika uang sebanyak itu digunakan untuk membangun daerah-daerah tertinggal seperti Papua!

Berkaca pada kemungkinan kebocoran yang sedemikian besar setiap tahunnya, penggelapan dan pencurian terhadap uang negara tersebut dilakukan merata oleh sebanyak mungkin oknum dengan modus operandi terlindung suku-suku yang khusus dibentuk untuk itu.

Suku-suku yang sebenarnya merupakan perongrong kedaulatan NKRI paling utama karena tidak setuju dengan cita-cita mensejahterakan seluruh tumpah darah Indonesia. Menurut mereka NKRI ada untuk mensejahterakan kelompok, keluarga dan dirinya sendiri. Cara yang mereka lakukan sangat licik, yaitu seakan berbakti untuk bangsa ini tetapi merampoknya dari dalam, menghancurkannya dari dalam. Berkebalikan dengan OPM, RMS dan GAM yang menginginkan pemisahan untuk menentukan haknya sendiri, suku-suku koruptor ini malah menentang hal tersebut dan jika perlu membasminya. Dalam pandangan anggota-anggota suku ini, lebih baik negara kesatuan karena dengan NKRI mereka bisa mengeruk lebih banyak. Semakin besar ladang permainan semakin banyak, beragam dan semakin besar pula permainannya.

Sulitnya menghancurkan korupsi, sesulit melakukan makar terhadap negeri ini. Identitas yang dulu begitu sulit dibayangkan, sekarang malah dipergunakan sebagai sarana mengambil keuntungan sebagian besar orang dengan segolongan kecil yang tergabung dalam suku-suku mendapatkan bagian terbesarnya. Dan itu semua sejatinya adalah bahasa-bahasa kita.

Jika dulu sekali, ketiadaan bahasa persatuan adalah masalah yang sangat besar, maka saat ini masalah bahasa yang terbesar adalah absennya bahasa tingkah laku jujur dan  menjunjung tinggi kebenaran. Jika sekarang bahasa Indonesia benar-benar sudah mengakar bersama identitas Indonesia yang dimulai dari sumpah pemuda 1928, rupanya diperlukan sekali lagi Kongres Pemuda Indonesia dan sumpah pemuda dengan penambahan sesuai usulan P Ary Subagyo, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa kebenaran”dan sebuah tambahan “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa kejujuran.

Referensi:
1. Masalah Utama Bahasa Indonesia; Harian Kompas, 3 Mei 2008
2. The Idea of Indonesia; R.E. Elson; Serambi, 2009
3. Kemungkinan kebocoran APBN 2013 bisa mencapai 30%
3. Persepsi korupsi di Indonesia,2011 : Transparency International:
4. APBN Indonesia 2012: http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/citizen%20budget.pdf



Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun