Mohon tunggu...
Diana Wardani
Diana Wardani Mohon Tunggu... Administrasi - Sederhana

I Love You, Kangmas Matahariku. I love your sign and signature - I always be with you wherever you are, because we are one.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Daun

2 Agustus 2013   08:46 Diperbarui: 4 April 2017   16:24 4581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13754077842077963774

[caption id="attachment_257854" align="aligncenter" width="620" caption="illustrasi: penulis196.esq-news(dot)com"][/caption]

Pada sebuah pagi. Saat mentari tersenyum ingin membentuk klorofil-klorofil pada tanaman di seluruh bumi yang berhasil dijangkaunya saat itu.

07:35

Saat kehidupan ini beranjak kepada sebuah titik yang dinamakan kedewasaan (kedewasaanitu relatif; tidak memandang usia).

Kemudian menyadari adanya sebuah pertemuan dengan orang yang paling dicinta, paling disayang. Lalu muncul pertanyaan: apa yang diharapkan dari kekasih? Apakah menjadi seorang kekasih mempunyai banyak pilihan?

Sang Waktu kemudian mengajak pada sebuah situasi. Berdua duduk di serambi depan, menikmati wewangian alam yang dipersembahkan oleh rerumputan dan bebungaan sebagai tunangan. Lalu, muncul lagi pertanyaan: apa yang diharapkan dari tunangan? Apakah menjadi seorang tunangan mempunyai banyak pilihan?

Lagi, Sang Waktu dengan ikhlas menuntun kepada sebuah proses yang paling indah. Berdua duduk di pelaminan, setelah ijab kabul itu terucapkan dengan mantap dan hati berbunga-bunga. Lagi-lagi muncul pertanyaan: apa yang diharapkan dari suami?Apakah menjadi seorang suami mempunyai banyak pilihan?

Dengan keceriaan tersendiri, Sang Waktu kemudian berkenan menjadikannya sebagai orang tua. Berdua mendidik anak-anak dengan kasih sayang yang bijak, sambil bercanda riang di taman untuk menikmati udara yang dipersembahkan sang taman yang mulia itu, (sebab aku terlalu senang saat melihat bebungaan di taman, daripada ia dipetik dan akhirnya layu di tanganku).

Lalu, apakah yang diharapkan dari anak-anak hasil buah cinta kasih ini? Apakah menjadi seorang anak mempunyai banyak pilihan?

Setelah serangkaian hidup terlalui dan dijalani dengan segenap suka duka kehidupan yang menghampiri. Bahwa tidak mudah meraih serangkaian kehidupan yang telah ada. Lalu, apakah sebenarnya yang dinamakan milik? Apakah arti mempunyai?

Banyak orang berkata bahwa suamiku adalah milikku. Apakah benar demikian? Suamiku, memang suamiku. Tapi apakah ia tidak boleh melakukan sesuatu untuk membuat diri pribadinya semakin berkembang, bertumbuh, dan menyadari bahwa itu semua memerlukan proses. Apakah seorang isteri harus marah-marah banting pintu, memasang wajah cemberut, kemudian menyuruh suaminya tidur di sofa, hanya karena ia terlambat pulang? Seorang isteri bukanlah dewa. (Utusannya saja belum tentu, apalagi menjadi seorang dewa) yang mengetahui setiap jengkal perjalanan yang dialami oleh suaminya, ketika dalam perjalanan pulang. Terjebak macet. Apakah macet punya banyak pilihan? Kalau harus macet ya macet. Begitu pun suami. Dengan kemacetan yang dialaminya, apakah suami juga punya banyak pilihan? Apakah yang diharapkan dari seorang suami? *inspirasi dari salah satu tulisan Ajahn Brahm (Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Jil.1).

Setelah dengan jerih payah kehidupan berhasil membesarkan anak-anak. Kemudian anak-anak pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Lalu, muncul lagi pertanyaan: Apakah yang diharapkan dari anak-anak? Pertanyaan serupa kembali muncul ke permukaan: apakah sesungguhnya makna dari mempunyai? Mempunyai anak. Namun tidak jiwa dan kehidupannya. Sebab, menjadi seorang anak pun tidak mempunyai banyak pilihan, selain ia mengikuti panggilan kehidupannya.

Dari sekian pertanyaan tentang makna memiliki dan mempunyai. Bahwa memang, kita hidup tidak mempunyai banyak pilihan. Pilihannya adalah baik. Hanya baik saja, bagi yang ingin memilih baik. Menjadi seorang kekasih yang baik. Menjadi seorang tunangan yang baik. Menjadi seorang isteri yang baik. Menjadi seorang suami yang baik. Menjadi orang tua yang baik. Baik di sini adalah mengikuti pakem yang berdasar kepada agama dan pranata dari adat istiadat.

Bahwa menjalani tugas kehidupan pada setiap tahapannya, mungkin tidak cukup hanya sampai kepada “baik” saja. Namun yang terpenting adalah proses menuju kebaikan itu seperti apa, agar bisa terserap makna hikmah yang tersembunyi di baliknya. Bahwa hakikat dari semua itu adalah cinta dan kebebasan. Percaya bahwa suamiku telah melakukan hal-hal terbaik bagi keluarga dan dirinya. Maka, alangkah bijaknya jika menghargai itu dengan penyambutan ketulusan cinta. Sunggilah cintamu di atas kepalamu sebagai bakti kepadaNya. Perlakukanlah ia sebagai seorang suami yang memegang amanah memimpin isteri dan anak-anaknya.

Seorang suami yang penuh kasih sayang kepada isterinya, akan membuktikannya dengan menjaga segala tindakannya di luar sana, meskipun ia memiliki jiwa dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Apa pun yang dilakukannya tetap berada di dalam batas-batas sebagai pagar ketika ia tidak bersama isterinya.

Percaya bahwa anak-anak kita telah melakukan yang terbaik bagi dirinya, orang tua, dan lingkungan di sekitarnya, sebab pendidikan orang tuanya. Maka junjunglah itu setinggi kepalamu. Karena biar bagaimanapun, ia adalah milik kehidupan ini. Maka agungkanlah itu dengan ikhlas menyerahkannya kembali kepada semesta yang akan membimbingnya.

Di atas semuanya, percaya kepada DIA yang telah meng-arrange kehidupan kita mulai dari tidak ada menjadi ada, hingga kembali lagi menjadi sebuah ketiadaan. Biarkanlah dan pasrahkan saja agar hidup kita hanya dibingkai olehNya semata. Tidak ada yang lain.

Sampai di sini, di dalam percikan kehidupan ini, di antara degup jantung, di antara nadi yang detaknya terkadang tidak selalu sama ini, dengan aliran darah yang terus berputar di dalam tubuh ini, di antara nafas yang berhembus teratur dengan oksigen cuma-cuma dariNya ini, sesungguh-sungguhnya, apakah kita memiliki dan mempunyai sesuatu?

Dan......... Jawabannya adalah: TIDAK!

Serupa helai-helai daun yang tidak memiliki dan mempunyai sesuatu, hingga pada akhirnya ia harus gugur dan jatuh ke tanah, lepas dari batang pohon yang kokoh sekalipun. Melayang mengikuti angin sebagai takdirnya. Entah ia jatuh pada tanah gersang, tanah subur, tanah berbatu, atau di atas jalanan, hingga ia langsung terlindas kendaraan-kendaraan yang lewat. Entah ia jatuh di atas permukaan air yang menghanyutkannya dan entah sampai kapan ia harus terhanyut. Semuanya entah, hingga mentari tidak bisa lagi membantunya membentuk klorofil-klorofil bagi daun-daun gugur itu.

Dalam sebuah perjalanan jiwaku, 9 Juli 2013 @06:12

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun