Mohon tunggu...
Winda Ari Anggraini
Winda Ari Anggraini Mohon Tunggu... Guru - A novice writer

Terus belajar untuk menantang semua ketidakmungkinan. Jika ada pertanyaan tentang kuliah di Birmingham/ Pendidikan/ Bahasa Inggris/ Beasiswa, silahkan menghubungi: http://pg.bham.ac.uk/mentor/w-anggraini/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Malas Membaca? Jangan Kuliah di Inggris!

20 Januari 2017   01:36 Diperbarui: 21 Januari 2017   21:31 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Pada zaman dahulu, saya bisa dikatakan sebagai orang yang suka baca. Waktu kuliah, teman-teman Potterhead menjuluki saya sebagai Hermoine, karena saya sangat suka membaca dan membolak-balik buku yang kadang tidak wajib digarap. Setelah lama bekerja, kebiasaan membaca menjadi makin sulit saya lakukan. Membaca pun hanya terbatas pada hal yang sama, berupa tulisan siswa yang perlu dikoreksi, materi ajar hari itu, buku pedoman kurikulum baru, dan cara mengajar yang baru. Meski saya masih berusaha menjaga minat baca dalam bidang lain dengan membeli buku, buku-buku tersebut malah berakhir mengenaskan di rak hingga tiba saatnya saya pindah kemari untuk belajar lagi.

Setiba di sini tentu saja hal yang paling membuat kaget dan membebani adalah bacaan yang tak kunjung habis. Katakanlah saat ini saya punya tiga mata kuliah dari departemen pendidikan, dengan paling minimal reading list satu mata kuliah tiap minggunya 1 atau 2 bab buku, ditambah 2 hingga 3 jurnal terbaru. JIka ditotal untuk ketiga mata kuliah tersebut, kurang lebih saya harus membaca sebuah buku tebal dengan sepuluh jurnal... hhhh. Saya akui saya sangat tertatih mengejar banyaknya bacaan. Masalahnya setelah membaca satu bab, saya akan lupa apa isi bab tersebut, hoho. Belum lagi jika tidak membaca, saya bisa bisa mati kutu di dalam kelas. Aman jika bertemu dosen yang hanya meminta pendapat segelintir orang, tapi kebanyakan akan meminta semua berpendapat. Hingga kalau tidak membaca sama sekali, mending tidak masuk kelas. 

Bahan bacaan di atas tentu juga bisa diklasifikasi lebih lanjut. Sebagian dari mereka bisa dikatakan bersahabat, mudah diajak kompromi, dengan bahasa Inggris yang meskipun 'akademik' tapi tetap bisa dicerna otak. Istilah 'akademik' di sini kadang dikaitkan dengan sulitnya sesuatu untuk dipahami. Banyak pula jurnal atau buku yang penulisnya sibuk dengan dirinya sendiri, mengawang-ngawang di udara, dengan menggunakan istilah-istilah mahadewa yang setelah buka kamus sekali dua tetap tidak mengerti maksudnya apa. 

Meski membaca menjadi perjuangan sendiri dari menjalani impian sekolah di luar negeri, kehadiran para dosen memang sangatlah dinantikan sebagai oase dari keruwetan isi kepala. Dosen-dosen di kampus saya tidak saja pintar dengan gelar doktor dan profesor di usia muda, tapi juga bisa menyampaikan dengan sangat mudah. Bahasa Inggris yang mereka gunakan juga pas di telinga saya khususnya. 

Well, bicara soal memahami bahasa, saya sering berada di antara mahasiswa atau penduduk asli yang membuat mumet kepala. Kalau kata dosen Sosiolinguistik saya, bahasa generasi muda memang tidak bisa dianggap mudah. Dia saja kadang tidak mengerti ucapan anak gadisnya yang seorang mahasiswa. Mereka menggunakan banyak istilah dan bahasanya sendiri. Kejadian ini saya temukan saat mengikuti workshop debat yang isinya mahasiswa undegraduate yang ramah, tapi harus memasang telinga dengan siaga, atau percakapan akan berakhir dengan "pardon me" berulang-ulang.

Kembali ke membaca. Kuliah di sini khususnya postgraduate tidak seperti di Indonesia yang padat pertemuan di kelas. Di sini, pertemuan tiap mata kuliah berkisar tiga jam seminggu, dengan self-study yang bejibun. Selain tugas membaca, tentu saja ada saja esai yang harus dikumpulkan, kerja kelompok yang tiada hentinya, sekaligus tugas presentasi dan micro teaching. Istilah self-study sudah menjadi makanan sehari-hari. Itulah kenapa perpustakaan, learning center, mushola, kantin, atau guild of student (tempat berbagai macam perkumpulan mahasiswa) dipenuhi dengan mahasiswa yang tetap sibuk membaca atau berdiskusi. Saya belum pernah menemukan teman yang malas selama di sini. Baik teman serumah maupun teman sekelas, semua seolah sudah ter-setting untuk sangat rajin belajar. Di rumah ini saja yang terdiri dari lima orang, kita sangat jarang bertemu karena semua sibuk belajar di kamar atau di kampus. Pertemuan terjadi sesekali di dapur, atau saat liburan bersama. 

Rajinnya mahasiswa di kampus-kampus di Inggris pada umumnya, UoB khususnya juga dikarenakan Inggris sangat terkenal sangat pelit dalam memberikan nilai. Untuk bisa meraih nilai PASS alias lulus yang persentasenya 50 saja semua mahasiswa sudah harus bolak-balik perpus, kelas, dan rumah. Dari awal sudah ditegaskan bahwa penilaian bukanlah hal yang bisa dianggap gampang. Apalagi jika menyangkut tulisan, mereka sangat peduli dengan analisa, sintesis, plagiarisme, dan banyak lagi. 

Tidak hanya mahasiswa internasional yang pontang-panting, mahasiswa asli sini pun juga sangat bekerja keras. Nilai yang kecil apalagi setelah dikonversi ke dalam IPK Indonesia yang sulit didapat, memiliki nilai lebih di kampus negara lain. Teman-teman saya dari berbagai negara Asia dan Eropa juga Amerika berkata dengan mengambil S2 di sini mereka bisa meraih pekerjaan yang sangat bagus ketika kembali ke negara masing-masing.

Jika melihat tumpukan kertas di atas meja, saya ingin sekali melarikan diri ke dalam selimut lalu bermimpi bahwa semua bacaan sudah selesai. Hehe, pesan untuk saya sendiri, jika malas membaca, jangan kuliah di Inggris. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun