Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mataram Culture Festival dan Keseimbangan Baru untuk Malioboro

18 Juli 2017   11:45 Diperbarui: 19 Juli 2017   17:53 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permainan anak tradisional di area pejalan kaki Malioboro pada Mataram Culture Festival, 15 Juli 2017 (dok. pri).

Sambil duduk di area pejalan kaki dan trotoar Malioboro, dengan wajah yang memancarkan keriaan, delapan anak perempuan bermain lompat bambu. Mereka kompak mengenakan kostum berwarna merah dan hijau. Hiasan serupa pita yang terbuat dari janur kelapa terpasang di rambut mereka yang diikat.

Anak-anak itu bergantian peran. Ada yang duduk memegang ujung-ujung bambu dan menggerakkannya secara teratur. Sementara yang lainnya melompat-lompat dengan lincah menyesuikan pola gerakan bambu. Tak hanya asal melompat karena kaki, tangan dan tubuh mereka harus bergerak seirama. Jika kehilangan konsentrasi sebentar saja, kaki mereka pasti akan tersanung bambu dan permainan berakhir. Tapi jika gerakannya dilakukan dengan benar, permainan akan terus berlanjut.

Permainan anak-anak tersebut adalah bagian dari Mataram Culture Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Yogyakarta di pedestrian Malioboro pada Sabtu, 15 Juli 2017. Pada acara tersebut puluhan anak mengadakan parade permainan tradisional di sejumlah titik di sepanjang Malioboro. 

Parade bocah dolanan (dok. pri).
Parade bocah dolanan (dok. pri).
Permainan jamuran (dok. pri).
Permainan jamuran (dok. pri).
Tak hanya lompat bambu di depan Malioboro Mall, permainan-permainan lainnya juga dibawakan di lokasi yang berbeda di sepanjang  Malioboro. Salah satunya adalah jamuran yang dimainkan oleh sembilan anak perempuan di depan Hotel Mutiara. Pada permainan jamuran ada seorang anak yang menjadi poros. Ia dikelilingi oleh delapan orang temannya yang bergerak membentuk lingkaran. Sambil bergerak mereka menyanyikan lagu jamuran. Saat lagu berhenti anak yang menjadi poros akan menentukan gimmick "jadi patung" yang harus diperankan oleh teman-temannya. Ada gimmick jamur payung, jamur kursi, dan sebagainya.

Untuk menentukan satu orang yang kalah, anak yang menjadi poros akan menguji teman-temannya dengan tantangan, seperti menduduki kaki atau menaiki punggung mereka. Tantangan gimmick ini merupakan bagian paling seru dalam permainan jamuran. Selain berusaha agar tidak "kalah", anak-anak juga harus menahan tawa karena tertawa juga bisa menyebabkan mereka kalah.

Permainan lainnya adalah egrang dan bathok yang dimainkan di depan Kantor Dinas Pariwisata dan DPRD DIY. Kedua permainan ini memiliki kemiripan. Egrang adalah permainan tradisional yang menggunakan instrumen berupa bambu yang diberi pijakan kaki dengan ketinggian tertentu. Anak yang menaiki egrang harus bisa bertahan menjaga keseimbangannya saat berdiri di atas egrang. Ia juga harus bisa bergerak dan berjalan menggunakan egrang tersebut. 

Sementara bathok boleh dikatakan sebagai bentuk lain dari egrang. Permainan ini menggunakan tempurung kelapa yang diberi tali panjang sebagai pegangan. Anak yang memainkan bathok harus berdiri dan bergerak dengan tumpuan bathok.

Permainan egrang dan bathok (dok. pri).
Permainan egrang dan bathok (dok. pri).
Anak-anak dari Gunung Kidul ikut ambil bagian dalam Mataram Culture Festival di Malioboro (dok. pri).
Anak-anak dari Gunung Kidul ikut ambil bagian dalam Mataram Culture Festival di Malioboro (dok. pri).
Keseruan dari permainan egrang dan bathok seringkali ditentukan oleh lamanya waktu bertahan dan berjalan menggunakan instrumen tersebut. Tapi kali ini egrang dan bathok dimainkan secara lebih menarik karena anak-anak berjalan dengan formasi tertentu seperti berbaris dan berjalan membentuk lingkaran. Bunyi-bunyian ritmis yang dihasilkan dari hentakan bambu dan tempurung kelapa pada lantai pedestrian membuat permainan ini semakin menarik.

Selain lompat bambu, egrang dan bathok, Mataram Culture Festival juga menyuguhkan permainan lompat tali, dakon dan lain sebagainya. Semua permainkan tersebut menarik perhatian pengunjung dan wisatawan di Malioboro. Bahkan, ada seorang turis mancanegara yang sempat mencoba menaiki egrang. 

Pengunjung lainnya juga terhibur dengan keseruan setiap permainan. Sambil mengarahkan kamera dan smartphone masing-masing, mereka antusias menikmati pertunjukkan yang ada. Keriaan dan tingkah laku anak-anak, juga tembang serta percakapan dalam bahasa Jawa yang menyertari permainan-permainan tradisional itu barangkali menjadi lorong waktu yang mengantarkan ingatan banyak orang ke masa kecil ketika masih sering memainkan permainan-permainan tradisional.

***

Sabtu itu memang menjadi hari yang membahagiakan bagi banyak orang di Malioboro. Anak-anak riang bermain bersama teman-teman sebaya. Mereka juga senang karena menjadi perhatian pengunjung Malioboro yang tertarik dengan aneka permainan tradisional yang ditampilkan. Bermain di tengah-tengah pedestrian tampaknya memberikan pengalaman yang seru bagi anak-anak itu. Sementara bagi masyarakat umum dan wisatawan di Malioboro, hal itu memberikan kesan dan makna yang lebih kuat terhadap Malioboro.

Salah satu gimmick pada permainan jamuran (dok. pri).
Salah satu gimmick pada permainan jamuran (dok. pri).
Menyaksikan permainan anak tradisional pada Mataram Culture Festival juga membuat saya sejenak membayangkan Malioboro di masa mendatang. Menurut saya masa depan Malioboro tidak terletak pada pembangunan fisik yang saat ini sedang dan telah diupayakan. Melainkan lebih ditentukan oleh aktivitas manusia-manusia di dalamnya. Berjalan-jalan di Malioboro bukan lagi hal yang bernestapa karena area pejalan kaki di sana lebih rapi dan nyaman. Selain itu, pengunjung juga bisa menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan tradisi yang unik.

Jika hanya mementingkan penampilan luarnya, maka Malioboro tidak akan mewariskan banyak makna di masa mendatang. Sebagai ruang publik dengan sejarah panjang, Malioboro juga harus diletakkan sebagai sumber pengetahuan budaya dan sumber pembelajaran tingkah laku budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun