“Kamu kan udah besar, udah harus bisa mandiri dong.”
Kalimat ini sering kita dengar diucapkan orangtua pada anaknya yang sudah beranjak dewasa. Kemandirian menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang dalam menjalankan kehidupan. Mandiri jadi tuntutan agar kita berusaha lebih keras dalam hidup. Itu ukuran bagi manusia, lalu bagaimana ukuran mandiri bagi negara?
Andaikan kalimat di atas diucapkan pada sebuah negara terutama Indonesia, mungkin pemerintahnya akan berteriak “ini lagi diusahakan!”. Menjadi sebuah negara mandiri pastinya menjadi cita-cita tiap negara. Berdiri pada kaki sendiri tanpa tergantung orang lain. Siapa yang tidak mau coba?
Di dunia ini memang tidak banyak negara yang dapat dikatakan sebagai negara mandiri. Namanya juga kehidupan bertetangga, pasti membutuhkan bantuan paling tidak dari yang dekat-dekat saja. Dalam melakukan perdagangan pun tentu kita berharap akan hubungan baik dengan negara lain sehingga mereka mau ‘membeli’ produk kita. Kita pun sering mempercantik rumah sendiri atau bercerita tentang keindahan rumah kita agar banyak tamu yang berkunjung dan harapannya akan mendatangkan pendapatan bagi kas kita.
Berarti mandiri ada bagian-bagiannya. Namun untuk bidang energi, tentu mau tidak mau kita harus bisa mandiri bukan. Karena terlalu bergantung pada pihak luar untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, sebaiknya sangat dikurangi. Impor energi maksudnya, selain karena biayanya mahal dan hei bukankah Indonesia itu kaya akan cadangan buminya?
Impor energi Indonesia memang sudah sangat memprihatinkan. Dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, Indonesia diperkirakan masuk dalam daftar negara-negara yang mengimpor banyak energi. Banyak hal yang mendasari ini terjadi.
Bila dirunut satu-satu, kita dapat memulai dari impor gas. Semenjak mengganti minyak tanah dengan LPG, Indonesia dipaksa untuk mengimpor gas. Program ini sebenarnya didasari karena harga minyak yang terus naik, padahal produksi gas dalam negeri belum terlalu bagus. Walaupun berhasil mengurangi ketergantungan pada minyak tanah, tapi cadangan gas Indonesia yang nilainya sebesar 1.5% cadangan gas dunia ternyata tidak cukup untuk menjawab kebutuhan gas di Indonesia.
Kenapa gas diperkirakan akan naik? Sebagai bagian dari melepas ketergantungan pada BBM. Nah ini permasalahan yang lain lagi. Indonesia dulu kaya akan minyak, namun kini malah hampir bergantung pada impor minyak dari negara lain. Produksi minyak Indonesia hanya bisa memenuhi 50-60% kebutuhan, sisanya ya impor.
Lalu bagaimana cara Indonesia bisa mandiri energi kalau banyak bergantung pada impor energi dari negara lain? Indonesia harus bisa berbenah. Kalau katanya Indonesia ingin mandiri di bidang energi, Indonesia harus bisa melakukan langkah-langkah yang nyata.
Beberapa langkah nyata nampaknya sudah dimulai pemerintah. Pembangunan infrastruktur yang lebih baik untuk produksi energi. Hal ini terlihat dari dimulainya pembangunan enam kilang Pertamina untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Proyek yang diperkirakan akan selesai tahun 2023 ini dipercaya dapat menghasilkan produksi minyak menjadi 2,2 juta barel per hari. Kilang-kilang yang akan dikembangkan ada di empat lokasi yaitu Dumai, Balongan, Cilacap dan Balikpapan, sementara juga akan dibangun kilang baru di Tuban dan Balikpapan.
Lalu, menata iklim investasi di Indonesia. Bagaimanapun juga untuk memperbaiki infrastruktur atau pembangunan kilang, kita butuh investor dari luar. Untungnya iklim investasi Indonesia memang sedang bagus akibat perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah dalam kebijakan investasi.