Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Cerpen | Lebaran Kedua Tanpa Mas Iwan

23 Mei 2020   18:38 Diperbarui: 23 Mei 2020   20:29 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta

Hilal telah tampak. Sejak tadi diumumkan di televisi. Besok sudah lebaran. Azan isya baru saja terdengar. Sesaat berlalu kemudian disusul takbir yang menggema dari masjid yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah. 

Aku menghela nafas pelan. Teringat Mas Iwan. Dulu ia yang mempersiapkan segala sesuatunya untuk berlebaran. Membersihkan rumah, membereskan segalanya. Hingga ia juga membantuku menata kue-kue kering dalam toples.

Anganku lepas. Mengembara menelusuri parit-parit kenangan. Gema takbir bersahutan di luar sana, menyaingi anganku yang lepas mengingatnya.

***
Pintu terbuka dengan sangat pelan. Tanpa suara. Ibu menengok ke kamar. Lalu bertanya, apakah aku sudah salat isya atau belum. Aku menjawab sebentar lagi. Kemudian dengan sangat pelan juga, ia menutup pintu itu, kembali tanpa suara.

Ibu memang perhatian padaku. Setiap malam selalu melakukan ritual tanpa suara untuk sekedar menengok ke kamar. Lalu bertanya, menanyakan keadaanku. Kemudian berlalu, menuju ke kamarnya sendiri. 

Ritual itu dilakukan semenjak Mas Iwan tidak pulang. Sudah dua tahun. Ketika ada pandemi. Ia dulu memang merantau ke Jakarta. Bekerja di sana sebagai pegawai bank.

Tetapi karena pandemi yang tidak segera berlalu, bahkan menjadi-jadi, membuatku terpisah dari Mas Iwan. Ia tidak berani pulang karena takut menulari keluarga di sini. Apalagi ada ibu yang sudah sepuh. 

Padahal dulu ia rutin pulang. Dua pekan sekali. Menengokku dan ibu. Membawa oleh-oleh kesukaanku, sekedar membuatku senang.

"Dik, sabar ya. Aku belum bisa pulang. Situasi baru tidak nyaman. Aku takut nulari kamu dan ibu. Tetap sabar dan hati-hati di rumah."

Tentu saja aku hanya bisa pasrah. Walaupun setiap hari terhubung dengannya melalui sambungan telepon, tetapi kerinduan untuk bertemu tetap membara. 

"Kita pasti bertemu lagi, dik. Jangan takut. Ini takdir yang membuat kita seperti ini. Aku mencintaimu, selalu. Tak perlu ragu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun