Belakangan muncul isu yang digulirkan beberapa media massa yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif (caleg) bermutu hanya sekitar 20%. Tidak jelas juga informasi ini dasarnya apa dan bagaimana menghitung 20% caleg itu bermutu atau tidak.
Sudah barang tentu tudingan yang masih harus dibuktikan kebenarannya tersebut menyindir langsung partai-partai politik (parpol) yang mengajukan para caleg. Namun, tidak ada salahnya juga tudingan miring seperti ini dijadikan sarana untuk berefleksi bagi para parpol. Tudingan itu juga menunjukkan bahwa serangkaian proses pola rekrutmen perlu ditata oleh KPU untuk dijadikan pedoman bagi parpol untuk mendapatkan caleg yang berkualitas.
Selama ini para pemilih dihadapkan pada dilema saat pemilu datang. Warga negara yang ingin menggunakan hak pilihnya untuk menentukan anggota legislatif ternyata kesulitan untuk menentukan pilihan. Kesulitan itu datang dari tidak jelasnya siapa wakil rakyat yang diajukan oleh parpol, kapabilitasnya, dan apakah mereka mampu bekerja nantinya sesuai dengan masingmasing bidang komisi yang ada di DPR.
Karena bagaimanapun kemampuan dan kapabilitas mereka akan menjadi modal perubahan bangsa, apakah menjadi lebih baik atau malah menjadi mundur. Para pemilik suara perlu untuk mencermati rekam jejak, kapabilitas, motivasi, serta integritas para caleg yang akan dipilihnya. Oleh karena itu maka penjaringan caleg yang bermutu memang harus dilakukan.
Hanura dan Gerindra sudah memberikan contoh yang baik dengan membuka pengumuman dan melakukan penjaringan melalui media massa dan mendorong mereka yang berpotensi, mempunyai kemauan dan kemampuan menjadi wakil rakyat untuk mendaftar. Caleg adalah wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat oleh karena itu proses penyaringan menjadi penting.
Banyak caleg artis yang kembali ikut bertarung dalam Pemilu 2014, sah-sah saja seorang artis maju menjadi calon legislatif namun kembali lagi kualitas harus diutamakan. Pola rekrutmen dan serangkaian tes, misalnya tentang kapabilitas, psikotes, wawasan kebangsaan, dan integritas perlu diutamakan dan bukan lagi berdasarkan popularitas. Karena itu, syarat perekrutan mutlak perlu distandardisasi dan dimasukkan di dalam suatu aturan.
Masalah batasan dana kampanye juga perlu diatur, karena pada caleg yang bermutu umumnya tidak punya uang. Yang bermutu dan punya uang, justru tidak mau menjadi caleg. Karena dianggap buang-buang uang dan mereka merasa sudah mapan dan cenderung berusaha mencari aman. Malasnya tokoh masyarakat yang bermutu untuk ikut berlaga menjadi caleg salah satunya dikarenakan biaya yang mahal. Saya pernah diskusi dengan rekan yang lebih dulu menjadi caleg.
Menurut rekan itu, bila kita menjadi caleg dan perlu untuk mendongkrak popularitas, siap-siap saja kita mengucurkan dana minimal Rp1 miliar. Sungguh luar biasa. Lalu, buat apa saja dana itu? Konon biaya itu digunakan untuk sosialisasi ke simpul massa. Sekali nama kita terpampang di daftar caleg sementara (DCS), proposal kegiatan mulai bermunculan. Belum lagi biaya blusukan yang sekali datang minimal Rp20 juta.
Caleg juga harus siap dengan biaya pembuatan banner, baliho, stiker, biaya transportasi dan lain-lain. Caleg harus suap uang kontan karena mendadak bisa saja ada yang minta biaya ini itu. Kalau satu caleg saja harus menghabiskan minimal Rp1 miliar, sedangkan setiap partai rata- rata menyiapkan 560 calon, berarti Rp560 miliar akan dihabiskan hanya untuk kampanye! Bayangkan, dari 12 partai peserta pemilu berarti ada Rp6,72 triliun dibuang percuma hanya untuk kampanye.
Jika melihat mahalnya biaya kampanye itu, tentu akan makin sulit menjaring caleg berkualitas yang juga punya uang. Namun, bukan berarti tak ada solusi untuk menjawab kebuntuan kualitas perpolitikan kita. Salah satu hal yang penting dilakukan adalah audit penyaluran dan pengawasan atas penggunaan dana kampanye. Di negara-negara maju aturan dana kampanye ini sudah established dan menjadi jalan masuk para caleg berkualitas yang tak punya banyak uang.
Jangan sampai modal besar dan populer menjadi modal utama dibandingkan kualitas caleg itu sendiri. Kita bisa mengambil contoh dari negeri jiran, Singapura. Negara ini memiliki Political Donation Act Chapter 236. Di dalamnya diatur mengenai donasi politik untuk kepentingan kampanye.Beberapa hal dilarang sebagai sumber dana kampanye seperti sponsor politik dari luar negeri, dana yang tidak jelas seperti dana dari hasil money laundering alias pencucian uang, dana korupsi, dana hibah yang tidak jelas asal usulnya dan hanya untuk menitipkan pesan dari pihak sponsor.