Mohon tunggu...
Wildan Humaidi
Wildan Humaidi Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan Pengajar Hukum Tata Negara

Interested in Law and Government Studies

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada dan Regulasi Kampanye Virtual

30 Januari 2017   15:25 Diperbarui: 30 Januari 2017   15:52 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perhelatan kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak jilid II perlahan tapi pasti mulai berjalan menuju perayaan pelaksanaanya. Pesta demokrasi di tataran daerah tersebut diagendakan akan dilaksanakan pada medio Februari tahun ini. Meski demikian, riak-riak dan kegaduhan politik sudah mulai memanas di ruang-ruang publik. Masyarakat seolah dihadapkan pada silang sengkarut pertempuran politik antar kandidat pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik yang dilakukan oleh tim kampanye atau tim pemenangan antar masing-masing kandidat itu sendiri, maupun para loyalis pendukungnya yang setia memberikan dukungan kepada pasangan calon kepala daerah yang dijagokan. 

Sayangnya, pertempuran politik tersebut lebih cenderung sarat akan upaya saling menjatuhkan antar masing-masing kandidat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah ketimbang berisi pertempuran ide dan gagasan yang mampu menjadi parameter penilaian kualitas masing-masing calon. Contoh saja, perhelatan perebutan ‘sang jawara’ Gubernur DKI yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Jauh sebelum kasus Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang terjerat kasus penistaan agama (Q.S. al-Maidah:51), riuh-riuh kabar yang bernuansa politik dan saling menjatuhkan antar kandidat dan pasangan calon gubernur DKI pun sudah banyak memenuhi media sosial, baik itu facebook, twitter, atau kiriman pesan melalui chattwhatsapp. Terlebih sekarang, pertempuran politik tersebut semakin merajalela pasca gegap gempitanya aksi 4 November dan 2 Desember 2016 lalu. Wal hasil, provokasi politik pun kini tampil memenuhi dinding-dinding media sosial dengan balutan isu perbedaan ras, suku, bahkan agama, yang praktis menjadi alat paling manjur dalam upaya saling serang antar kandidat dan pendukungnya.    

Fenomena politik ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru, pertarungan politik virtual antar kandidat pun juga terjadi saat pilpres 2014 lalu. Jika diamati, dalam praktek kontestasi politik, baik pemilu maupun pilkada, terdapat pergeseran pola dan strategi kampanye politik dari kampanye konvensional dengan menggunakan sebaran poster dan baliho, kini telah beralih menjadi kampanye virtual yang berbasis pada pemanfaatan dunia maya (internet). Penggunaan internet dengan memanfaatkan media sosial sebagai media kampanye dinilai lebih mempunyai nilai efektivitas dalam mempengaruhi pemilih (konstituen). Media sosial mampu dimanfaatkan sebagai alat pencitraan kandidat yang ideal sesuai dengan tingkat kebutuhan pemilih. Dengan konsep pengelolaan dan kemasan kampanye yang bagus di media sosial, peningkatan popularitas dan elektabilitas kandidat menjadi suatu yang lebih mudah dicapai. Selain itu, kampanye politik berbasis media sosial juga jauh lebih efisien dibanding kampanye konvensional. Para kandidat bisa lebih berhemat dalam kampanye. Tidak perlu mengeluarkan dana yang banyak hanya untuk poster, baliho, spanduk, dan alat peraga kampanye lainnya.

Setidaknya ada dua kelebihan yang didapat dengan kampanye melalui media sosial dibanding kampanye konvensional. Pertama,Media sosial memungkinkan para kandidat untuk dapat berinteraksi dengan para calon pemilih dengan skala dan intensitas yang tak bisa dicapai melalui kampanye konvensional. Melalui media sosial ini, dapat dihasilkan komunikasi politik yang bersifat interaktif multiarah, seperti dari kandidat ke pemilih, pemilih ke kandidat, atau bahkan antar pemilih. Interaksi politik seperti inilah yang menjadi prasyarat keberhasilan kampanye. Kedua, cara kerja media sosial yang mempunyai karakter seperti multi-level marketing. Misalkan saja, hanya dengan men-twit di twitter atau memposting di facebook, informasi dan materi kampanye dapat tersebar luas ke seluruh follower atau jejaring pertemanan, dan begitu seterusnya. Sehingga dengan mudah kampanye bisa tersebarluaskan hanya dalam waktu yang singkat, bahkan hanya hitungan detik.

Penegakan Regulasi Kampanye Virtual

Demokrasi menjamin kebebasan setiap orang untuk menyampaikan pendapat atau berkomunikasi, termasuk dalam hal kampanye politik. Setiap kandidat mempunyai hak yang dijamin oleh konstitusi untuk berkampanye. Namun demikian, demokrasi bukan dimaknai sebagai sebuah kebebasan tanpa kendali. Oleh karenanya, sebagai upaya penataan dan penertiban kampanye virtual, mutlak dibutuhkan sebuah pranata hukum sebagai instrumen pengatur berjalannya kampanye di dunia maya. Pengaturan ini mutlak dibutuhkan, terlebih mengingat jumlah kandidat yang mencapai 338 pasangan calon kepala daerah di 101 daerah pemilihan.

Sejauh ini pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7 Tahun 2015 Tentang Kampanye Pilkada sebagai upaya mengawal berjalannya kampanye Pilkada. Sebagaimana diatur dalam Pasal 46 PKPU No.7/2015, ayat (2) menyatakan Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye dapat membuat akun resmi di media sosial untuk keperluan kampanye dan medaftarkannya kepada KPU paling lambat sehari sebelum pelaksaan kampanye. Pasal 48 juga mewajibkan Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye untuk menutup akun resmi tersebut paling lambat satu hari setelah masa kampanye berakhir. Selain perihal durasi lamanya berkampanye, aturan ini juga mengatur perihal muatan materi serta konten yang digunakan dalam kampanye.

Langkah pemerintah dalam menertibkan kampanye virtual melalui internet tersebut perlu diapresiasi. Namun sayangnya, dalam prakteknya aturan tersebut masih menyisakan problem berkepanjangan. Diantaranya, aturan tersebut masih memberikan celah pelanggaran mengenai kejelasan aktor dan materi kampanye yang mengandung fitnah, SARA, ujaran kebencian terutama oleh akun-akun anonim. Di sisi lain, problem laten penegakan hukum juga menjadi prasyarat tegaknya sebuah aturan. Aturan tersebut sebatas disosialisasikan tanpa disertai dengan tindakan patuh dan taat pada aturan. Masih sering dijumpai praktek kampanye yang berisi ujaran kebencian, termasuk menyinggung isu SARA menghiasi dinding-dinding media sosial. Tak jarang juga kampanye di dunia maya masih dilakukan meski batas waktu kampaye sudah habis.

Penegakan aturan tersebut wajib dilakukan agar proses kampanye, khususnya melalui media sosial, dapat berjalan dengan ideal sesuai dengan tujuan demokrasi. Dengan pelaksanaan kampanye yang tertib di media sosial, masyarakat sebagai pemilih dapat dengan mudah untuk menilai gagasan dan ide masing-masing kandidat pasangan calon. Sehingga masyarakat dapat menentukan pilihannya secara obyektif, sesuai dengan preferensi masing-masing pemilih. Semoga.

  M. Wildan Humaidi, S.H.I.,M.H

Dosen Hukum Tata Negara dan 

Peneliti Pusat Kajian Konstitusi dan Kebijakan Daerah (PK3D) IAIN Purwokerto

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun