Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Merugi dalam Budaya Patriarki

12 Maret 2017   23:17 Diperbarui: 13 Maret 2017   18:00 2226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bilamana tiba hari ketika laki-laki yang sedang jalan sendiri merasa sakit hati ketika disiul dan digoda perempuan?

Lalu laki-laki itu bertanya-tanya dalam hatinya apakah ia berpakaian 'tidak pantas' hari itu, apakah saat itu hari sudah kelewat malam, ataukah gerak-geriknya menarik perhatian lawan jenisnya

Lalu ia membatin juga meyakinkan dirinya, bahwa tidak ada yang salah pada dirinya
Ketika itu matahari tepat di atas kepala. tubuhnya terbalut kain mulai dari siku hingga mata tungkai
Gerak-geriknya mencerminkan laki-laki independen, seperti biasa

Akhirnya ia sepakat saja berkesimpulan, bahwa laki-laki memang sudah sewajarnya diperlakukan demikian, dalam kondisi apapun
Bahwa sudah ada kekuasaan kaum perempuan yang membentuk dinasti tanpa dinding dan ingin membuatnya tidak nyaman berkegiatan di ruang publik

Mau melawan, tapi konon katanya, para perempuan itu luar biasa kekuatannya
Bayi berkilo-kilo bobotnya pun bisa mereka lahirkan dari dalam rahim mereka
Ah. diam-diam hanya lelaki ini hanya tercenung
Berharap akan tiba masa ketika para perempuanlah yang merasakan kegundahan hatinya

***
Di atas adalah catatan yang saya tulis pada (saya tidak ingat persisnya) tahun 2013. Ketika itu saya masih bekerja sebagai salah satu pewarta di sebuah majalah. Majalah kami memiliki rubrik yang isinya merekomendasikan beberapa destinasi unik untuk weekend getaway pada satu kawasan. Dan kebetulan saya ditugaskan untuk menyusun konten pada rubrik tersebut selama beberapa edisi.

Masing-masing pewarta bisa jadi punya caranya sendiri mengumpulkan calon narasumber atau destinasi yang ingin direkomendasikannya kepada pembaca. Dan bagi saya, rasanya belum mantap apabila saya tidak melakukan survei kawasan tanpa berjalan kaki dengan tungkai saya sendiri. Memang, setiap kali ditugaskan untuk menulis rubrik semacam ini, saya selalu menyempatkan diri seharian penuh menyusuri kawasan tersebut supaya bisa mblusak-mblusuk menemukan toko atau lokasi bersejarah yang sulit digapai dengan mengendarai transportasi. Lagipula, dengan berjalan kaki, saya bisa mengukur waktu untuk naik kendaraan umum dan tips jalan pintas, lalu menuliskannya di artikel sebagai rekomendasi bagi pembaca yang tidak punya kendaraan pribadi.

Singkat cerita, eng ing eng... Kawasan yang ditentukan oleh rapat redaksi saat itu adalah kawasan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Hahahaha! Di satu sisi saya senang. Kawasan Harmoni sampai Kota adalah kawasan yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, di sana situs bersejarah berceceran, kuliner bertebaran dan saya sudah beberapa kali berkeliling daerah situ. Tpi di sisi lain, daerah tersebut juga dikenal sebagai daerah bronx. Terkenal sebagai daerah dengan kriminalitas yang cukup membuat orang baru kejang-kejang. Belum lagi track record-nya sebagai surga postitusi.

Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Ramai hanya saat jam kerja. Setelahnya.... mmm... (Sumber gambar: KOMPAS.com)
Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Ramai hanya saat jam kerja. Setelahnya.... mmm... (Sumber gambar: KOMPAS.com)
Berbekal percaya diri, saya pun berangkat survei dengan persiapan matang. Saya bagi perjalanan selama dua hari. Hari pertama saya berjalan kaki dengan rute: Harmoni - Gajah Mada (Gedung Arsip, Candranaya, Kopi Tak Kie, sekitar Petak 9), lalu kembali lagi ke Harmoni melalui Hayam Wuruk (Kopi Tinggi, Suisse Bakery, sebuah toko baking appliances dan gardening.) Saya mulai perjalanan pada pukul 11 siang. Matahari sudah cukup tinggi, dan saya bersyukur sudah menggunakan pakaian yang nyaman untuk survei hari tersebut: kaus, didobel kemeja lengan panjang, celana jeans panjang, sepatu kets, tas ransel, dan tentu saja pakai sunblock. Cuma satu yang saya sesali, lupa bawa topi.

Karena konteksnya adalah bekerja, saya tak seluwes biasanya. Lagipula ini adalah kali pertama saya berjalan kaki di kawasan ini seorang diri. Saya tak keluarkan handphone di jalan besar karena alasan keamanan. Dan yang saya khawatirkan pun dimulai. Baru berjalan pada sisi Gajah Mada, catcalling kayak gerimis. Banyak bener laki-laki yang mencoba mengganggu secara verbal. Dari yang cuma bersiul, ngajak becanda, mencoba memanggil, sampai tanya harga saya berapa buat sejam.

Sampai gangguan ini, saya meningkatkan kewaspadaan. Syukurlah, pada destinasi wisata yang saya survei, orang-orangnya ramah, tidak perempuan, tidak laki-laki. Saya meninggalkan kawasan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekitar jam 4 hampir 5 sore. Setiap kali saya beristirahat sebentar untuk mampir minum di waralaba ternama itu, saya melihat satu atau dua perempuan. Sepertinya kebanyakan seumuran saya, atau bahkan ada yang lebih muda. Mereka berpakaian minim sekali, duduk di depan atau di dalam minimarket. Dandanannya masih baru, nggak kayak saya yang setelah dipanggang seharian udah kayak di-shading item.

Salahkah Bila Kesal?
Saya sedang bekerja hari itu, mungkin sama seperti perempuan-perempuan yang saya jumpai tadi. Dan iya, mereka juga menerima tatapan gahar laki-laki dan tatapan sinis para ibu-ibu yang sedang berbelanja, mendelik tajam ke kemben dan rok mini mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun