Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika MA Salah Tik, Urusan Pun Jadi Rumit

26 April 2017   12:43 Diperbarui: 27 April 2017   02:00 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Fhoto/Galeri MA

Salah ketik yang terjadi di Intitusi Mahkamah Agung (MA), bukan baru kali ini terjadi, tapi melainkan sudah berulang kali. Dan yang paling anyer terjadi ketika MA, mengeluarkan keputusan, tentang permohonan uji materi Peraturan Tata Tertib (Tatib) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Nomor 1 tahun 2016  yang mengatur tentang masa jabatan Pimpinan DPD RI hanya 2,5 tahun.

Yang uniknya dalam putusannya, MA menyatakan kedua peraturan tersebut harus dicabut dan tidak bisa diberlakukan. Namun, dalam bunyi amar putusan terdapat kesalahan fatal. Dimana didalam amar putusan perkara Nomor 20 P HUM/2017 terdapat salah ketik di amar Nomor 3 yang berbunyi: Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mencabut Peraturan DPD RI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tatib.

Demikian pula dalam amar putusan perkara Nomor 38 P/HUM/2016 yang berbunyi: Memerintahkan kepada Pimpinan DPRD untuk mencabut Peraturan DPD RI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 10 Oktober 2016 tentang Tatib.

Untuk kedua putusan, terdapat dua kesalahan yang sama. Pertama, yang disuruh mencabut putusan adalah Pimpina DPRD, padahal yang diperkarakan adalah DPD RI. Pertanyaannya, DPRD mana yang harus mencabut dan apa urusannya DPRD mencabut putusan DPD yang jelas-jelas adalah lembaga tinggi negara?

Kedua, yang diperintahkan MA untuk dicabut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Padahal, seharusnya yang dicabut adalah Tatib DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 dan Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2017. Undang-undang dan Tatib DPD RI adalah dua produk hukum yang jauh berbeda, baik dari sisi kekuatannya serta lembaga yang mengeluarkan.

Akibat putusan salah ketik yang dikeluarkan oleh MA, membuat situasi dikalangan DPD, semakin memanas. Antara kubu GKR Hemas dengan kubu Oesman Sapta Odang, saling memamfaatkan delik dari salah ketiknya putusan MA dalam pembatalan Peraturan tatib DPD RI.

Kubu Oesman Sapta Odangpun mempertanyakan, Pimpinan DPRD, Profinsi, Kabupaten, Kota yang mana, yang akan memcabut peraturan Tatib DPD RI yang dibatalkan oleh MA, sementara ada ratusan jumlah DPRD di Indonesia.

Memang terasa lucu atas pertanyaan yang diajukan oleh kubu Oesman Sapta Odang, tapi apa yang dipertanyakan oleh kubu Oesman Sapta Odang itu adalah benar, jika mengacu kepada amar putusan yang dikeluarkan oleh MA, tentang pembatalan Peraturan Tatib DPD RI itu.

Secara hirarki, jelas bahwa putusan MA  memerintahkan Pimpinan DPRD untuk mencabut peraturan tatib yang telah dibatalkan oleh MA, tidak punya sangkut paut dengan peraturan tatib DPD RI. Dan begitu juga dengan DPD RI tidak punya hubungan hirarki dengan peraturan Tatib DPRD.

Yang anehnya lagi dengan mudahnya pihak MA mengatakan bahwa amar putusan yang dikeluarkannya tetang pembatalan peraturan Tatib DPD RI, adalah salah ketik dan harap dimaklumi. Bagaimana mungkin MA segampang itu mengatakan bahwa amar putusan yang dikeluarkannya salah ketik, sementara amar putusan itu dibacakan didalam sidang yang terbuka untuk umum dan telah pula dimuat dalam website MA. Tentu seharusnya tidak semudah itu MA melakukan koreksi dengan mengatakan sebagai salah ketik belaka.

 Dalam konstek salah ketik ini tentu timbul pertanyaan, bagaimana pula jika MA dalam amar putusannya salah menuliskan nama orang yang dijatuhi pidana dalam perkara tingkat kasasi. Yang dijatuhi pidana adalah Parman Misalnya, tapi yang tertulis Parmin, apakah Parman bisa dieksekusi, sementara dalam amar putusannya yang tertulis Parmin. Tentu putusan ini akan menjadi putusan non executable, yakni putusan yang tidak dapat untuk dieksekusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun