Cahaya Ibu
Ingin kutembus cahaya itu, cahaya tak habis habis, cahaya berlapis-lapis di seluruhmu.
Ketika rahim telah mati suri, bergulung nafsu memenggal urat leherku, ingin kujemput dunia di luar kefanaan, persembunyian, tirakat akhir mencapai makrifat keilahian. Ingin menjadimu sepenuh suci perempuan.
Di senyum akhir yang terukir, mewangi dupa dan aroma melati perkabungan, ada sesuatu yang patut kujaga, anak-anakku, bidadari doa bagi kepastian ajal.
Di sini, seorang lelaki berdiri di sampingku, menghitung wirid dunianya sendiri, menafikan hadirku dalam sumpah suci sehelai daun, beraroma melati pandan,meski layu, satu persatu ditelan tanda tanda musim maut di rebah senja.
Hidup bukanlah lembaran puisi dalam buku buku, bahkan kitab suci, atau dongeng dongeng indah. Bukan pula waktu yang menjelma panah menembus jantung, merobek getir paling satir, takdir akhir perjalanan.
Hidup yang tersisa ini adalah rindu sepenuh pilu, pada usapan embunmu di kening silam,pada ronce doa yang tak penat tengadah ke langit Tuhan, tanpa tabir, tanpa jarak.
Hanya kuingin menembus cahaya itu, cahaya rahimmu dengan genangan sisa asin air mata yang tak mampu teriakkan galau.
Mei 2011