Mohon tunggu...
Wira Syafutra
Wira Syafutra Mohon Tunggu... lainnya -

aku seorang petualang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tragedi Papua dan Timor-Timur

20 Desember 2012   12:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:18 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Yogyakarta – Universitas Negeri Yogyakarta, khususnya Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial mengadakan Guest Lecturer untuk mata kuliah Sejarah Politik dan Hubungan Internasional Indonesia yang mengundang Dr. Max Lane dari University Victoria. Beliau mengisi mata kuliah tersebut selama lima kali pertemuan, dari tanggal 5-11 Desember 2012. Kedatangan beliau ke FIS memang bukan pertama kali ini, namun telah beberapa kali untuk mengisi kuliah umum.Kedatangan kali ini berbeda, karena resmi mengisi mata kuliah. Mata kuliah yang diambil oleh teman-teman sejarah angkatan 2011 beserta yang memperdalam (alias: mengulang). Namun mendorong juga animo bagi teman-teman yang lain untuk mengikuti kuliah beliau. Termasuk penulis dan teman-teman angkatan 2009, karena banyak hari kosong.

Kami (angkatan 2009) mendapat bagian untuk membuat laporan mata kuliah tersebut bagian Papua dan Timor-Timur karena kedua materi itu terkait dengan materi mata kuliah kami yakni, Sejarah Indonesia Masa Kontemporer.Sedangkan yang lainnya harus membuat laporan dari pertemuan pertama hingga pertemuan kelima. Berbicara tentang Papua dan Timor-Timur memang menjadi pembahasan tersendiri karena bias dikatakan bahwa polemic yang terjadi di kedua pulau tersebut banyak menghadirkan kontroversi dalam sejarah Indonesia. Politik dan ekonomi yang menjadi dasar pergumulan yang tidak harmonis antara pemerintah pusat dan daerah (Papua dan Timor-Timur) menjadi borok tersendiri yang sulit untuk dihilangkan hingga saat ini bahkan harus sampai melepaskan Timor-Timur darilingkar persaudaraan NKRI.

Penulis akan membagi dua bagian dalam tulisan ini:

ØTimor-Timur

Mengenai Timor-Timur ini merupakan perkuliahan keempat yang diampu oleh dosen tamu Dr. Max Lane.Permasalahan di Timor-Timur sebenarnya adalah permasalahan ekonomi.Semua pihak sudah tahu bahwa di lautan timur terdapat minyak dan gas. Australia mendukung Timtim untuk integrasi dengan Indonesia adalah soal deal ekonomi. Australia berfikir akan lebih mudah untuk membuat deal-dealan dengan Soeharto dari pada berunding dengan Timor Leste.Dukungan Indonesia dari dunia Internasioanal juga sangat kuat dan lama mulai dari tahun 1975 hingga `1999.

Negara utama yang mendukung Indonesia adalah AS, Inggris Raya dan Autralia.Akan tetapi dukungan itu bersifat militer dan informal diplomatik.Apa yang terjadi di Timtim juga sangat mengerikan, pembunuhan missal, pembangunan yang kurang, militeristik yang kuat juga turut andil dalam menyengsarakan rakyat Timor Timur itu. Pembanguna memang ada, namun tidak sepadan dengan perlakaun kejam pemerintah (militer).Hal ini yang membuat mereka berontak.Segala informasi memang diisolasi demi keamanan.Tidak banyak yang bisa diketahui dari Timor-Timur kala itu. Kelompok yang paling massif dan agresif untuk menuntut kemerdekaan ialah Fretilin

Pada buku “sejarah alternative”, disebutkan bahwa para anggota militer Indonesia mendapat pendidikan di Amerika Serikta.Mereka juga dipulangkan dalam rangka untuk membuat sistem baru dalam hal ekonomi, bukan dengan tujuan militer.Sistem kapitalis dari tangan militer.Memang, arah politik Orde Baru begitu melunak pada negeri imperialis.

Perlakuan Indonesia kepada Timtim memang sudah terlewat batas, perlakuan brutalnya tidak dapat dirterima didalam lingkungan internasional dimana semangat-semangat hak asasi manusia sudah membumi.Hal ini juga tidak bisa lepas dari pengaruh Perang Dingin, selain perang ideologi yang terlihat juga adanya penarikan wilayah strategis dalam bidang ekonomi.Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa, dilaut Timur terdapat minyak dan gas yang melimpah.

Ada keganjilan dan keanehan pada Indonesia yang disampaikan oleh Pak Max Lane, info-info tentang kekejian dan seluruh realitas politik-ekonomi yang terjadi di Timor-Timur seakan menghilang dari bumi. Rakyat lain tidak ada yang tahu, pada waktu itu, mengenai permasalahan di sana, akan tetapi dunia internasioanal mengetahui itu semua. Maka dari itu, justru yang menuntut keadilan dan bergerak adalah mereka – publik - masyarakat biasa.Memang masa Orde baru sarat dengan kepentingan penguasa yang tidak ingin dianggap atau diberitakan yang buruk-buruk.

Lebih lanjut Max Lane berbicara mengenai kematian akibat perang membentuk opini publik di Amerika Serikat dan Australia.Mereka mulai mendukung akbiat adanya kebocoran dari pihak militer Indonesia yang berada di Timor-Timur.Sampai pada akhirnya – reformasi- pergantian kepemimpinan dan Indonesia memberikan otonomi khusus bagi Timor-Timur. Australia mulai mendukung.Hingga Timor-Timur merdeka pada tahun 1999 karena tuntutan dari berbagai pihak dan B.J. Habibie merestui tuntutan tersebut maka lahirlah negara baru yakni Timor Leste.

ØPapua: Ironi di Pulau Mutiara Hitam

Perkuliahan yang diisi oleh Dr. Max Lane mengenai Papua ini merupakan materi terakhir yang akan di suguhkan oleh beliau dalam kegiatan Geust Lecturer ini. Mulai dari kemarin, ruangan Ki Hajardewantoro penuh karena diisi oleh berbagai angkatan.Penjelasan Papua memang menjadi ironi sendiri bila kita ketahui.Bagaimana tidak, pulau kaya itu dihuni oleh orang-orang miskin dan juga pendidikan yang kurang.Miskin ditengah Kekayaan yang melimpah, serta ibarat tikus mati di lumbung padi kiranya cukup untuk menggambarkan kondisi yang ada di pulau paling timur Indonesia tersebut.Bagi sebagian warga Papua, mereka seperti asing di negeri mereka sendiri, mereka ibarat jadi budak dirumah mereka sendiri. Memang, kalau dilihat dari sejarahnya sejak Belanda mengklaim Papua(barat) hingga berpindah tangan ke Indonesia Papua seperti ladang empuk meraup keuntungan dari kapitalsime.Max Lane menjelaskan bahwa ada kesepakatan antara Jerman-Inggris dengan Belanda mengenai perbatasan pada 1876 dan Belanda kembali pada tahun 1896.Beliau juga mengatakan bahwa Belanda baru bertemu dengan penduduk sekitar tahun 1938 di lembah Baliem.

Bisa dibayangkan bahwa pada saat Belanda baru bersentuhan dengan penduduk di papua pada tahun 1938, di Pulau-pulau lainnya sudah berkembang pergerakan nasionalis terutama di Pulau Jawa.Hal ini menandakan bahwa belum ada komunikasi atau pengaruh yang cukup besar dari tokoh-tokoh nasionalis di Pulau Mutiara Hitam tersebut.Papua menjadi incaran para kaum Hawkis di dunia seperti Amerika Serikat dan Australia (saat itu di pegang oleh Partai Liberal), termasuk juga Belanda tentunya.

Seperti politik Belanda yang mengizinkan Papua mendirikan bendera baru Papua pada tahun 1962.Selain itu juga didirikan Niuew-Guinea Road (Dewan New Guinea) pada tahun 1961. Pada tahun 1962 tersbut juga, seperti yang dikatakan oleh Pak Max bahwa tahun itu sebagai langkah keberhasilan diplomasi Bung karno karena diadakan New York Agreement di AS oleh Indonesia, Belanda, PBB.

Akan tetapi, pada tahun 1965, terjadi arus balik.Perpindahan kekuasaan juga berdampak pada penanganan Papua.Pada masa Soeharto, Papua diurus oleh OPSUS dan juga Jendral Ali Murtopo.Pada masa orde baru justru kondisi Papua semakin memburuk.Terlebih juga pasca 1965, gerakan Papua Merdeka atau dikenal dengan OPM memperlihatkan perjuangan yang keras yang sebenarnya menuntut keadilan.Pak Max juga menyampaikan bahwa dari bulan Juli-Agustus 1969 diadakan Act Of Fre Referendum yang itu ternyata bagian dari konspirasi politik penguasa Orde baru.

Pada saat itu, OPSUS mengadakan jajak pendapat yang kesemuanya dikumpulkan oleh OPSUS dan menyepakati untuk Papua menjadi propinsi Indonesia.Kesepakatan itu juga di setujui oleh dunia internasional – Australia dan AS – hingga saat ini.Sebenarnya, masalah Papua selama ini adalah masalah kemiskinan, ketidakadilan dan trauma kekerasan.Ditambah lagi sikap saling tidak mempercayai diantara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Bisa dikatakan diantara keduanya saling “mengasingkan”.

Anehnya, rakyat Indonesia seperti “buta” terhadap realitas politik dan ekonomi yang terjadi di Papua.Yang diketahui dari Papua hanyalah dua unsure yakni jenis tarian dan juga lagu, e yamko rambe yamko yang sering dipentaskan diacara pentas kesenian nasional.Tetapi keadaan riil tidak tahu. Itulah yang dikatakan oleh Prof Bambang Shegi laksamana dalam sebuah pengantar pada buku, “Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma, dan Separatisme” yang ditulis oleh Amirudin al Rahab.

Untuk Penutup, dari kesemua uraian yang disampaikan oleh Pak Max Lane, ada perkataan menarik yakni bagaimana sebenarnya public menentukan politik. Semakin menjadi isyu publik, politik bisa berubah.Semua itu karena kebudayaan mendukung HAM dan juga penentuan nasib sendiri.Memang public (masyarakat biasa) sebenarnya mampu mengubah jalannya poltik, bila rakyat telah bergerak sulit untuk dihentikan.Itu juga yang terjadi pada dunia internasioanal, masyarakat biasa menuntut keadilan, HAM pada Negara-negara tertintads.Seperti yang dilakukan oleh public Australia dalam mendukung Papua dan juga kemerdekaan Palestina baru-baru ini.

Max Lane menutup kuliah dengan perasaan senang hati karena melihat antusisme mahasiswa Indonesia dan khususnya Pendidikan Sejarah UNY. Beliau juga akan sangat senang bila diundang lagi untuk mengisi perkuliahan dan berdikusi dengan mahasiswa Pendidikan Sejarah di UNY. Perkuliahan itu juga dihadiri oleh beberapa dosen Jurusan Sejarah serta Dekan Fakultas Ilmu Sosial UNY, Pak Ajar Sudrajat, sekaligus menutup secara resmi acara Guest Lecterur tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun