Mohon tunggu...
Weni Suryandari
Weni Suryandari Mohon Tunggu... -

Seorang peremppuan biasa yang berusaha tegar, menulis adalah katarsis jiwanya...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cahaya Ibu

2 Juni 2011   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:57 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cahaya Ibu

Ingin kutembus cahaya itu, cahaya tak habis habis, cahaya berlapis-lapis di seluruhmu.

Ketika rahim telah mati suri, bergulung nafsu memenggal urat leherku, ingin kujemput dunia di luar kefanaan, persembunyian, tirakat akhir mencapai makrifat keilahian. Ingin menjadimu sepenuh suci perempuan.

Di senyum akhir yang terukir, mewangi dupa dan aroma melati perkabungan, ada sesuatu yang patut kujaga, anak-anakku, bidadari doa bagi kepastian ajal.

Di sini, seorang lelaki berdiri di sampingku, menghitung wirid dunianya sendiri, menafikan hadirku dalam sumpah suci sehelai daun, beraroma melati pandan,meski layu, satu persatu ditelan tanda tanda musim maut di rebah senja.

Hidup bukanlah lembaran puisi dalam buku buku, bahkan kitab suci, atau dongeng dongeng indah. Bukan pula waktu yang menjelma panah menembus jantung, merobek getir paling satir, takdir akhir perjalanan.

Hidup yang tersisa ini adalah rindu sepenuh pilu, pada usapan embunmu di kening silam,pada ronce doa yang tak penat tengadah ke langit Tuhan, tanpa tabir, tanpa jarak.

Hanya kuingin menembus cahaya itu, cahaya rahimmu dengan genangan sisa asin air mata yang tak mampu teriakkan galau.

Mei 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun