Mohon tunggu...
Rendy Diawangsa
Rendy Diawangsa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa biasa yang suka berjalan kemana-mana. Sedang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Magis Jokowi dan Kesalahan Strategi PDIP

5 Mei 2013   18:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:04 1355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya kaget ketika menonton Televisi siang tadi. Berturut-turut saya menyaksikan Joko Widodo alias Jokowi di berita salah satu TV Sawata Nasional dan Iklan. Dalam berita tersebut, ditampilkan sosok Jokowi yang menjadi juru kampanye dari Calon Gubernur Bali yang diusung oleh PDI Perjuangan, Puspayoga. Terlihat dalam berita tersebut justru peran Jokowi yang disorot habis-habisan, bukan Puspayoga yang notabene akan berlaga dalam Pemilukada Provinsi Bali tersebut. Setelah itu ada iklan pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pronowo-Heru Sudjatmoko.Dalam iklan tersebut, jelas bahwa Jokowi sangat dikedepankan. Sosok Jokowi yang njawani menjadi sesuatu yang ingin dijual oleh PDIP sebagai partai pengusung pasangan Garuda ini.

Sebenarnya, ada apa dengan Joko Widodo ini?

Semenjak kemenangannya pada Pemilu Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta 2012 lalu, Jokowi seperti menjadi aset yang sangat berharga bagi PDIP. Bagaimana tidak, Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok berhasil mengalahkan pasangan petahana, Fauzi Bowo-Nahrowi Ramli yang diunggulkan oleh berbagai lembaga survey dan pengamat. Sebenarnya, kemenangan tersebut tak lepas dari keberhasilannya memimpin Kota Solo sejak 2005. Di Solo, Jokowi dikenal dengan kebijakannya yang pro wong cilik dan mau turun ke bawah untuk memantau langsung rakyatnya. Bekal inilah yang kemudian dibawa Jokowi ketika dicalonkan PDIP untuk maju sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dan berhasil.

Lalu, kemenangan Jokowi ini dibawa PDIP ke semua calon yang diusung dalam Pemilukada sesudahnya. Lihat saja bagaimana pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, Rieke Dyah Pitaloka – Teten Masduki yang dalam kampanyenya sangat identik dengan Jokowi-Ahok. Mulai dari baju kotak-kotak yang eakan sudah menjadi Trade Mark Jokowi, sistem relawan yang memanfaatkan anak muda, gaya kampanye blusukan, hingga menjadikan Jokowi sebagai juru kampanyenya. Hasilnya? Kalah. Meski perolehan suara Rieke-Teten dapat dikatakan cukup bagus, namun tak dapat menggoyahkan pasangan petahana Ahmad Heryawan-Dedi Mizwar.

Kemudian dalam Pemilukada Provinsi Sumatra Utara, PDIP mengusung pasangan Effendi Simbolon-Djumiran Abdi. Kembali Jokowi menjadi senjata dari Partai yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri ini. Sama halnya dengan di Jawa Barat, taktik Jokowi kembali dipakai disini. Meski tak sepenuhnya mengenakan baju kotak-kotak ala Jokowi, PDIP menggunakan sistem relawan, kampanye blusukan, dan menjadikan peraih penghargaan Kepala Daerah terbaik dari salah satu lembaga independen tersebut sebagai juru kampanye. Hasilnya? Kalah lagi. Ketokohan Effendi Simbolon yang telah disokong kepopuleran Jokowi belum mampu mengalahkan sosok pasangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi

Lantas, kenapa kedua pasangan tersebut gagal padahal telah mendomplaing Jokowi yang sangat populer? Jawabannya adalah penyeragaman dan tokoh yang diusung. PDIP tak melihat culture masyarakat Jawa Barat dan Sumatra Utara. Mereka menganggap kedua Propinsi tersebut sama dengan DKI Jakarta, menginginkan perubahan dan silau dengan sosok Jokowi. Seperti di Jawa Barat yang masyarakatnya dikenal sangat religius lebih mempercayai tokoh dengan background keagamaan yang kuat. Sementara calon yang diusung PDIP adalah nasionalis murni. Beda dengan Jakarta, penduduk DKI Jakarta saat ini sebagian besar adalah perantau dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tentunya memiliki kedekatan emosional dengan Jokowi yang orang asli Solo, Jawa Tengah. Dan ketokohan Ahmad Heryawan di Jawa Barat masih kuat. Didukung oleh Dedi Mizwar dengan latar belakang artis yang cukup polpuler.

Di Sumatra Utara, PDIP sembrono dengan membawa Jokowi. Sumatra Utara bukanlah Jawa dimana Jokowi dapat menarik massa untuk memilih. Apalagi, Effendi Simbolon lebih dikenal sebagai tokoh Jakarta daripada Sumatra Utara. Culture masyarakat inilah yang tak dipahami oleh PDIP. Menganggap kepopuleran Jokowi bisa memenangkan mereka di semua tempat. Setiap daerah memiliki potensi dan ciri masyarakat yang berbeda. Jangankan perbedaan Propinsi, satu Propinsi bahkan Kabupaten pun masih terpisah oleh heterogenitas kebudayaan. Jakarta dengan modernitasnya belum bisa djadikan role model untuk diterapkan di semua daerah. Belum lagi ditambah fanatisme ketokohan dan partai di suatu daerah. Bodoh rasanya melihat kemenangan Jokowi di Jakarta lalu menganggap semua wilayah di Indonesia sama.

Tinggal kita lihat saja apakah cara yang sama dapat berhasil di Jawa Tengah dan Bali. Akankah PDIP belajar dari kegagalan di Jawa Barat dan Sumatra. Sebagai catatan, Jawa Tengah dan Bali merupakan lumbung suara PDIP selama ini. Dan pasangan petahana di kedua Propinsi tersebut masih sangat kuat ketokohannya. Tapi walau bagaimanapun, hadirnya Jokowi membuat iklim politik di negeri ini menjadi lebih berbeda. Masyarakat mulai melihat apa yang dilakukan pemimpin itu sebelumnya, bukan melihat apa yang akan dijanjikan Ia nantinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun