Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mari Belajar dari Kasus Akil Mochtar dan Ujian Nasional

7 Oktober 2013   06:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam perjalanan menuju sekolah, saya putar radio Elshinta di dalam mobil. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi atau disingkat MK sudah turun menjadi 36 %. Begitulah hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Bahkan ada survei yang mengatakan, tingkat kepercayaan masyarakat kepada MK tinggal 25 % lagi dan meminta semua hakim yang tersisa untuk juga diperiksa.

Kita tentu sedih mendengarkan kabar ini. Sebagai seorang pendidik saya merasa ada kesalahan kami sebagai pendidik dalam melahirkan generasi penerus bangsa. Bisa jadi, banyaknya koruptor di negeri ini karena kesalahan sistem pendidikan kita. Namun, ini harus diteliti secara mendalam. Kita harus melihat dari sisi akademis, dan bukan lagi politis.

Tadi saya dengar di Radio, dari 500 pemimpin daerah, sudah 300-an pemimpin daerah yang menjadi status tersangka korupsi di KPK. Banyak sekali jumlahnya, dan membuat kita ngeri dengan kepemimpinan negeri ini. Sulit sekali dicari pemimpin yang jujur dan amanah di nusantara.

Nampaknya kita harus merubah sistem pemilihan kepala daerah. Jangan sampai kita hanya melahirkan penguasa daerah dan bukan pemimpin daerah. Sebab yang namanya pemimpin pastilah dia akan melayani rakyat yang dipimpinnya dengan sepenuh hati. Sangat berbeda halnya dengan penguasa. Bila dia memimpin, maka harta kekayaan di daerah akan habis dimakannya sendiri. Kekuasaan terkadang membuat orang menghalalkan segala cara. KPK sudah mulai membuktikannya.

Kasus Akil Mochtar (Mantan Ketua MK) tentu menyentuh hati nurani kita. Berbuatlah selalu jujur. Sebab kejujuran adalah barang langka di negeri ini. Korupsi sudah terjadi secara berjamaah dan dilakukan oleh mereka yang katanya beragama dan kaum terdidik. Tentu kita prihatin akan hal ini. Jangan sampai, kita seperti maling yang teriak maling. Padahal malingnya adalah kita sendiri.

Sementara itu, di lingkungan pendidikan, kita juga melihat masih adanya pemaksaan kehendak dari pemerintah tentang ujian nasional. Sudah jelas data dan fakta bahwa 10 tahun ujian nasional berjalan, belum ada tanda-tanda peningkatan mutu pendidikan. Para pakar pendidikan sudah bicara. Sebaiknya, ujian nasional dilakukan untuk pemetaan saja, dan bukan untuk menentukan kelulusan. Kenyataan di lapangan banyak sekolah yang lulus 100 % dan menjadi aneh bin ajaib karena kesehariannya belum tentu mendapatkan nilai yang tinggi. Hal ini tentu perlu diteliti lebih lanjut.

Acep Iwan Saidi menulis di Koran Kompas, Kamis, 3 Oktober 2013
Ketika dalam penutupan Konvensi UN (26/9/2013 dan 27/9/2013) Wamendikbud Bidang Pendidikan meminta sejumlah pihak menulis manfaat UN, yang muncul di publik justru kemudaratannya. Wamen lupa bahwa seseorang baru bisa menulis jika ia memiliki data. Maka, bagaimana manfaat UN bisa ditulis jika tak ada data. Tragis. Silahkan baca di sini.

Mereka yang dinyatakan lulus 100 persen itu, tenyata belum siap berkompetisi. Banyak yang tak lolos masuk perguruan tinggi yang diidamkannya, dan banyak juga yang akhirnya menjadi pengangguran intelektual karena tak bisa lagi melanjutkan ke perguruan tinggi. Biaya yang dikeluarkan tak sanggup mereka penuhi. Tingginya biaya di perguruan tinggi menjadi persoalan tersendiri, dan masih banyak persoalan lainnya yang tak bisa saya tuliskan di sini.

Mari belajar dari kasus akil Muchtar, dan ujian nasional. Mereka yang terlihat baik belum tentu baik setelah fakta dan data dihadapkan kepada kita. Teruslah kritis dan memberi masukan yang baik kepada pemerintah. Persoalan ini adalah persoalan kita bersama. Kita berharap sifat kenabian kembali ada dalam fitrah orang Indonesia. Dimana sifat Sidiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah senantiasa ada dalam diri kita masing-masing.

Salam Blogger Persahabatan

Omjay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun