Mohon tunggu...
Diana Wardani
Diana Wardani Mohon Tunggu... Administrasi - Sederhana

I Love You, Kangmas Matahariku. I love your sign and signature - I always be with you wherever you are, because we are one.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ikut Menunggu Adzan Maghrib: Hidup Tak Hanya Dengan Roti

1 Agustus 2012   19:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku seorang pemeluk Katolik Roma sejak lahir. Tetapi Nenek dan Kakekku dari pihak ibu memeluk Islam turun temurun. Setelah beranjak dewasa, pada suatu ketika ibuku mengajarkan aku untuk berpuasa hari Senin dan Kamis. Kata ibu, puasa itu untuk melatih kesabaran kita. Kata kakekku, puasa itu bisa meluruhkan ego kita menjadi seseorang yang rendah hati – lagian apa yang mesti disombongin :D. Berawal dari sanalah, aku mengenal puasa dimana seharian penuh kita tidak makan dan minum. Dan di Katolik pun mengajarkan berpuasa yang masanya adalah empat puluh hari sebelum perayaan Paskah, namun cara berpuasanya berbeda dengan puasa yang dijalankan oleh umat Islam.

Sekitar lima tahun yang lalu, berawal dari keponakanku yang memintaku untuk menemaninya berpuasa di Bulan Ramadhan, karena ia beragama Islam. Ayahnya tidak berpuasa karena waktu itu ia memiliki penyakit maag kronis. Jadi setiap tahun ayahnya hanya membayar puasa saja yang uangnya diberikan kepada fakir miskin yang berpuasa. Sedangkanibunya juga tidak tidak berpuasa karena ia agamanya sama denganku dan ia merasa tak kuat jika harus menemani anaknya berpuasa. Akhirnya aku mencoba untuk menemaninya saat itu, dan aku berhasil menemaninya selama sebulan penuh, kecuali saat haid. Saat itu ia terlihat begitu bahagia karena puasanya ada yang menemani. Aku pun merasa sangat senang melihat dia sumringah saat Sahur dan apalagi saat berbuka. Kebersamaan yang muncul dari masa puasa ini memang sangat indah. Hingga kini, aku tak bisa menghentikan kebiasaanku untuk berpuasa jika Bulan Ramadhan tiba. Ada sebuah rasa yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata, saat lantunan Adzan Maghrib berkumandang di Bulan Ramadhan. Seperti menemukan kembali energi yang seharian penuh itu hilang. Lebih daripada itu, saat-saat menunggu lantunan Adzan Maghrib, bagiku seperti menyongsong oase asa.

Jika ibuku bilang bahwa puasa dapat melatih kesabaran kita, dan kakekku bilang puasa itu bisa meluruhkan ego kita. Setelah bertahun-tahun aku ikut berpuasa di Bulan Ramadhan, aku menjadi seseorang yang lambat menyadari bahwa aku sedang disakiti atau dikecewakan oleh orang lain, baik melalui kata-kata maupun sikap. Rasa bahwa akku telah disakiti atau dikecewakan itu muncul setelah aku merelakan kejadian itu menimpaku. Aku tidak tahu kalau aku ternyata sedang disakiti atau harus sakit hati. Nah, saat aku bercerita kepada temanlah aku jadi mengetahui jika aku ternyata sedang disakiti. Atau menyadarinya saat aku berpikir lama dan runtut (flash back) tentang kejadian yang melukai atau mengecewakanku. Lambat banget kan? :D Jadi aku tetap bisa bersikap netral dengan sakit dan kecewa itu. Kesalahan orang lain tidak aku simpan dan tidak aku ingat-ingat. Aku memang seorang pelupa. Jika ada konflik, aku tidak menanamnya menjadi sebuah duri dalam hatiku. Saat aku memaafkannya, berarti aku telah melupakan kesalahannya. Seperti anak kecil yang bertengkar, dan sebentar kembali akrab. Memang jadi terkesan munafik. Tapi akan terus menjadi beban bagiku saat aku terus saja mengingat-ingat kesalahan orang lain. Berkat puasa, aku bisa menjadi seseorang yang demikian, dan selalu berharap semoga aku tidak menyakiti hati orang lain dengan sengaja.

Itulah kesehatan batin yang aku peroleh dengan berpuasa. Saat Bulan Ramadhan tiba, berarti secara otomatis aku mengikuti saat-saat menjelang Adzan Maghrib dilantunkan. Berpuasa juga dapat menyembuhkan penyakit maag yang dialami oleh ayah keponakanku, karena hanya selisih satu tahun sejak aku ikut berpuasa, ia pun berpuasa juga hingga sekarang.Selain keyakinannya bahwa dengan berpuasa bisa menyembuhkan penyakitnya, bisa jadi, mungkin ia merasa malu denganku yang bukan beragama Islam tetapi ikut berpuasa. Dengan berpuasa lahir kita jauh dari penyakit, dan batin pun menjadi bertambah dan bertumbuh semakin dewasa. Seperti Sabda Yesus bahwa hidup tak hanya dengan roti.

Aku tahu, mungkin aku bukan satu-satunya orang non muslim yang melakukan puasa di Bulan Suci Ramadhan. Ada banyak temanku di luar sana yang melakukannya pula. Ini bukan masalah pembauran dalam agama, tetapi memang di dalam berpuasa selain menyehatkan tubuh karena ada sistem detoksifikasi di sana, ini membuktikan bahwa berkah Bulan Ramadhan tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja, melainkan bagi seluruh umat; bagiku, bagimu, baginya, dan bagi mereka.

Terima kasih, Ramadhan :)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun