Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

E-mail: winny.gunartiww@unindra.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jangan Jadi Konsumen Neomania

18 Juli 2017   06:40 Diperbarui: 18 Juli 2017   07:04 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.i-digitalpixel.com

Di era konsumsi visual saat ini, ketika serbuan iklan produk melalui televisi dan media sosial semakin masif, maka sebaiknya setiap orang mulai waspada, agar tidak terjebak menjadi konsumen dengan kecenderungan neomania.

Apa yang dimaksud dengan neomania? Istilah ini dikemukakan Roland Barthes pada tahun 1957 (dalam Danesi, 2011) sebagai suatu "selera tak terpuaskan akan objek-objek baru untuk dikonsumsi". Neomania muncul sebagai konsekuensi sosial dalam kehidupan masyarakat yang terkena dampak dari pesan-pesan iklan.

Neomania dapat menyerang segala lapisan masyarakat,  mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak-anak. Neomania muncul karena adanya dorongan untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang ada, seperti ingin lebih cantik, lebih berkelas, lebih praktis, lebih sehat, dan sebagainya.

Faktanya, tidak semua permasalahan manusia dapat diselesaikan dengan cara membeli dan mengkonsumsi produk yang diiklankan. Masyarakat perlu mendapat edukasi dan tetap menyadari, bahwa konsumen sebagai target sasaran, senantiasa dipersuasi dengan tawaran iklan produk yang dikaitkan dengan gaya hidup, tren, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Industri periklanan kontemporer, sebagaimana dikatakan Danesi (2011) kerap didesain dengan mengaburkan garis antara produk dan kesadaran sosial terhadap produk tersebut.

Terutama untuk iklan produk-produk kesehatan, konsumen kerap terbujuk untuk membeli karena adanya tawaran harga yang terjangkau dan hasil yang instan. Banyak konsumen yang begitu saja termakan iklan, tanpa tertarik untuk mencermati terlebih dulu komposisi produk. Ada konsumen yang tidak menyadari bahwa kepuasan yang didapat hanya bersifat semu. Tidak sedikit pula, konsumen yang telah mengorbankan banyak finansial selama bertahun-tahun, akan tetapi bukan solusi yang didapat, melainkan masalah baru yang lebih kompleks, seperti munculnya penyakit degeneratif.

Sebagai contoh, orangtua yang menginginkan anak-anaknya tumbuh sehat, umumnya memburu produk-produk makanan dan minuman yang dianggap dapat memberikan kandungan gizi optimal dengan biaya terjangkau. Banyak produk minuman kesehatan instan yang ditawarkan. Akan tetapi, apakah komposisi produk yang ditawarkan memang sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak menurut usianya? Asupan minuman dengan kadar gula tinggi yang diberikan pada anak-anak dalam jangka waktu tertentu terbukti dapat berdampak pada penyakit degeneratif di usia muda, di antaranya obesitas dan diabetes.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007, 2010) menunjukkan bahwa saat ini  kecenderungan anak-anak berusia 6-19 tahun yang menderita obesitas akibat kelebihan gizi terus mengalami peningkatan. Data Depkes tahun 2008 dan Kemenkes 2010, 2013 juga mencatat bahwa "Kelebihan gizi ini timbul akibat kelebihan asupan makanan dan minuman kaya energi, kaya lemak jenuh, gula, dan garam tambahan, namun kekurangan asupan pangan bergizi seperti sayuran, buah-buahan, dan serealia utuh, serta kurang melakukan aktivitas fisik".

Fakta inilah yang perlu dicermati oleh konsumen. Konsumen sebaiknya mampu menahan diri dengan tidak mudah terbujuk visualisasi iklan. Terlebih di era budaya visual, konstruksi visual melalui iklan sering memanjakan mata konsumen dan memengaruhi alam bawah sadar manusia tentang "kesehatan ideal". Terlebih bila iklan produk divisualisasikan dalam konteks kehidupan sosial yang menjadi dambaan setiap orang sebagai produk yang siap pakai, produk yang praktis, dan produk yang menyehatkan.  

Saatnya konsumen perlu lebih kritis dan bersikap selektif dalam menghadapi serbuan iklan produk di media sosial maupun televisi, di antaranya dengan cara membentuk pemahaman dan kesadaran terlebih dahulu tentang produk yang ditawarkan. Apakah produk tersebut benar dapat menjadi solusi kebutuhan kita? Dan apakah produk tersebut nantinya tidak malah memberikan dampak buruk bagi kesehatan dan kehidupan keluarga?   

Jadilah konsumen yang  selektif dan cermat dalam mengkonsumsi iklan.     

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun