Mohon tunggu...
wishnu sukmantoro
wishnu sukmantoro Mohon Tunggu... Administrasi - Saya suka menulis dan fotografi. Suka menulis tentang politik, militer, humaniora, lingkungan dan kesehatan

Saya ekolog satwa liar, menyelesaikan S1 Biologi Universitas padjadjaran, Master degree ekologi di Institut Teknologi Bandung, fellowship program di Pittsburg University dan Doktoral Fakultas Kehutanan di Institut Pertanian Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ethnoelephantology, Gajah dan Manusia

13 Agustus 2016   02:23 Diperbarui: 13 Agustus 2016   02:34 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Yansen Gultom)

Dalam sejarahnya, manusia telah lama hidup dengan gajah. Dalam lukisan di gua-gua Eropa dan Afrika Utara, gajah digambarkan sebagai mangsa bagi masyarakat pra-agrikultur. Sekurangnya, 30.000 tahun lampau, masyarakat palaeolitikum di eropa menggunakan gading gajah untuk ornamen atau hiasan. Dari lukisan-lukisan di batuan di gua maupun di berbagai tempat lainnya di Afrika Selatan, gajah adalah satwa yang diburu oleh manusia dan tradisi ini masih dipertahankan oleh beberapa suku asli Afrika. Secara umum, sejak masa lampau termasuk periode prasejarah, gajah adalah satwa yang dijadikan binatang beban, obyek untuk penghormatan, hama bagi pertanian, sebagai simbol dan dieksploitasi untuk konsumsi dan gading.

Di Asia, sejarah gajah menjadi satwa tunggangan termasuk binatang beban atau untuk penghormatan tidak diketahui asal mulanya. Tetapi, penggunaan gajah ini sudah diketahui sebelum invasi Yunani ke asia. 5000 – 1000 tahun sebelum masehi, penggunaan gajah tercatat di lembah Sind, kemudian invasi kaum Aryan yang mempergunakan gajah tercatat dalam bahasa sansekerta dalam naskah Matanga – Lila oleh Nilakantha. penggunaan gajah oleh manusia tercatat 5000 tahun yang lalu di India untuk tujuan perang, membangun konstruksi dan mengangkut kayu tebangan. Di India, pada abad 5 atau 6 sebelum masehi, muncul Gajahshastra sebagai kitab sastra kuno tentang pengetahuan yang berkaitan dengan pengelolaan gajah terutama untuk sarana agama, sarana angkut dan hubungan mahout dengan gajah. 

Di India, penjinakan gajah liar dilakukan dengan berbagai metode. Sampai pada kolonial Inggris di India, penjinakan gajah dilakukan untuk kepentingan perseorangan atau kepentingan negara sebagai alat angkut di konsesi kayu dan membantu peperangan. Kemudian, catatan sebagai penghormatan dan dalam agama tercatat di India, Burma, Srilanka sampai ke Indonesia.

Budaya Asia mengakui gajah Asia sebagai hewan simbolik. Gajah sering melambangkan kebijaksanaan, kekuatan, dan kesucian sebagai hewan darat terbesar. Mereka dianggap karismatik, bijaksana, megah, berani, dan sabar dalam budaya Asia; ada ribuan cerita tentang gajah. Sebagai warisan budaya dan alam, gajah memainkan peran penting dalam sejarah dan kehidupan dari kedua komunitas agama dan kekuasaan, serta legenda dan cerita rakyat pada umumnya. Contohnya termasuk dokumen sejarah dan agama serta patung batu di dinding reruntuhan candi atau bangunan sejarah. Di banyak negara Asia, gajah dianggap sebagai memiliki strata "lebih tinggi" dari binatang lainnya. Upacara di adat tradisional menggunakan gajah untuk membawa penguasa dan barang-barang berharga. 

Selama masa pemerintahan Raja Myanmar, India, Thailand dan Laos, gajah yang tertangkap dijinakkan digunakan untuk upacara agama setempat. Myanmar dan Thailand mempertimbangkan gajah putih yang sangat langka dan tidak biasa menjadi tanda yang sangat signifikan dari keberuntungan, kebanggaan nasional, dan kekuasaan untuk negara mereka. Gajah putih bisa diperebutkan oleh dua kekuasaan sampai mengakibatkan perang.

Sebuah contoh sejarah dan budaya yang signifikan dari gajah dari Thailand melibatkan legenda yaitu peninggalan Buddha pada abad keempat belas. Raja Kuena diabadikan peninggalannya dengan gajah di taman bunga Biara Royal (Wat Suan Dok) terletak di Chiang Mai. Ini menunjukkan kekuatan gaib apabila dijaga gajah. Sebuah suaka margasatwa kemudian didirikan di sana bersama dengan Wat Phrathat-Buddha untuk biara di dekat puncak gunung Doi Suthep. Gajah sering digunakan sebagai kiasan di khotbah Buddha Gautama. Mereka juga sering dihubungkan dengan kehidupan dan ceritanya. Dalam Jataka tentang Buddha muncul dalam berbagai bentuk binatang dalam kehidupan masa lalunya, gajah sering muncul dengan nilai-nilai moral yang tinggi, sementara banyak dari kisah gajah sebagai  simbol kebijaksanaan.

Buddha Gautama memiliki hubungan yang dekat dan akrab dengan gajah selama bertahun-tahun pada saat ia berusia muda dan sebagai pangeran. Pangeran Gautama kemudian meninggalkan istana, tinggal di hutan dan mengendarai gajah. Dalam pengembaraannya dengan gajah, ia  mengamati orang sakit, orang tua, seorang pria sekarat, dan orang-orang yang terkena penderitaan. Pangeran muda Gautama ini yang mengeluarkan mereka dari penderitaan. Ada kisah menarik, seekor gajah jantan menyerah oleh sang Budha. Sang Buddha berdiri di tanah dimana posisi gajah jantan itu hanya beberapa kaki jauhnya. Kemudian, suara Sang Buddha dipancarkan melalui gajah betinanya. Hal ini menyebabkan gajah jantan berlutut di tanah dan menjadi damai dan ramah terhadap Buddha (Henning 2002). Dalam konteks koeksistensi, kebutuhan manusia dari gajah dan religi (obyek penghormatan) adalah nilai utama.

Paradigma koeksistensi gajah dan manusia adalah pada jaman itu berkisar dengan penggunaan gajah untuk manusia dan faktor religi (obyek penghormatan atau simbol), tidak ada catatan – catatan kuno menerangkan mengenai hubungan gajah dengan manusia dalam konteks ekologi atau interaksi yang alami di alam, apalagi mengacu pada pendekatan ethnoelephantology. Untuk itu, paradigma koeksistensi gajah – manusia pada masa lampau ataupun dalam pandangan kebutuhan manusia ataupun religi adalah pandangan yang tidak sambung dalam menciptakan tatanan kehidupan yang integral antara gajah liar dengan manusia di alam atau di dalam kehidupan yang nyata.

Jika mengacu pada definisi etnologi, mempelajari budaya atau adat istiadat masyarakat sehingga memberikan pemahaman atau pengetahuan yang lebih baik tentang kebiasaan, tata cara  dan perilaku dari masyarakat tersebut. Dalam Locke 2013 menggambarkan bahwa etnologi untuk gajah atau disebut ethnoelephantology adalah manusia dan gajah hidup berbagi ruang dan sumber daya, ada interseksi atau persimpangan antara pikiran dan rasa antara keduanya, ada pola hubungan gajah dengan manusia, alam dan budayanya yang terjalin secara integral. Pola hubungan ini ditinjau dari sejarah, ekologi dan relevansi keberadaan keduanya dalam tataran sosial dan bagian dari alam.

Dalam konteks ini, mengacu pada definisi Kollar 1783 dan Locke 2013, ethnoelephantology, koeksistensi menjadi bagian budaya gajah terhadap mahluk hidup lainnya (dalam hal ini manusia) untuk dapat membina kehidupannya secara harmonis atau integral. Locke 2013 menyatakan bahwa kita perlu memandang konflik gajah dan manusia dengan cara lain misalnya dalam membangun strategi mitigasi konflik tanpa barrier penghalang bagi gajah (elephant without barrier) seperti tidak perlu menggunakan electric fencing (atau menggunakan sesedikit mungkin alat ini terutama untuk membatasi pemukiman) ataupun parit gajah. Selain itu strategi ke depan bahwa koeksistensi dibangun dengan mendorong pengaturan atau manajemen pada manusia dalam memandang konflik gajah manusia. Dalam pendekatan multi spesies, penciptaan ruang atau koridor untuk gajah, pendekatan ethnoekologi gajah terutama pengembangan interaksi dan toleransi gajah dengan manusia dan tata kelola adalah pendekatan yang lebih baik.

oleh Wishnu Sukmantoro

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun